Selasa, 25 September 2012

Memperlebar Kerajaan Allah?

 “Kiranya persembahan ini.....
.... dapat digunakan untuk memperlebar Kerajaan-Mu....
...Amin.”
Pernah mendengar doa semacam ini? Saya sering mendengar doa semacam ini diucapkan pada saat doa persembahan. Dengan malu-malu, perlu saya akui bahwa saya dulu juga mengucapkan doa semacam itu.
Oleh karena itu, pertama-tama tulisan ini ditulis sebagai sebuah seni menertawakan diri sendiri, seraya mengingat apa yang dilakukan oleh Alm. Gus Dur yang senantiasa mengasah kemampuannya untuk menertawakan dirinya sendiri. Dengan menertawakan diri sendiri kita akan menjadi lebih bijak dalam melangkah ke depan. Tanpa kemampuan menertawakan diri sendiri, kita akan terpenjara dalam kesombongan diri sehingga tidak akan ada kemajuan yang dicapai.
Kedua, tulisan ini ditulis sebagai sebuah catatan kritis atas percikan “teologi popular”[1] yang berkembang di ranah jemaat. Perlu diakui bahwa teologi popular tidak selamanya buruk. Yang saya kritisi di sini adalah teologi popular tentang Kerajaan Allah yang sifatnya sporadis dan memberikan dampak buruk dalam cara pandang umat terhadap misi Allah. Tulisan ini hanyalah sebuah trigger dan belum menjadi kajian yang mendalam. Oleh karena itu, saya mendorong pembaca (dan diri saya!) untuk melakukan kajian yang lebih mendalam atas percikan pemikiran ini. J

Menertawakan Diri Sendiri: Apakah Aku Pendoa yang Latah?
Saya pernah membuat semacam observasi kecil-kecilan pada para katekisan yang saya ajar. Saya meminta mereka untuk menuliskan doa persembahan. Yang menarik dari riset kecil-kecilan ini adalah isi doanya relatif serupa. Ada unsur ucapan syukur dan juga permohonan kepada Tuhan agar mereka dapat menggunakan uang persembahan tersebut untuk pelebaran Kerajaan Allah.
            Setelah membaca doa itu, saya bertanya pada mereka. Apa maksudnya “pelebaran Kerajaan Allah”? Mengapa mereka mengucapkan kalimat itu? Jawaban para katekisan beragam. Anggaplah jawaban-jawaban ini merupakan sebuah potret saja, bukan representasi dari seluruh jawaban umat.
            Ada katekisan yang berkata bahwa ia sebenarnya tidak mengerti apa yang ia ucapkan dalam doa itu. Ia tidak mengerti makna “pelebaran Kerajaan Allah”. Ia hanya menuliskan dan mengucapkan apa yang biasa ia dengar saat ibadah minggu. Saya tersenyum --seraya menertawakan diri sendiri-- ketika mendengar jawaban ini karena saya pun dulu begitu. Kita terjebak dalam pola latah berdoa. Doa sudah menjadi hafalan dan latahan yang tidak keluar dari pergumulan batin, tanpa pemaknaan yang mendalam. Mimikri tanpa refleksi menjadi kalimat kunci dalam sikap latah berdoa ini.

Mempertimbangkan Ulang Konsep (Pelebaran) Kerajaan Allah
            Di samping orang yang latah berdoa, ada juga katekisan yang memiliki mental kolonial. Dia memaknai “pelebaran Kerajaan Allah” sebagai suatu upaya untuk mengkristenkan dunia ini. Kerajaan Allah dimaknai sebagai gereja dan atau denominasi gereja tertentu. Pemahaman seperti ini dapat berdampak pada mentalitas pekabaran Injil yang merujuk pada ekspansi. Menurut saya, kita harus mengkaji ulang pemahaman tentang Kerajaan Allah itu.
Menurut saya, konsep Kerajaan Allah tidak dapat diidentikan dengan gereja, walaupun keduanya memiliki keterkaitan. Kerajaan Allah tidak sama dengan gereja. Pengidentikan konsep Kerajaan Allah dengan gereja berekses pada sebuah pemahaman extra ecclesiam nula salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Pemahaman semacam ini, menurut saya merupakan warisan dari superioritas kekristenan yang memuncak pada masa kolonial dengan semboyan 3G (Gold, Glory, Gospel).
Dengan meminjam pemikiran Focault tentang konstruksi sudut pandang historis oleh penguasa.untuk tujuan tertentu, saya menduga-duga bahwa cara pandang tentang pelebaran kerajaan Allah adalah warisan historis zaman kolonial yang kita telan mentah-mentah. Tidak ada proses perenungan ulang dan pendedahan terhadap makna doa yang menjadi hafalan itu.
Oleh karena itu, marilah kita mempertimbangkan ulang konsep Kerajaan Allah itu. Kerajaan Allah bukanlah sebuah wilayah yang dapat dipersempit atau diperlebar. M. Amaladoss, dalam Meniti Kalam Kerukunan, mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah lingkungan kehadiran Allah. Bagi saya, Allah tidak hanya hadir di dalam dinding gereja. Allah hadir dalam dunia ini. Dengan demikian, memperlebar dunia adalah suatu hal yang absurd.
Kerajaan Allah dapat dipahami juga sebagai realitas eskatologis yang sudah hadir dan akan digenapi nantinya (Markus 9:1). Kerajaan Allah bukanlah sebuah realitas yang jauh di awang-awang. Kerajaan Allah sudah hadir melalui Kristus yang menghadirkan keadilan, kedamaian dan keutuhan ciptaan. Oleh karena itu, kita juga tidak boleh terjebak dalam khayalan masa depan tanpa berbuat apa-apa. Kita harus berbuat sesuatu seraya menanti-nantikan pemenuhannya.
Pusat pelayanan gereja adalah turut membangun Kerajaan Allah, bukan memperluas! Kerajaan Allah ada di dunia ini sehingga jangkar pelayanan misi gereja adalah pada pelayanan terhadap dunia ini. Oleh karena itu dalam refleksi singkat ini saya mengajak untuk menelisik ulang doa kita. Mungkinkah kita memperlebar Kerajaan Allah (baca: dunia)? Saya rasa tidak. .


26 September 2012
emsiseyar


[1] Terminologi teologi popular saya pinjam dari terminologi yang dipakai saat Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Barat tahun 2010.  Teologi popular didefinisikan sebagai pemikiran teologi yang sporadis (terlepas satu sama lainnya) dan kontraktual (terikat demi tujuan atau kepentingan tertentu). Teologi popular dapat ditemukan dalam berbagai doa-doa yang diucapkan jemaat, pemikiran umat pada saat rapat, dan lain sebagainya.

MERENUNGKAN KASIH DI MALAM CAP GOH MEH


Mid Autumn Festival(中秋节 zhong qiu jiejuga dikenal sebagai “East Valentine” atau hari Kasih Sayang Timur (东方情人节 dong fang qing ren jie). Mid Autumn Festival dirayakan pada tanggal 15 bulan ke 8 pada kalender Lunar. Perayaan Mid Autumn Festival selalu tidak luput dari 2 items penting yakni lentera dan kue bulan (月饼yue bing atau dalam bahasa Hokkien Tiong Chiu Pia). Di Indonesia perayaan tersebut dikenal sebagai Cap Goh Meh (malam tanggal 15). Cap Goh Meh merupakan hari yang istimewa di mana orang-orang merayakan “kasih sayang” yakni hari yang istimewa untuk dirayakan bersama dengan orang yang Anda kasihi.

Allah adalah Kasih (1 Yoh 4.8). Sejak kejatuhan di dalam dosa, keterpisahan manusia dengan Allah menyebabkan keterpisahan manusia dengan kasih. Sehingga kasih mengalami degradasi menjadi “objek” yang dikejar-kejar manusia. Hal ini disebabkan pengetahuan manusia tentang kasih mengalami distorsi. Erich Fromm di dalam The Arts of Loving mendemonstrasikan bahwa upaya untuk mengejar sukses dan membangun daya tarik merupakan upaya untuk memperoleh kasih atau menjadi loveable.[1] Jean Twenge dan Keith Cambell di dalam buku mereka The Narcissism Epidemic menyatakan bahwa narsisme merupakan epidemik yang sudah meng-global.[2] Di dalam diagnosa mereka, narsisme sebagai epidemik global bisa terjadi karena budaya sekarang yang sangat menekankan pada keistimewaan diri dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan.[3]

Di tengah kultur konsumerisme, kasih menjadi sesuatu yang diperdagangkan. Bisnis memanfaatkan kesempatan hari-hari istimewa untuk menawarkan produk-produk special, menciptakan momentum untuk meraup keuntungan melalui pemasaran produk-produk kasih seperti gift, special love dinner, rose, paket spa valentine, maupun penginapan hotel yang memperlakukan customer seperti VVIP. Manusia juga mem-package dirinya semenarik mungkin untuk dipajang di etalase dengan catatan “I am special and available, please choose me”. Kasih yang bersifat transaksi bisnis ini berslogan, “If you love me, I will love you back”. Di tengah budaya sensual, kasih menjadi sebuah produk yang dibeli dan dikonsumsi. Kasih menjadi sebuah objek eksternal yang dikonsumsi oleh konsumen. Kasih seperti ini bagaikan “zombie-love”, kasih yang hanya memakan dan mengkonsumsi demi memuaskan diri sendiri.

Kasih Allah merupakan kasih yang diinternalisir dan bersifat proaktif. Tidak menanti untuk dikasihi tetapi mengasihi (an act to love). Kasih tidak bersifat pasif melainkan proaktif dan memilih untuk mengasihi atau “love is not an option but a choice”. Kasih, komitmen dan loyalitas merupakan  sebuah pilihan. Sehingga kasih yang sejati tidak membutuhkan alasan tetapi sebuah pilihan yang menyatakan, “I love you because I choose to love you” (no other reasons needed). Kasih tidak membenci, tidak mencurigai, tidak membelenggu, tidak menyimpan kepahitan, tidak egosentris, tidak narsis, tidak hedonistik melainkan mengampuni, mengayomi, membebaskan dan memberikan penyegaran dan keceriaan sebab kasih merupakan vitamin kehidupan.

lyx



[1] Fromm, Erich, The Art of Loving, (NY: Harper Perennial, 2006)pp. 1-2
[2] Twenge, Jean & Campbell, Keith, The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement, (NY: Free Press, 2009), p. 230.
[3] Ibid, pp.13-7

Senin, 24 September 2012

SWOT dan SOAR


Tulisan berikut terinpirasi dari artikel KOMPASKLASIKA, Sabtu, 6 Agustus 2011 yang berjudul “Mentalitas Elang”, oleh Eileen Rachman dan Sylvina Savitri.

Pokok tentang Pembangunan Jemaat (PJ) ternyata merupakan satu hal yang menarik. Dulu ketika masih kuliah, saya tidak terlalu tertarik dengan bidang ini. Namun ketika saya membaca kembali buku-buku tentang PJ ternyata bahasannya cukup menarik. Misalnya, menarik untuk membandingkan teori metode 5 faktor ala Jan Hendriks dan teori PJ ala Hooijdonk. Ada banyak teori PJ dan semua teori PJ itu dapat menjadi wacana dan bahan bagi kita dalam ber-PJ dengan baik.

PJ tidak lepas dari berorganisasi dan satu hal yang penting dalam berorganisasi adalah membentuk dan memimpin team work secara efektif. Untuk itu setiap anggota tim perlu memahami dengan baik siapa dirinya. Satu alat yang biasanya digunakan adalah analisis SWOT (Strenghth-Weakness-Opportunity-Threat). Dengan analisis ini diharapkan agar para anggota memahami dengan baik kekuatan dan kelemahannya serta peluang dan ancamannya. Semuanya itu bersifat potensial, baik potensi positif maupun negatif. Tentunya diharapkan agar potensi-potensi positif itu (kekuatan, peluang) dimaksimalkan, sedang potensi-potensi negatif (kelemahan, ancaman) diminimalkan.

Namun tampaknya analisis SWOT kini mulai menjadi “barang” klasik.[1] Sebuah konsep “baru” telah diciptakan dan belakangan ini semakin banyak orang yang menyorotinya. Konsep itu disebut SOAR (Strengths-Opportunity-Aspiration-Result). Berbeda dengan analisis SWOT yang memperhitungkan baik potensi-potensi positif maupun negatif, konsep SOAR lebih berfokus pada potensi-potensi positif.

Dari perspektif tertentu, dapat dikatakan bahwa analisis SWOT cenderung berorientasi pada problem solving. Jadi, pemetaan potensi-potensi positif dan negatif dalam diri diupayakan dalam rangka penyelesaian masalah secara efektif. Kritik yang diajukan terhadap orientasi demikian ini adalah fokus yang berlebihan terhadap masalah. Padahal masalah akan selalu ada dan muncul dari waktu ke waktu. Jika demikian, kita hanya akan sibuk mengurusi masalah-masalah yang ada dan tidak akan pernah dapat meraih cita-cita kita. Itulah sebabnya, dalam konsep SOAR fokus tersebut hendak digeser. Konsep SOAR cenderung berorientasi pada appreciative inquiry. Fokusnya adalah meraih cita-cita dan mewujudkan aspirasi/”mimpi” bersama serta hasil yang nyata. Untuk itu, segala potensi positif dalam diri dikerahkan dan dimaksimalkan. Jadi, dalam konsep SOAR kita menemukan ada semacam tahapan-tahapan: dimulai dengan pengenalan potensi-potensi positif yang dimiliki baik sebagai individu maupun tim, dilanjutkan dengan proses perumusan aspirasi/”mimpi” bersama potensial yang dapat diupayakan dari pengolahan potensi-potensi positif yang dimiliki dan terakhir, pencapaian/perwujudan hasil. Pertanyaannya adalah bagaimana potensi negatif dan masalah disikapi dalam konsep SOAR? Sejauh ini saya belum menemukan penjelasan tentang hal tersebut...

Menurut saya, terlalu beresiko kalau kita terlalu sibuk “mengejar mimpi”, lalu mengabaikan masalah riil yang ada di hadapan kita. Sebagai penganut paham keseimbangan, saya cenderung berpandangan begini: tempatkanlah “masalah” dan “mimpi” pada porsinya masing-masing secara seimbang. (rrb)        


[1] Tentu saja hal ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang telah menggunakannya. Saya menduga, masih banyak gereja yang asing dengan analisis SWOT. Jangankan memakai analisis SWOT, pembentukan team work pun masih terbilang langka. Tampaknya banyak organisasi gereja yang dijalankan hanya sebatas pada tataran birokrasi ketimbang team work.

Rabu, 19 September 2012

BER-PA DENGAN 

PENDEKATAN “TANGGAPAN PEMBACA” 

(READER RESPONSE)


Berikut ini saya paparkan refleksi atas pengalaman memandu PA (Pemahaman Alkitab) di salah satu kelompok PA GKI Nusukan, Solo sekitar tiga bulan yang lalu. Menarik bahwa kelompok PA ini dibentuk berdasarkan kesamaan profesi para anggotanya (yang adalah para pedagang) bukan berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Upaya ini merupakan ide baru yang dirancang oleh majelis jemaat GKI Nusukan. Saya tidak tahu ke depannya apa yang akan terjadi, namun yang jelas hingga saat ini memang baru ada satu kelompok PA semacam itu. Selebihnya, kelompok-kelompok PA lain masih berdasarkan wilayah.

Saya mendapatkan pengalaman yang menarik ketika memandu di kelompok PA “baru” tersebut. Setelah menerima informasi bahwa biasanya PA di kelompok tersebut cenderung interaktif (bukan sekedar renungan satu arah), saya pun mencoba menerapkan pendekatan “tanggapan pembaca”. Saya tidak menyusun sebuah teks bahan PA yang sudah baku. Saya sekedar menyiapkan beberapa informasi dasar tentang teks yang dibahas. Perlu diketahui bahwa informasi dasar tersebut tidak langsung saya sampaikan ketika PA dimulai. Daripada memulai dari sudut pandang yang cenderung objektif, saya cenderung memulai dari sudut pandang yang cenderung subjektif: bukan pertama-tama dari saya, melainkan dari para peserta PA. Untuk itu pertama-tama kami membaca teks Alkitab secara bergiliran sebanyak dua kali. Kali yang pertama, masing-masing membaca sebanyak dua ayat. Kali yang kedua, masing-masing membaca sebanyak satu ayat dengan tempo pembacaan yang lebih lambat dari sebelumnya. Setelah itu, masing-masing peserta diberi kesempatan untuk memikirkan dan merenungkan dua pertanyaan sederhana, yakni: 1) Apa yang dibahas teks secara umum? 2) Apakah ada ayat atau kata-kata di dalam teks yang menarik perhatian? Mengapa demikian?

Teks yang dibahas adalah Markus 13:1-13. Sebagaimana keterangan yang dicantumkan LAI, secara umum teks tersebut berbicara tentang akhir zaman. Wacana tentang akhir zaman biasanya memancing keingin-tahuan orang untuk berspekulasi kapan itu akan terjadi. Kesan saya, di awal PA hal ini memang sempat terjadi. Saya sendiri sudah siap-siap membahas tentang isu kiamat di akhir tahun 2012 ini. Namun perkembangan selanjutnya sungguh di luar dugaan. Seiring dengan hasil sharing dari para peserta, pembahasan tidak lagi terpaku kepada spekulasi kapan akan kiamat. Lebih jauh dari itu, kami menemukan bahwa ternyata teks juga mengandung makna lain yang relevan dengan situasi jemaat pada masa kini. Ada dua makna penting yang kami kembangkan: tentang pentingnya kewaspadaan dan penghiburan oleh Roh Kudus ketika ‘hari itu’ tiba. Lebih lanjut, kedua makna tersebut dibahas penerapannya di dalam kasus-kasus konkret yang terjadi di sekitar kita. Sungguh menarik dan terasa sangat membumi.

Dari proses PA tersebut, perhatikanlah bahwa telah terjadi pergeseran dari soal KAPAN akhir zaman akan terjadi kepada soal BAGAIMANA mengantisipasi terjadinya akhir zaman. Di dalam teks Markus 13:1-13 hal ini cenderung menjadi aspek yang tersirat. Aspek tersurat yang ditangkap pembaca pada umumnya adalah bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menandai KAPAN akhir zaman itu akan terjadi. Padahal secara tersirat paparan peristiwa-peristiwa tersebut bersifat antisipatif. Bukankah sesuatu yang akan terjadi diberitahukan terlebih dahulu agar para pendengar dapat mengantisipasinya?

Saya pulang dari kegiatan PA tersebut sebagai orang yang turut menerima pencerahan dan inspirasi. Sebenarnya, dalam PA tersebut telah terjadi proses kegiatan menafsir dan memaknai teks Alkitab secara bersama-sama, baik melalui wawasan maupun pengalaman pribadi masing-masing peserta. Saya sebagai seorang yang belajar ilmu Teologi bertugas lebih sebagai fasilitator yang sekaligus membantu mengartikulasikan proses pemaknaan bersama yang dilakukan oleh para peserta.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa situasi di atas masih tergolong langka. Sebagian (besar) jemaat yang lain masih cenderung sebagai pendengar pasif, sedang sebagian lagi cenderung menjadi kritikus-kritikus yang agresif terhadap si pemandu PA. Namun, saya rasa kita punya PR (Pekerjaan Rumah) yang mesti diselesaikan, yakni mendampingi jemaat untuk melakukan refleksi atas imannya (= berteologi) secara mandiri. Masa setelah bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun mereka mendengarkan khotbah, renungan dan ceramah masih saja belum mampu berefleksi?...  Repotnya adalah ketika kita menyaksikan masih banyak pendeta yang enggan berefleksi… what an irony! (rrb)

Minggu, 16 September 2012

THE UNCHARTED WATERS


The crowd gathered around Jesus after He healed many. He gave orders to retreat to the other side of the lake. Then a teacher of the law came up to Him and said, "Teacher, I will follow you wherever you go" (Matthew 8.19). Jesus responded this emotional respond with a rational statement, "Foxes have holes and birds of the air have nests, but the Son of Man has no place to lay His head (Matthew 8.20). Jesus was saying, "To follow Me is to enter into non-place. Another unnamed guy said, 'Lord, first let me go and bury my father. To this irrational respond, Jesus gave an irrational and emotional command, 'Follow Me, and let the dead bury their own dead (Matthew 8.22). Jesus' unpredictable response is very interesting isn't it? Jesus was showing the unpredictable circumstances that His followers need to go through. It is like going into the uncharted waters.

Becoming His followers is to follow His way. Jesus is the Way God reaches human beings and He is also the Way human beings come to God. To follow Him is to be in “non-place” and being in “non-place” is the way to eternity. “Non-place” is the inter-link (to be inter-connected) to God who is omnipresence. To be in “non-place” means to live at present and to go beyond. To follow Him is to embark on the journey into the uncharted waters. Readiness to face uncertainties is expected from His followers. 

To be ready is to be "spiritually awake". Although the disciples were awake on boat however, they were actually asleep. Whilst 'the sleeping Jesus" was awake although He was physically asleep. Journeying into the uncharted waters require a state of being awake expecting the unexpected and to be ready for uncertainties. The journey is filled with unpredictable circumstances. God may seem to be asleep during our time of turmoil and hardship. "The Sleeping jesus" is a great reminder of our "zombieness" - being physically awake yet spiritually asleep. To be spiritual is to be able to sleep in the storms meaning facing difficulties in the state of peaceful tranquility.

- lyx


Sabtu, 15 September 2012

PERABOT YANG MULIA


2 Timotius 2.14-26
Andaikata Saudara hendak memulai sebuah rumah tangga baru dengan budget yang terbatas, kira-kira perabot atau perlengkapan elektronik apa yang akan Anda prioritaskan?  Saya yakin kursi santai tidak bakal menjadi pilihan utama, bukan? Atau akankah Anda membeli jam dinding seharga 700 ribu rupiah? Saya yakin tidak. Suatu kali saya diajak untuk makan di sebuah warung soto, dan yang menakjubkan adalah ternyata ada banyak jam dinding di ruangan yang hanya berukuran sekitar 3,5 meter x 5 meter. Saya coba menghitung jumlah jam dinding 1,2,3,4…7.  Ada 7 jam dinding yang terpajang dan yang lebih menakjubkan adalah seluruh jam dinding menunjukkan waktu yang sama yakni Waktu Indonesia bagian Barat.

Jam mekanikal berasal dari sekolah teologia di abad 12 dan 13 “Benedictine Monasteries”. [1] Hal ini dikarenakan kebutuhan untuk mengatur “saat teduh”. Pada abad ke 14, jam sudah digunakan di luar sekolah teologia dan kemudian mengatur jam kerja, jam makan dan lain sebagainya. Teknologi diciptakan demi kemudahan hidup sehari-hari dan juga mengubah kebiasaan sehari-hari. Kehadiran korek api mengubah kebiasaan seksual bagi salah satu suku Afrika. Masyarakat komunitas ini percaya bahwa penting bagi mereka untuk menyalakan api setiap kali setelah berhubungan seksual.  Setiap kali setelah seseorang melakukan hubungan intim, ia mesti mengambil bara api dari rumah tetangga dan menyalakan api baru. Dengan kata lain, tidak ada hubungan intim yang terselubung. Kemudian, setelah diperkenalkan korek api, seseorang dapat menyalakan api di rumahnya sendiri tanpa harus mengambil bara api dari rumah tetangga. Singkat kata, sebuah penemuan baru telah mengubah kebiasaan hidup masyarakat desa tersebut.[2]

Perabot bisa berupa perlengkapan yang digunakan secara fungsional yakni yang penting bisa dipakai sesuai fungsi tidak peduli desain, warna maupun bahan pembuatannya. Perabot juga bisa mengekspresikan citarasa atau kepribadian seseorang melalui pilihan warna, desain dan pemajangan. Perabot juga dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan status seseorang sekaligus menambah kepercayaan diri apabila dikunjungi tamu. Apabila seseorang menyandang filsafat hidup, “I have therefore I exist”, (aku memiliki maka aku ada), maka ia akan mendefinisi hidupnya berdasarkan apa yang ia miliki.

Baiklah, kita kesampingkan topik perabot sebagai benda pemilikkan. Bagaimana apabila kita sendiri merupakan perabot di Rumah TUHAN? Paulus menggunakan ilustrasi “perabot” untuk menggambarkan kondisi jemaat di Efesus yang sedang digembalakan oleh Timotius. Kericuhan dan perselisihan terjadi di dalam jemaat ini. Siapakah dalang di balik keribuatan ini? Himeneus dan Filetus, mereka telah merusak iman sebagian orang. Perkataan mereka menjalar seperti kanker (2 Tim 2.17). Mereka mengajarkan bahwa kebangkitan orang percaya telah terjadi. Bisa dikatakan bahwa Himeneus adalah orang yang berpengaruh buruk. Sebelumnya ia dan dan Alexander menolak iman dan hati nurani yang murni sehingga Paulus menegaskan bahwa ia telah menyerahkan mereka kepada iblis, supaya jera meraka menghujat (1 Tim 1.20. Perkataan yang destruksif bagaikan ‘tumor” di tengah jemaat. Semangat melayani menurun, tidak ada dorongan untuk beribadah, hidup menjadi semakin 5 L (Lelet Lemot Lemah Letih Lesu). Tumor seperti ini bakal menciptakan “kultur suka clash” yakni sulit untuk bekerja sama, tidak adanya semangat kekompakan maupun kolegalitas.

Di dalam ilustrasinya, Paulus mengekspresikan bahwa ada dua jenis perabot yakni  perabot yang dipakai untuk maksud yang mulia (noble purpose) dan perabot yang dipakai untuk maksud yang kurang mulia (ignoble purpose). Paulus membedakan perabot dari bahannya yakni ada yang terbuat dari emas dan perak dan ada yang terbuat dari kayu dan tanah. Apabila seseorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, dikuduskan dan dipandang layak untuk dipakai tuannya, dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia (2 Tim 2.21). Nah, apakah kita memilih untuk menjadi perabot yang mulia atau menjadi perabot yang kurang mulia? Indahnya dari perumpamaan Paulus tentang perabot adalah semuanya berada di dalam rumah yang sama. Yang membedakan adalah apakah kita menjadi perabot yang dipakai oleh Tuan untuk pekerjaan yang mulia atau tidak. Paulus juga menasihati kita untuk meninggalkan nafsu orang muda (hasrat atau dalam bahasa Augustine conscupiscence) yang juga bisa berarti hasrat ego dan arogansi, mengejar keadilan, kesetiaan, kasih dan damai serta membangun hati yang murni (2 Tim 2.22).

Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah mengapa perabot atau perlengkapan yang kurang mulia tetap dipertahankan? Apa manfaat dari orang-orang yang merusak iman dan menyebalkan? Mereka bagaikan suara tik tok tik tok ataupun bagaikan jam yang berbunyi setiap 15 menit. Apa fungsinya? Mereka berfungsi untuk melatih kesabaran, mengasah kasih dan pengampunan. Orang yang menyebalkan adalah orang yang paling jujur di dalam menunjukkan kesalahan (atau mencari-cari kesalahan). Orang-orang demikian berfungsi untuk mengecek dan melatih spiritualitas.

Paulus mengingatkan bahwa TUHAN mengenal siapa kepunyaan-Nya sehingga tidak perlu bertengkar. Sebab pertengkaran adalah kebodohan. Paulus menasihatkan kita untuk dengan lemah lembut menuntun orang-orang yang suka melawan sebab mungkin Tuhan memberikan mereka kesempatan kedua. Bersikap terbukalah terhadap orang-orang yang menyebalkan, memberikan kesempatan bagi mereka sambil menyadari pengaruh buruk mereka.

Apa tujuan hidup kita? Apa yang membuat hidup kita berarti? Apakah menjadi perabot untuk fungsi yang mulia? Sebagai perabot yang berfungsi, seseorang akan berfungsi dengan baik dalam relasinya dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan dengan sesama manusia. Platinga menyebutnya dengan “spiritual hygiene”[3] yakni seseorang yang merindukan keindahan TUHAN, menyadari kebaikan TUHAN dan menyakini kebaikan bahwa TUHAN baik pada dirinya. TUHAN menjadi Sumber yang secara konstan memperbaharui dirinya. Ia juga akan membangun karakter dan nilai-nilai yang excellent. Ia akan menolak makanan sampah religi atau religious junk food. Ia akan memproyeksikan hidupnya untuk memuliakan TUHAN, dengan kata lain ia akan menjadi perabot yang mulia di dalam Rumah TUHAN.   

Mari kita tidak menjadi radio penyiar gossip atau televisi pengkomen kesalahan melainkan menjadi lampu baca yang menerangi firman TUHAN kepada sesama (Roh Kudus sebagai Inspirator). Atau kita dapat menjadi coffee-maker yang menyeduh kopi penghargaan kepada setiap orang. Atau kita menjadi vase bunga penyegar hati yang sedih dan jiwa yang lesu. Atau menjadi sofa persahabatan, blender jus buah sukacita, album foto kenangan indah, cangkir motivasi…
lyx



[1] Postman, Neil, Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. (NY: Vintage Books, 1993, p.14)
[2] Ibid, pp. 27-8
[3] Plantinga Jr, Cornelius, Not the Way It’s Supposed to Be: A Breviary of Sin. (UK: Eerdmans, 1995), p.34.