Sekitar sepuluh hari yang lalu (2 Desember 2012) Pak Joas
Adiprasetya memuat sebuah tulisan yang berjudul, “Natal Perdana: Ruang
Keramahtamahan” di Facebook.[1] Menurut
saya, tulisan tersebut menarik karena mencoba memberikan pemaknaan alternatif
atas kisah Natal, sebuah pemaknaan yang bertolak dari perspektif keramahtamahan
(hospitality). Paparan saya berikut
ini merupakan apresiasi atas tulisan Pak Joas tersebut.
Pertama-tama, ada upaya Pak Joas untuk “merehabilitasi”
kesan hostility (sikap bermusuhan)
dari pemilik rumah penginapan dalam kisah kelahiran Yesus versi Injil Lukas
(Lukas 2:1-7).[2]
Secara umum, saya memiliki kesan yang kuat bahwa setiap kali
kisah kelahiran Yesus dibacakan, yang muncul dalam benak para pendengarnya tentang
pemilik penginapan adalah tokoh antagonis yang tidak ramah. Saya juga ingat,
dalam sebuah kesempatan latihan kontemplasi Ignasian tentang kisah kelahiran
Yesus, dalam imajinasi saya muncul hal serupa: tokoh pemilik penginapan yang
tidak ramah. Dalam kontemplasi Ignasian memang imajinasi berperan penting. Namun
sekarang saya bertanya-tanya, kok bisa
imajinasi saya “menciptakan” tokoh pemilik penginapan yang tidak ramah?
Sebenarnya dalam imajinasi saya, tokoh pemilik penginapan tersebut bukan hanya
tidak ramah, tetapi menolak bahkan mengusir Maria dan Yusuf. Lebih jauh,
ternyata semua pemilik penginapan di Betlehem juga bersikap demikian. Maka terjadilah
hal naas ini: Maria dan Yusuf selalu mengalami penolakan setiap kali mereka
mendatangi sebuah tempat penginapan. Menarik bahwa dalam sebuah kesempatan
lain, saya menyaksikan imajinasi tersebut ditampilkan dalam tablo Natal. Sekali
lagi saya bertanya-tanya, mengapa imajinasi tersebut muncul? Bisa jadi karena
prasangka bahwa orang Israel itu jahat atau pandangan bahwa dunia ini memang
sejak semula menolak Tuhan.
Saya bersyukur karena ketika kuliah Teologi, saya diajar
untuk membaca Alkitab dengan cermat dan kritis. Dengan demikian, selalu ada
kesempatan untuk meninjau kembali pandangan-pandangan yang beredar, apakah
memang begitu yang tertulis di dalam teksnya atau jangan-jangan hanya
“tambahan” dari pembacanya. Nyatanya, sebagian besar imajinasi saya tersebut
tidak tertulis di dalam Injil Lukas. Dalam Lukas 2:7 tertulis, “dan ia [yaitu
Maria] melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu
dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak
ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Tidak ada dikatakan tentang
penolakan dari pemilik penginapan. Paling banter, kita hanya dapat menduga-duga
dari kenyataan bahwa bayi yang baru dilahirkan tersebut dibungkus dengan lampin
dan dibaringkan di dalam palungan. Bahwa palungan adalah tempat makanan hewan, memang dengan mudah membuat para pembaca
zaman sekarang membayangkan bahwa Yesus dilahirkan di tempat yang tidak wajar
dan tidak layak. Namun kalau hanya sampai di situ saja pertimbangannya, dengan
mudah kita akan terjebak di dalam sikap yang “anakronistis”.
Setidaknya, kita
juga mesti mempertimbangkan konteks bangsa Israel pada masa itu. Sebagai bangsa
jajahan Romawi, sebagian besar rakyat hidup di dalam kemiskinan yang parah. Ada
banyak hal yang dianggap “wajar” oleh orang miskin, namun dalam pandangan orang
yang tidak miskin dianggap hal yang “tidak wajar”. Sebagai pembanding, pada
masa sekarang ini pun masih banyak rumah-rumah orang miskin yang sangat
sederhana, namun dalam pandangan orang yang tidak miskin, rumah-rumah tersebut
bukanlah rumah dan tidak layak huni. Saya mungkin melangkah terlalu jauh,
tetapi saya menduga jangan-jangan, sebenarnya bayi yang dibungkus lampin dan
dibaringkan di dalam palungan merupakan hal yang “lazim” di kalangan orang
miskin pada masa itu, apalagi kalau memang sedang dalam keadaan darurat.
Sebenarnya sih yang terjadi
biasa-biasa saja dan bisa dimaklumi, namun kitanya
saja yang cenderung mendramatisir dan beprasangka buruk. Lagi pula, perhatikanlah
wajah-wajah Maria, Yusuf dan bayi Yesus di kartu-kartu Natal. Tidak tampak
bahwa mereka sedang susah. Sebaliknya, wajah-wajah mereka tampak begitu damai.
Dan tidak hanya wajah-wajah mereka saja, wajah-wajah domba dan sapi di tempat
itu juga tampak damai. Well, mungkin ini
hanya kebetulan saja dan artifisial…:)
Dalam tulisannya tersebut, Pak Joas tidak hanya berpedoman
pada imajinasi belaka. Ia juga melakukan rekonstruksi atas kisah kelahiran
Yesus yang dipaparkan teks Injil Lukas. Hasilnya, Yesus tidak dilahirkan di
sebuah kandang yang hina, melainkan di ruangan bawah dari sebuah rumah. Menurut
Pak Joas, istilah kataluma dalam
Lukas 2:7 lebih tepat diterjemahkan “ruang tamu” atau “ruang atas” (terjemahan
LAI: “penginapan”; istilah ini juga dipakai di dalam Lukas 22:12). Dengan
mempertimbangkan bahwa pada masa itu lazimnya para perantau mengunjungi rumah
sanak saudara mereka, maka disimpulkan bahwa kedatangan Maria dan Yusuf bukan
untuk mencari penginapan umum, melainkan untuk menginap di rumah seorang sanak
saudara. Namun ternyata rumah tersebut telah penuh sesak oleh sanak saudara
yang lain. Dalam keadaan darurat semacam itu, demi privasi Maria dan Yusuf
digunakanlah “ruang bawah”, yakni ruang di mana biasanya pemilik rumah menjaga
ternak di waktu malam. Tentu ruang tersebut dibuat senyaman mungkin terlebih
dahulu. Jadi, kelahiran Yesus di ruang tersebut bukan karena hostility pemilik penginapan, melainkan
karena hospitality pemilik rumah. Menurut
saya, rekonstruksi tersebut membuat imajinasi Pak Joas menjadi alternatif yang plausible bagi imajinasi lain yang
cenderung negatif (misalnya imajinasi saya).
Sampai di sini muncul pertanyaan, di manakah sebenarnya
Yesus dilahirkan? Di kandang (pandangan tradisional), di ruang bawah rumah
seorang sanak saudara (pandangan Pak Joas) atau di tempat persinggahan umum
(pandangan Romo Gianto)? Sulit untuk menentukannya. Untuk sementara ini
bersabar sajalah, siapa tau di waktu
yang akan datang semakin banyak temuan yang memberikan kejelasan. Satu hal yang
jelas, entah di manapun Yesus dilahirkan, teks Injil Lukas tidak menyatakan
adanya hostility pemilik penginapan.
Akhirnya, saya juga mengapresiasi upaya Pak Joas yang mencoba
mengidentifikasi tema keramahtamahan di dalam Injil Lukas. Keramahtamahan tidak
hanya muncul dalam kisah kelahiran Yesus (Lukas 2), tetapi juga di dalam kisah
Zakheus (Lukas 19:1-10), panggilan Lewi (Lukas 5:27-32), pengampunan seorang
perempuan berdosa (Lukas 7:36-50), perumpamaan anak yang hilang (Lukas
15:11-32), pemberian makan lima ribu orang (Lukas 9:10-17), perjamuan malam
yang terakhir (Lukas 22:7-38) dan tambahan dari saya, kisah perjalanan murid ke
Emaus (Lukas 24:13-35). Hal ini tidak mesti bertentangan dengan pandangan umum
di kalangan pakar Alkitab, yakni bahwa konteks Injil Lukas adalah orang yang
miskin dan tersisih. Sudah sering kita mendengar tentang Allah yang berpihak
kepada orang yang miskin dan tersisih. Lantas, kisah kelahiran Yesus di tempat
yang “rendah” sering dijadikan simbol solidaritas Allah. Namun, simbol yang
tidak menggerakkan kita kepada praksis pembebasan yang konkrit hanya akan
membuat kita me-“romantisasi” dan men-“dramatisir” kemiskinan. Hal ini jelas
tidak banyak manfaatnya. Di sisi lain, keramahtamahan merupakan salah satu
wujud sikap solider kita kepada mereka yang miskin dan tersisih. Keramahtamahan
berarti menyambut mereka yang miskin dan tersisih; “menciptakan ruang” yang
cukup bagi mereka untuk hidup dan mengaktualisasikan diri.
Ngomong-ngomong, dalam
beberapa waktu belakangan ini saya merasakan pengalaman keramahtamahan di
Jakarta, Bandung, Tangerang, Cirebon, Jogja, dan Purworejo. Dalam
keramahtamahan insani, di sana terpancar pula keramahtamahan ilahi. Syukur
kepada Allah! (rrb)
[2]
Romo Agustinus Giato, seorang Profesor Filologi Semit dan Linguistik di
Pontificium Institutum Biblicum Roma, juga melakukan hal serupa. Romo Gianto
mengatakan, “Bukan maksud Lukas mengatakan bahwa mereka tidak dimaui di
mana-mana. Tempat-tempat biasa sudah penuh… . Mereka akhirnya menemukan tempat
umum yang ada di setiap dusun pada waktu itu yang biasa dipakai tempat
istirahat rombongan karavan bersama hewan angkutan mereka. Semacam stasiun
zaman dulu… . Sekali lagi ini cara Lukas mengatakan kelahiran Yesus terjadi di
tempat yang bisa terjangkau umum.” Lihat Agustinus Gianto, Dag-Dig-Dug…Byaar! Kumpulan Ulasan Injil, (Yogyakarta: Kanisius,
2004), h. 101. Apa yang dikatakan Romo Gianto ini berbeda dengan rekonstruksi
Pak Joas, yakni bahwa tempat kelahiran tersebut terjadi di salah satu ruangan
sebuah rumah. Romo Gianto mengikis tendensi hostilitas yang muncul dalam
pembacaan teks. Pak Joas bergerak lebih jauh dengan mencoba mengidentifikasi
adanya hospitalitas di dalam teks.