Selasa, 30 April 2013

PERINTAH BARU: SALING MENGASIHI DALAM SEMANGAT KETERBUKAAN



Tulisan ini merupakan pengembangan atas bahan yang saya khotbahkan pada hari Minggu lalu (28 April 2013). Satu hal yang patut saya catat di sini adalah bahwa khotbah tersebut saya sampaikan dalam sebuah kebaktian umum yang dimulai pukul 12.30 WIB. Inilah ibadah tengah hari, di siang yang gerah dan yang pasti tanpa AC. Meskipun begitu, saya salut dengan jemaat yang hadir. Belakangan saya mengetahui bahwa kebaktian tengah hari semacam itu bukanlah suatu hal yang baru mereka lakukan belakangan ini. Tidak. Mereka telah melakukannya secara rutin selama berpuluh-puluh tahun. Alasannya sederhana saja: tengah hari adalah waktu istirahat mereka dari pekerjaan di sawah atau di ladang.

Khotbah tersebut fokusnya adalah pada bacaan Injil (Yohanes 13:31-35) dan Kisah Para Rasul 11:1-18. Ada dua hal pokok yang dikemukakan: yang pertama, saling mengasihi sebagai perintah baru dari Kristus dan yang kedua, pentingnya “membuka diri” dalam rangka saling mengasihi. Di samping kedua hal tersebut, di sini saya menambahkan satu hal lagi, yakni aspek perasaan dan emosi dalam saling mengasihi.

Mari kita mulai dengan yang pertama. Apa yang disebut dengan perintah baru, ternyata bagi kita orang Kristen sudah tidak terasa baru lagi. Hal ini langsung saya katakan di awal khotbah. Saya bertanya kepada jemaat, “Apa yang disebut sebagai perintah baru?” Jemaat menjawab, “saling mengasihi.” Lalu saya bertanya lagi, “Apakah saling mengasihi itu adalah suatu hal yang baru?” Jemaat menjawab, “Tidak.”

Mengapa perintah tersebut tidak lagi terasa baru? Jawaban subjektif saya: karena kita telah terbiasa mengucapkan dan berbicara tentang kasih. Dalam banyak kesempatan, kita juga sering menyatakan bahwa iman kita tidak lepas dari keutamaan kasih. Namun, kasih telah menjadi hal yang sangat biasa dan sering hanya berhenti di bibir. Kasih menjadi istilah yang nyaris kehilangan maknanya dan dikerdilkan eksistensinya sebatas kata-kata picisan belaka. Di sisi lain, tidak sedikit di antara kita yang menyadari betapa tidak mudahnya “menaruh” kasih itu di dalam tindakan nyata. Di situ  kita dipanggil untuk bergumul.

Dalam upaya memaknai ungkapan “perintah baru” Kristus, banyak pakar Alkitab yang mengajukan pandangan bahwa yang “baru” dalam perintah tersebut adalah pernyataan ini: “sama seperti Aku [Kristus] telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Karena Kristus kita telah mengasihi kita, maka kita pun dipanggil dan dimampukan untuk saling mengasihi. (bnd. I Yohanes 4:11-12). Penekanannya adalah kasih Kristus yang telah terlebih dahulu dianugerahkan kepada kita. Ini pula yang tampaknya membedakan perintah kasih dalam Injil Yohanes dengan perintah kasih dalam Injil-injil sinoptik. Dalam Injil-injil sinoptik penekanannya adalah kepada kedua dimensi kasih: dimensi yang vertikal, yakni kasih kepada Allah dan dimensi yang horizontal, yakni kepada sesama (dan diri sendiri?). Dalam hal ini, Tuhan Yesus ‘hanya’ mengutip dari apa yang telah tertulis dalam Hukum Taurat.

Jadi, perintah baru adalah soal menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita, lalu “menyalurkan”-nya kepada sesama kita. Di sini kita menyaksikan bahwa kasih Kristus merupakan sumber kekuatan yang memampukan kita untuk saling mengasihi. Mereka yang sedang bergumul “menaruh” kasih itu di dalam tindakan nyata, selalu diingatkan untuk mengarahkan pandangan kepada Kristus yang senantiasa setia mengasihi mereka. Maka satu hal yang patut kita renungkan pada saat ini adalah apakah kita telah sungguh-sungguh menyadari, menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita? Percayalah bahwa itulah sumber yang darinya kita menimba kekuatan dan penghiburan yang tiada habisnya untuk senantiasa saling mengasihi.

Hal lain yang menurut saya membuat perintah saling mengasihi dalam Injil Yohanes terasa baru adalah konteks sebelum dan sesudah kisah tersebut dipaparkan. Sebelumnya, dikisahkan tentang Yudas Iskariot yang pergi meninggalkan Yesus dan yang kemudian akan mengkhianatinya. Sesudahnya, dikisahkan tentang peringatan kepada Petrus yang akan menyangkal Yesus tiga kali. Yudas Iskariot dan Petrus adalah orang-orang yang berada bersama Yesus sejak awal pelayanan-Nya. Mereka telah mengalami dan merasakan suka-duka hidup bersama, setidaknya dalam tiga tahun belakangan. Namun, ternyata mereka berdua akan melukai Yesus dengan pengkhianatan yang pahit. Petrus tidak lebih baik dari Yudas Iskariot. Demikian pula, para murid lain tidak lebih baik dari Yudas Iskariot dan Petrus. Mereka semua, baik langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam pengkhianatan terhadap Sang Guru yang mengasihi mereka. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan dari dikhianati oleh orang yang dikasihi. Dalam situasi semacam ini, Injil Yohanes kembali menggemakan perkataan Sang Guru: “kamu harus saling mengasihi.”

Konteks di atas, cukup kental dengan nuansa emosional. Perasaan kita mestinya terusik ketika mendengar “kisah tragis” ini dipaparkan kembali. Di sini, kita perlu mengoreksi pandangan-pandangan yang mengesankan bahwa perasaan dan emosi tidaklah penting dalam saling mengasihi. Saya rasa, yang terjadi justru sebaliknya: perasaan dan emosi itu penting untuk diperhatikan dalam saling mengasihi. Orang sering menuduh perasaan dan emosi itu irasional. Kata mereka, kita mesti rasional. Namun, dalam praktik kita menyaksikan banyak yang terjadi justru irasional. Lalu mereka membela diri dengan berbagai alasan dan penjelasan; suatu upaya merasionalisasi yang irasional. Betapa absurdnya! (lebih gamblang: masalah like and dislike, suka dan tidak suka, terbilang kronis dalam kehidupan bersama. Mulai dari yang diekspresikan dengan blak-blakan, sampai dengan yang diselubungi dengan hal-hal yang rasional! Yang terakhir ini rawan dengan ketidak-tulusan dan kemunafikan). Maka, daripada mengabaikan perasaan dan emosi, lebih baik kita belajar menerimanya. Pelajaran bagi kita adalah kalau kita hendak saling mengasihi, pentinglah menyadari, menerima dan menata sedemikian rupa perasaan dan emosi kita.

Akhirnya, perintah saling mengasihi juga terasa baru karena dalam Injil Yohanes yang ditekankan adalah saling mengasihi di antara para murid. Di sini ada kesan eksklusif. Di sisi lain, dalam Kisah Para Rasul, ada kesan inklusif: Petrus (dan kemudian juga jemaat mula-mula) bergerak keluar dari eksklusivisme tradisi Yahudi dengan menerima Kornelius yang orang bukan Yahudi. Bagi saya, dalam kadar tertentu sikap eksklusif bisa diterima, apalagi kalau itu memang merupakan bagian dari dinamika perkembangan identitas diri yang khas. Yang haram adalah manakala sikap eksklusif hanya membuat kita menutup diri terhadap yang lain. Kalau kita menutup diri terhadap yang lain, bagaimana kita hendak saling mengasihi?

Bila kita memaknai Injil Yohanes bersama-sama dengan Kisah Para Rasul, maka sikap inklusif -- saling mengasihi dalam semangat keterbukaan -- mesti diterapkan pertama-tama di dalam komunitas para murid Kristus. Harap diperhatikan bahwa Kisah Para Rasul 11:1-18 pertama-tama soal pertanggung-jawaban Petrus kepada jemaat di Yerusalem. Dalam konteks ini keterbukaan berkaitan dengan kesediaan jemaat yang mau mendengarkan penjelasan Petrus. Itulah sebabnya, saya tidak mau buru-buru mengaitkan makna teks ini dengan soal keterbukaan terhadap agama-agama lain. Wong, di dalam gereja saja kita masih sulit membuka diri terhadap saudara-saudari seiman…  Ya, bukankah dalam kenyataan kita menyaksikan bahwa dalam gereja, yang adalah komunitas para murid Kristus, selalu ada kecenderungan menutup diri? Perhatikanlah mulai dari kelompok-kelompok sampai dengan kubu-kubu yang ada di dalam gereja. Tidak jarang mereka kental dengan sikap “elit-isme” yang pongah, merasa diri yang paling hebat dan suka merendahkan yang lain. Dengan sikap demikian, jangankan saling mengasihi, mereka malah cenderung bentrok satu sama lain, dan tidak jarang menimbulkan perpecahan yang menyedihkan. Maka, tinggallah sebuah pertanyaan untuk kita renungkan: adakah kita sungguh rindu agar kita dapat saling mengasihi? Kalau ya, sebuah langkah awal yang dapat kita tempuh adalah mengobarkan semangat keterbukaan terhadap yang lain. Salah satu hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk itu adalah kesediaan untuk mendengarkan yang lain dengan rendah hati. Mari kita memulainya dengan saudara-saudari seiman.

Hari ini kita masih berada dalam masa Paskah, perayaan akan kebangkitan Kristus. Saling mengasihi dan Paskah berkaitan erat. Di satu sisi, Paskah adalah kemenangan kehidupan atas kebinasaan. Di sisi lain, saling mengasihi merupakan tindakan yang “menyuburkan” kehidupan. Syukur kepada Allah atas anugerah kehidupan dan kasih! (rrb)
  

Kamis, 11 April 2013

SALIB: SIMBOL TEROR, TEROR SIMBOL


Pendahuluan

Dalam masa raya Paskah ini[1] (?) saya ingin membahas sebuah buku  tentang salib. Agak janggal rasanya. Namun Paskah adalah perayaan kebangkitan Kristus yang tersalib. Bekas-bekas luka di tubuh-Nya akan selalu mengingatkan kita pada salib. Karena itu membahas tentang salib tetap relevan.[2]
 
Salib merupakan simbol yang dikenal dengan baik di kalangan orang Kristen. Tidak hanya itu, sering agama Kristen diidentikkan dengan salib. Melihat salib, secara spontan orang akan terbayang tentang agama Kristen. Sebaliknya, bicara tentang agama Kristen, orang akan langsung mengarahkan pandangannya kepada simbol salib. Meski begitu, patut diingat pula bahwa  kalau kita menilik kepada sejarah, simbol salib dengan segala variannya telah ada dan digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu sebelum munculnya agama Kristen.[3]

Dalam perkembangannya, mesti diakui bahwa salib bukan lagi monopoli agama Kristen. Kita menyaksikan bahwa sekarang tidak sedikit orang yang menggunakan salib (entah sebagai kalung, anting-anting atau tato) namun mereka tidak hendak mengidentikkan diri dengan agama Kristen. Gejala ini jelas menunjukkan terjadinya pergeseran makna salib. Bahkan di kalangan orang-orang Kristen, meskipun salib dikenal dengan baik, hal itu tidak serta-merta diikuti dengan pemaknaan (dan penghayatan) yang baik pula. Tidak jarang pemaknaan kita akan salib berhenti pada pengulangan rumusan tradisi, sebuah dogma dan tidak lebih dari ritualisme. Maka selalu ada kerawanan untuk menjadikan salib sekadar sebagai aksesoris. Jika demikian, salib akan menjadi simbol yang mati.

Pertanyaan yang mendasar adalah apa makna salib (Kristus) bagi kita?

Buku yang berjudul Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi[4] dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut.[5] Buku ini merupakan kumpulan tulisan (seluruhnya ada 14 tulisan) yang hendak mengkaji (makna) salib dari berbagai perspektif: dari perspektif liturgis, historis sampai dengan biblis; dari perspektif spiritualitas-mistik, etis sampai dengan teologi politis; dari perspektif estetis, sastra sampai dengan sinematografis; dan akhirnya dari perspektif antropologis, filsafat Barat, filsafat Timur sampai dengan semiotis.[6] Latar belakang para penulisnya pun beragam. Tidak hanya teolog dan filsuf, tetapi juga budayawan (Jakob Sumardjo), novelis (Ayu Utami), dan sastrawan non Kristen (Goenawan Mohamad).

Dalam kesempatan ini saya tidak akan mengulas keempat belas tulisan tersebut. Yang saya lakukan adalah memaparkan pemahaman saya  dalam “bingkai” judul buku, Salib: Simbol Teror, Teror Simbol.

Salib: Simbol Teror

Salib sebagai simbol teror mestinya sudah cukup jelas bila kita memperhatikan rekaman sejarah penyaliban Yesus. Yesus disalib dengan penderitaan yang amat sangat. Di salib itu pula ajal-Nya datang menjemput. Berbeda dari kita saat ini, orang-orang yang hidup pada abad-abad pertama merasakan betul salib sebagai simbol teror. Kekaisaran Romawi pada masa itu menggunakan salib sebagai hukuman yang paling kejam untuk para penjahat. Tidak mengherankan kalau para pakar menemukan bahwa “Ternyata, tanda metafora Salib semula tidak dimaksudkan untuk membayangkan Kesengsaraan Kristus, melainkan justru untuk menunjukkan Kemuliaan-Nya yang ilahi. Juga ketika Salib itu secara khusus mengacu pada kematian Kristus, hendaknya dianggap sebagai ungkapan daya ilahi yang merebak karena kematian-Nya.”[7] “Ada juga bukti historis yang begitu jelas bahwa orang-orang Kristen memperlihatkan ketidakinginan mereka untuk mengkontemplasikan kenistaan dan kebodohan Penyelamat pada peristiwa salib, khususnya “ketelanjangan-Nya”.”[8] Baru pada abad pertengahan berkembang tendensi untuk memaknai salib yang terfokus pada keadaan psikologis Kristus yang menderita disalib.[9]

Salib yang adalah simbol teror itu kemudian diambil-alih sebagai simbol iman, pertama-tama karena Kristus tergantung mati di situ. Dalam bahasa estetis, salib menjadi simbol iman karena “Salib menjadi tempat cinta yang disalib.”[10] Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari keyakinan akan Kristus yang bangkit setelah peristiwa penyaliban terjadi. Selain itu, bukan tidak mungkin pula salib diadopsi sebagai simbol  agama Kristen berkenaan dengan pengalaman Kaisar Konstantinus Agung yang mengklaim telah melihat cahaya berbentuk salib di langit dan kemudian menitahkan kepada laskar perangnya untuk menggunakan tanda agama Kristen chi-rho pada perisai mereka. Lebih lanjut, sejak zaman itu penyaliban sebagai hukuman mati dihapuskan dan simbol salib tampil di mana-mana, di dalam kehidupan dan ruang publik.[11] Kita dapat menduga bahwa mungkin inilah permulaan terkikisnya salib sebagai simbol teror.

Namun, salib sebagai simbol teror masih relevan pada masa kini. Kita hidup di tengah-tengah situasi “ketersaliban”, di mana banyak orang dilanda penderitaan, kemiskinan dan menjadi korban ketidakadilan.[12] Di sini dituntut solidaritas yang mendalam kepada sesama [dan seluruh kehidupan] tetapi juga yang tidak kalah pentingnya agar kita memberi perhatian yang sungguh-sungguh bahwa salib sebagai simbol teror adalah “trauma dan tragedi yang tak boleh terulang dan perlu [bahkan harus] dilawan, agar Tuhan dan kemanusiaan tak lagi hancur teraniaya bersimbah darah.”[13] Maka salib sebagai simbol teror merupakan suatu tantangan bagi kita: “bagaimana menghilangkan “salib” macam itu sepanjang sejarah, menghilangkan segala bentuk praktik struktural dan sistematik yang mendegradasi kemanusiaan dan mematikan cinta.”[14] Pemaknaan salib yang demikian ini memang kental dengan perspektif teologi pembebasan.

Selanjutnya, bisa ditambahkan relevansi salib sebagai simbol teror pada tataran kehidupan pribadi. Hal ini diungkapkan dengan gamblang oleh Ign. Bambang Sugiharto demikian,

“… salib adalah teror yang setiap kali menghadapkan diri sendiri dengan kesungguhan komitmen nilainya pribadi: konflik antara kesungguhan mencinta dan derita yang mesti ditanggung karenanya. Ia adalah teror karena tiap kali menghadapkan individu pada kedalaman hati nurani, pada dilema dasar antara kenikmatan dan kesungguhan komitmen, antara kekuasaan dan pengabdian, antara kebusukan dan keluhuran, dst. Salib adalah isyarat yang bisa merobek topeng-topeng sang ego, membongkar kepalsuan dan benteng-benteng kenyamanannya, dan mendobrak ketakutan-ketakutan yang diam-diam disembunyikannya. Salib adalah teror mental yang senantiasa menelanjangi, justru agar manusia dilahirkan kembali semakin ilahi. Salib adalah penghampaan diri guna memberi ruang bagi energi ilahi: kenosis yang bertransformasi menjadi plerosis, ketakberdayaan yang berubah menjadi kemuliaan.”[15]        
   
Salib: Teror Simbol   

Mungkin saya keliru, namun dari keempat belas tulisan yang ada, tampaknya hanya tulisan Ign. Bambang Sugiharto yang sempat menyoroti salib sebagai teror simbol. Saya suka membaca tulisan Sugiharto, namun tidak mudah untuk memahaminya. Maka yang saya paparkan berikut ini hanya sejauh pemahaman saya yang serba terbatas.

Salib (Kristus) disebut sebagai teror simbol karena mengandung potensi dekonstruktif. Maksudnya, salib telah membongkar anggapan-anggapan konvensional tentang Tuhan, dan dengan demikian telah menempatkan Tuhan kembali kepada kemisteriusan-Nya yang sulit dimengerti.[16] Simbol-simbol yang biasanya digunakan untuk menunjuk kepada yang ilahi, kini beresiko kehilangan maknanya karena ternyata realitas yang ada sangat berbeda dari apa yang dikira sebelumnya.

Sejajar dengan hal tersebut kita pun semakin menyadari bahwa di hadapan realitas, yang kita tangkap selalu merupakan sebuah imaji atau visi mental. Imaji kita akan realitas jelas tidak sama dengan realitas, melainkan sebuah penafsiran yang,  sekali lagi, bisa jadi sangat berbeda dari realitas yang ada (demikian pula simbol-simbol yang diciptakan manusia). Di sini salib merupakan peringatan agar kita senantiasa waspada terhadap segala bentuk imaji, secara khusus manakala ia mulai mengerdilkan pemahaman tentang hubungan kita dengan Tuhan. Salib merupakan teror simbol karena membuat kita selalu waspada terhadap perangkap simbolisme itu sendiri.[17]

Penutup

Saya mengakhiri tulisan ini dengan menyoroti fenomena penggunaan simbol dan ritual yang semakin marak di kalangan gereja-gereja Protestan. Keterbukaan gereja-gereja Protestan terhadap simbol dan ritual patut diapresiasi. Telah cukup lama gereja-gereja Protestan menaruh kecurigaan terhadap simbol dan ritual. Kita menjumpai misalnya ada gereja-gereja tertentu yang menolak penyalaan lilin di gereja sebagai bagian dari simbol yang digunakan dalam beribadah. Namun hal ini bukannya tanpa dasar sama sekali. Ada suatu masa ketika simbol-simbol digunakan dengan tidak bijak, yakni ketika simbol-simbol diidentikkan dengan realitas, termasuk dengan realitas yang ilahi. Jika demikian, simbol berpotensi menjadi berhala. Salib sebagai teror simbol mestinya selalu membuat kita waspada terhadap perangkap simbolisme semacam ini. Pada salib itu kita menjumpai kemisteriusan Allah yang selalu melampaui segala simbol yang ada. Semogalah demikian. (rrb)
  


[1] Setidaknya, menurut kalender liturgi kita sekarang masih dalam masa raya Paskah hingga pertengahan bulan depan nanti. Bahwa banyak gereja Protestan mengesankan masa raya Paskah telah berakhir, itu lain persoalan.

[2] Sebagaimana yang dicatat Antonius Subianto Bunyamin, “Dalam kristologi holistik, hidup dan wafat Yesus tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan Kristus.” Bunyamin mengacu pada pandangan Thorwald Lorenzen. Lihat Antonius Subianto Bunyamin, “Logos, Ethos, dan Pathos Ilahi Dalam Diri Insani”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 158 (catatan kaki no.1)

[3] A. Eddy Kristiyanto, “Antara Skandal dan Stigmata”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 31. Romo Eddy mengatakan, “Kekristenan telah mengambil alih paham tentang ankh [salib dalam kebudayaan Mesir kuno], mengingat sejumlah arti tersebut [antara lain sebagai tanda kehidupan].

[4] Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003). 176 halaman.

[5] Selain itu, ada dua buku menarik yang secara khusus membahas salib dari perspektif teologis antara lain: Membedah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam, (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2010) oleh Ioanes Rakhmat dan Berdamai dengan Salib, (Jakarta: Grafindo dan UPI STT Jakarta, 2010) oleh Joas Adiprasetya. Buku yang kedua merupakan tanggapan kritis atas buku yang pertama.

[6] Ecce Lignum Crucis:Dari Tanda Hingga Pesta oleh C. Harimanto Suryanugraha (perspektif liturgis), Antara Skandal dan Stigmata oleh A. Eddy Kristiyanto (perspektif historis), Kita Harus Bangga oleh Glen Lewandowski (perspektif biblis), Salib di Kalvari: Pilar Iman Masa Kini oleh J. Hartono Budi (perspektif teologi politis/teologi pembebasan), Ke Dalam Tangan-Mu Kuserahkan Jiwa-Ku oleh Yan Sunyata (perspektif spiritualitas-mistik), Jalan Sang Guru oleh William Chang (perspektif etis), Salib: Titik Temu Garis Amor Fati-Amor Dei oleh Fabianus S. Heatubun (perspektif estetis), Isa dan Beberapa Metamorfosis oleh Goenawan Mohamad (perspektif sastra), Tentang Sensualitas Salib oleh Ayu Utami (perspektif sastra), Menjelajah Keheningan- Salib Yesus dalam Film oleh B. Haryo Tejo Bawono (perspektif sinematografis), Salib dan Religi Primordial Indonesia oleh Jakob Sumardjo (perspektif antropologis), Saat Disclosure di Ground Zero oleh F.X. Rudiyanto Subagio (perspektif filsafat Timur), Logos, Ethos, dan Pathos Ilahi Dalam Diri Insani oleh Antonius Subianto Bunyamin (perspektif filsafat Barat), Salib: Lubang Hitam Spiritualitas oleh Ign. Bambang Sugiharto (perspektif semiotis).



[7] C. Harimanto Suryanugraha, “Ecce Lignum Crucis:Dari Tanda Hingga Pesta”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 13. Suryanugraha mengacu pada pandangan Jean Danielou. Sebelum salib, orang-orang Kristen telah menggunakan simbol-simbol lain, misalnya: XP (chi-rho), ICHTHUS atau gambar ikan.

[8] A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h. 33

[9] A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h. 36

[10] Fabianus S. Heatubun, “Salib: Titik Temu Garis Amor Fati-Amor Dei”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 96

[11] Bnd. A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h. 33

[12] Bnd. J. Hartono Budi, Salib di Kalvari: Pilar Iman Masa Kini”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 59

[13] Ign. Bambang Sugiharto, “Salib: Lubang Hitam Spiritualitas”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 163

[14] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 163

[15] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 171-172

[16] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 164

[17] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 171