Tulisan ini merupakan
pengembangan atas bahan yang saya khotbahkan pada hari Minggu lalu (28 April
2013). Satu hal yang patut saya catat di sini adalah bahwa khotbah tersebut
saya sampaikan dalam sebuah kebaktian umum yang dimulai pukul 12.30 WIB. Inilah
ibadah tengah hari, di siang yang gerah dan yang pasti tanpa AC. Meskipun
begitu, saya salut dengan jemaat yang hadir. Belakangan saya mengetahui bahwa
kebaktian tengah hari semacam itu bukanlah suatu hal yang baru mereka lakukan
belakangan ini. Tidak. Mereka telah melakukannya secara rutin selama
berpuluh-puluh tahun. Alasannya sederhana saja: tengah hari adalah waktu
istirahat mereka dari pekerjaan di sawah atau di ladang.
Khotbah tersebut fokusnya adalah
pada bacaan Injil (Yohanes 13:31-35) dan Kisah Para Rasul 11:1-18. Ada dua hal pokok
yang dikemukakan: yang pertama, saling mengasihi sebagai perintah baru dari
Kristus dan yang kedua, pentingnya “membuka diri” dalam rangka saling
mengasihi. Di samping kedua hal tersebut, di sini saya menambahkan satu hal
lagi, yakni aspek perasaan dan emosi dalam saling mengasihi.
Mari kita mulai dengan yang
pertama. Apa yang disebut dengan perintah baru, ternyata bagi kita orang
Kristen sudah tidak terasa baru lagi. Hal ini langsung saya katakan di awal
khotbah. Saya bertanya kepada jemaat, “Apa yang disebut sebagai perintah baru?”
Jemaat menjawab, “saling mengasihi.” Lalu saya bertanya lagi, “Apakah saling
mengasihi itu adalah suatu hal yang baru?” Jemaat menjawab, “Tidak.”
Mengapa perintah tersebut tidak
lagi terasa baru? Jawaban subjektif saya: karena kita telah terbiasa
mengucapkan dan berbicara tentang kasih. Dalam banyak kesempatan, kita juga
sering menyatakan bahwa iman kita tidak lepas dari keutamaan kasih. Namun,
kasih telah menjadi hal yang sangat biasa dan sering hanya berhenti di bibir.
Kasih menjadi istilah yang nyaris kehilangan maknanya dan dikerdilkan
eksistensinya sebatas kata-kata picisan belaka. Di sisi lain, tidak sedikit di
antara kita yang menyadari betapa tidak mudahnya “menaruh” kasih itu di dalam
tindakan nyata. Di situ kita dipanggil
untuk bergumul.
Dalam upaya memaknai ungkapan
“perintah baru” Kristus, banyak pakar Alkitab yang mengajukan pandangan bahwa
yang “baru” dalam perintah tersebut adalah pernyataan ini: “sama seperti Aku
[Kristus] telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Karena
Kristus kita telah mengasihi kita, maka kita pun dipanggil dan dimampukan untuk
saling mengasihi. (bnd. I Yohanes 4:11-12). Penekanannya adalah kasih Kristus
yang telah terlebih dahulu dianugerahkan kepada kita. Ini pula yang tampaknya
membedakan perintah kasih dalam Injil Yohanes dengan perintah kasih dalam
Injil-injil sinoptik. Dalam Injil-injil sinoptik penekanannya adalah
kepada kedua dimensi kasih: dimensi yang vertikal, yakni kasih kepada Allah dan
dimensi yang horizontal, yakni kepada sesama (dan diri sendiri?). Dalam hal
ini, Tuhan Yesus ‘hanya’ mengutip dari apa yang telah tertulis dalam Hukum
Taurat.
Jadi, perintah baru adalah soal
menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita, lalu “menyalurkan”-nya kepada
sesama kita. Di sini kita menyaksikan bahwa kasih Kristus merupakan sumber
kekuatan yang memampukan kita untuk saling mengasihi. Mereka yang sedang
bergumul “menaruh” kasih itu di dalam tindakan nyata, selalu diingatkan untuk mengarahkan
pandangan kepada Kristus yang senantiasa setia mengasihi mereka. Maka satu hal
yang patut kita renungkan pada saat ini adalah apakah kita telah
sungguh-sungguh menyadari, menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita?
Percayalah bahwa itulah sumber yang darinya kita menimba kekuatan dan
penghiburan yang tiada habisnya untuk senantiasa saling mengasihi.
Hal lain yang menurut saya membuat
perintah saling mengasihi dalam Injil Yohanes terasa baru adalah konteks
sebelum dan sesudah kisah tersebut dipaparkan. Sebelumnya, dikisahkan tentang
Yudas Iskariot yang pergi meninggalkan Yesus dan yang kemudian akan
mengkhianatinya. Sesudahnya, dikisahkan tentang peringatan kepada Petrus yang
akan menyangkal Yesus tiga kali. Yudas Iskariot dan Petrus adalah orang-orang
yang berada bersama Yesus sejak awal pelayanan-Nya. Mereka telah mengalami dan
merasakan suka-duka hidup bersama, setidaknya dalam tiga tahun belakangan.
Namun, ternyata mereka berdua akan melukai Yesus dengan pengkhianatan yang
pahit. Petrus tidak lebih baik dari Yudas Iskariot. Demikian pula, para murid
lain tidak lebih baik dari Yudas Iskariot dan Petrus. Mereka semua, baik
langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam pengkhianatan terhadap Sang Guru
yang mengasihi mereka. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan dari
dikhianati oleh orang yang dikasihi. Dalam situasi semacam ini, Injil Yohanes
kembali menggemakan perkataan Sang Guru: “kamu harus saling mengasihi.”
Konteks di atas, cukup
kental dengan nuansa emosional. Perasaan kita mestinya terusik ketika mendengar
“kisah tragis” ini dipaparkan kembali. Di sini, kita perlu mengoreksi
pandangan-pandangan yang mengesankan bahwa perasaan dan emosi tidaklah penting
dalam saling mengasihi. Saya rasa, yang terjadi justru sebaliknya: perasaan
dan emosi itu penting untuk diperhatikan dalam saling mengasihi. Orang sering
menuduh perasaan dan emosi itu irasional. Kata mereka, kita mesti rasional.
Namun, dalam praktik kita menyaksikan banyak yang terjadi justru irasional.
Lalu mereka membela diri dengan berbagai alasan dan penjelasan; suatu upaya
merasionalisasi yang irasional. Betapa absurdnya! (lebih gamblang: masalah like
and dislike, suka dan tidak suka, terbilang kronis dalam kehidupan bersama.
Mulai dari yang diekspresikan dengan blak-blakan,
sampai dengan yang diselubungi dengan hal-hal yang rasional! Yang terakhir
ini rawan dengan ketidak-tulusan dan kemunafikan). Maka, daripada mengabaikan
perasaan dan emosi, lebih baik kita belajar menerimanya. Pelajaran bagi kita
adalah kalau kita hendak saling mengasihi, pentinglah menyadari, menerima dan
menata sedemikian rupa perasaan dan emosi kita.
Akhirnya, perintah saling
mengasihi juga terasa baru karena dalam Injil Yohanes yang ditekankan adalah
saling mengasihi di antara para murid. Di sini ada kesan eksklusif. Di sisi
lain, dalam Kisah Para Rasul, ada kesan inklusif: Petrus (dan kemudian juga
jemaat mula-mula) bergerak keluar dari eksklusivisme tradisi Yahudi dengan
menerima Kornelius yang orang bukan Yahudi. Bagi saya, dalam kadar tertentu sikap
eksklusif bisa diterima, apalagi kalau itu memang merupakan bagian dari
dinamika perkembangan identitas diri yang khas. Yang haram adalah manakala
sikap eksklusif hanya membuat kita menutup diri terhadap yang lain. Kalau kita menutup
diri terhadap yang lain, bagaimana kita hendak saling mengasihi?
Bila kita memaknai Injil Yohanes bersama-sama dengan
Kisah Para Rasul, maka sikap inklusif -- saling mengasihi dalam semangat keterbukaan -- mesti diterapkan pertama-tama di dalam komunitas para murid Kristus. Harap
diperhatikan bahwa Kisah Para Rasul 11:1-18 pertama-tama soal
pertanggung-jawaban Petrus kepada jemaat di Yerusalem. Dalam konteks ini keterbukaan
berkaitan dengan kesediaan jemaat yang mau mendengarkan penjelasan Petrus. Itulah
sebabnya, saya tidak mau buru-buru mengaitkan makna teks ini dengan soal
keterbukaan terhadap agama-agama lain. Wong,
di dalam gereja saja kita masih sulit membuka diri terhadap saudara-saudari
seiman… Ya, bukankah dalam kenyataan
kita menyaksikan bahwa dalam gereja, yang adalah komunitas para murid
Kristus, selalu ada kecenderungan menutup diri? Perhatikanlah mulai dari
kelompok-kelompok sampai dengan kubu-kubu yang ada di dalam gereja. Tidak
jarang mereka kental dengan sikap “elit-isme” yang pongah, merasa diri yang
paling hebat dan suka merendahkan yang lain. Dengan sikap demikian, jangankan
saling mengasihi, mereka malah cenderung bentrok satu sama lain, dan tidak
jarang menimbulkan perpecahan yang menyedihkan. Maka, tinggallah sebuah
pertanyaan untuk kita renungkan: adakah kita sungguh rindu agar kita dapat
saling mengasihi? Kalau ya, sebuah langkah awal yang dapat kita tempuh adalah
mengobarkan semangat keterbukaan terhadap yang lain. Salah satu hal sederhana
yang dapat kita lakukan untuk itu adalah kesediaan untuk mendengarkan yang lain
dengan rendah hati. Mari kita memulainya dengan saudara-saudari seiman.
Hari ini kita masih berada dalam
masa Paskah, perayaan akan kebangkitan Kristus. Saling mengasihi dan Paskah
berkaitan erat. Di satu sisi, Paskah adalah kemenangan kehidupan atas
kebinasaan. Di sisi lain, saling mengasihi merupakan tindakan yang
“menyuburkan” kehidupan. Syukur kepada Allah atas anugerah kehidupan dan kasih!
(rrb)