Kamis, 09 Mei 2013

Thank You Power


Thank You Power[1]
Efesus 5:20
“Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah Bapa kita”

Pendahuluan
Hasil survey National Opinion Research Centre, University of Chicago menunjukkan bahwa orang yang memiliki harta kekayaan banyak belum tentu bahagia. Dalam 50 tahun terakhir, di Amerika keluarga dengan tingkat ekonomi menengah menggunakan mobil yang lebih mewah dan memiliki rumah yang bagus. Namun, orang Amerika yang mengatakan bahwa mereka sangat bahagia menurun dari 35% menjadi 30%. Faktanya, walaupun tingkat ekonomi membaik, tetap saja terjadi perceraian, bunuh diri dan depresi. Hal ini terjadi karena kurangnya rasa syukur.
Selanjutnya, jemaat diajak untuk mengisi Daftar Pertanyaan Rasa Syukur untuk mengetahui tingkat rasa syukur jemaat.[2]

Isi
Dampak dari Thank You
Dampak dari Thank You diteliti dari sebuah riset. Dalam riset itu ada tiga kelompok sukarelawan. Kelompok A berfokus pada hal-hal yang menjengkelkan atau mengganggu dalam kehidupan sehari-hari, seperti sakit gigi, aki motor mati, kopi tumpah, dll. Kelompok B berfokus pada hal-hal yang dapat disyukuri. Misalnya, walaupun sakit kaki, mata saya masih berfungsi, cuaca hari ini bersahabat, dll. Kelompok C harus mengingat kejadian yang biasa-biasa saja. Misalnya, saya telah membersihkan lemari, dll. Selanjutnya para peserta diminta untuk menuliskan perasaan mereka. Mereka juga ditanya pertanyaan spesifik seputar gaya hidup. Misalnya, berapa banyak waktu yang digunakan untuk berolah raga? Apakah Anda menderita sakit? Ternyata, dari hasil riset tersebut kelompok B menghasilkan dampak yang lebih positif ketimbang kelompok A dan C.
1.    Bagi diri sendiri:
a.    dampak secara psikis
Orang yang bersyukur akan lebih gembira, lebih optimis, tidak mengalami depresi, tidak khawatir.
b.    dampak secara medis
Orang yang bersyukur akan lebih sehat dan tidurnya lebih nyenyak.
Dalam ilmu kedokteran dikatakan bahwa rasa syukur merangsang Dopamine (cairan kimia di otak yang berhubungan dengan saraf rasa senang) yang membuat daya tahan tubuh meningkat.
c.    Kita dapat berpikir think outside of the box (kreatif)
d.    memulihkan trauma (menemukan hal-hal positif dari luka batin)
Orang yang bersyukur tidak akan dihancurkan oleh krisis.  Kuasa ketabahan èmenemukan nilai positif dalam krisis. è kisah Chuck 89
2.    Bagi orang lain:
orang lain akan nyaman bergaul dengan kita.
“Jika anda memakan rebung, jangan lupa berterima kasih kepada penanamnya.”

Cara untuk Berterima Kasih
1.    Memfokuskan diri pada hari esok, bukan pada hal-hal kecil yang membuat kita bersungut-sungut
Misalnya, ada perkataan dari keluarga yang tidak mengenakan di hati kita saat sarapan,  namun apakah hal itu mempengaruhi seluruh hari kita? Apakah sepanjang hari kita akan mengomel, lesu, marah dan mengamuk pada orang yang seharusnya tidak terkena omelan kita?
2.    Membuat daftar penyertaan Tuhan, ketimbang membuat daftar keluhan. C.S Lewis mengatakan bahwa sebuah kesenangan bertumbuh sepenuhnya ketika diingat.
3.    Melihat hal-hal positif dalam setiap masalah yang buruk
4.    Merefleksikan dan menuliskan refleksi tersebut
5.    Mengatakan terima kasih pada Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan dengan penuh KETULUSAN
                                        
ems


[1] Berterima kasih bukan hanya sekadar mengatakan “thank you”, berterima kasih di sini maksudnya adalah cara hidup bersyukur dalam segala keadaan.
[2] Daftar pertanyaan ini diadaptasi dari QG (Questioner of Gratitude) karya Robert A. Emmons, Michael Mc.Cullough, Jo-Ann dalam Journal of Personality and Social Psychology. Vol 82 no.1

Jumat, 03 Mei 2013

Keterbukaan, Penerimaan dan Kasih

Bahan: Roma 14:1-4

Konteks

Kitab Roma ditulis di tengah-tengah gesekan antara orang Kristen Yahudi dan orang Kristen non-Yahudi yang berbeda sudut pandang dan latar belakang. Gesekan terjadi karena mereka tidak dapat saling terbuka dan menerima perbedaan yang ada di antara mereka. Dalam konteks yang sudah diracuni oleh primordialisme, segala hal dapat menjadi sumber gesekan dan perpecahan. Dalam Roma 14:1-4, yang menjadi persoalan adalah tentang jenis makanan yang dapat dikonsumsi. 

Akar Pertentangan: Kesombongan

Pertentangan yang disoroti Paulus adalah pertentangan yang sudah menjurus pada sikap saling menghina (ay. 3) dan saling menghakimi (ay. 4). Pertentangan ini terjadi di antara orang-orang yang memakan segala jenis makanan dengan orang-orang yang lemah imannya. Mereka yang yakin bahwa segala jenis makanan dapat dimakan adalah orang Kristen yang sudah tidak terikat lagi dengan adat-istiadat Yahudi. Saya meminjam istilah Barclay untuk menyebut komunitas ini sebagai komunitas yang berpandangan luas.

Kalau begitu, siapa itu orang yang lemah imannya (ay.1 dan 2)? Terlalu menggeneralisir rasanya jika kita mengatakan bahwa orang yang lemah imannya adalah orang yang vegetarian (hanya makan sayur-sayuran). Saya sepandangan dengan penafsir yang menafsirkan orang yang lemah imannya sebagai orang yang hidup dalam legalisme. Mereka belum menemukan arti sesungguhnya dari kebebasan Kristen. Mereka melihat bahwa kekristenan adalah agama yang penuh dengan peraturan, sehingga mereka memantang banyak hal termasuk soal makanan.

Dari bahasa yang digunakan Paulus, tampak bahwa Paulus memuji orang-orang yang berpandangan luas. Namun, yang Paulus tekankan bukanlah pada pembenaran akan salah satu sudut pandang di antara keduanya. Ia juga tidak ingin menyeragamkan semua sudut pandang manusia. Hal yang Paulus ingin singgung adalah akar pertentangan. Akar pertentangan ini bukan sekadar pada perbedaan pandangan di antara orang-orang tersebut. Akarnya terletak pada kesombongan dan sikap saling meremehkan di antara kedua belah pihak. Yang berpandangan luas meremehkan mereka yang terjebak dalam legalisme. Sebaliknya, yang menganut legalisme meremehkan dan mengutuk orang-orang yang tidak berpantang sesuai dengan adat-istiadat mereka.

Paulus menentang kesombongan orang-orang itu dengan mengatakan bahwa tidak ada orang yang punya hak untuk mencela dan menghakimi hamba orang lain. Setiap hamba harus bertanggung jawab pada tuannya (baca: Allah).  Hak menghakimi adalah hak Allah saja sebagai Sang Tuan. Ironisnya, manusia merasa mengetahui pikiran Allah sehingga berani menghakimi orang lain. Kita menjadi orang yang sangat picik ketika kita menghakimi orang lain. Padahal Allah saja membuka diri-Nya dan menerima semua orang dengan berbagai latar belakang dan tradisi.

Dalam konteks masa kini, perbedaan pandangan masih ada di dalam gereja. Perbedaan pandangan wajar terjadi karena kita adalah pribadi yang berbeda. Kita berasal dari adat istiadat, usia, gender dan ajaran dan tradisi yang berbeda. Ketika saya mengikuti Praktek Jemaat 1 dan 2 dalam kerangka Proses Pendidikan Kependetaan, saya menyadari bahwa dalam tubuh GKI sendiri ada banyak perbedaan. GKI SW Jabar memiliki perbedaan dengan GKI SW Jateng dan Jatim. Begitu pula dalam aras jemaat lokal, ada banyak perbedaan pandangan, mulai dari hal-hal yang praktis hingga pemahaman teologis. Namun, kita perlu menghargai perbedaan yang ada sebagai kekayaan dan tidak menjadikannya sebagai trigger untuk menimbulkan benih perpecahan. Perbedaan dapat menjadi sumber perpecahan ketika kita dikuasai oleh keangkuhan dan merasa diri paling benar. 

Berelasi dengan Keterbukaan, Penerimaan dan Kasih

            Kita tentunya sering mendengar kata “toleransi”. Toleransi adalah sikap menghargai pendirian atau pendapat yang berbeda dengan pendirian sendiri. Saya ingat dalam pelajaran PPKN, saya diajarkan untuk bertoleransi pada orang-orang yang berbeda. Toleransi memang penting, tapi bergaul dengan yang berbeda tidak cukup hanya dengan toleransi. Kita juga harus mengakui dan mengapresisasi kekayaan perbedaan yang ada dalam komunitas kita.

            Oleh karena itu, kita harus bergaul dengan keterbukaan, penerimaan dan kasih karena Allah adalah Allah yang terbuka, menerima dan mengasihi semua orang (ay.3). Oleh karena itu, Paulus mengajarkan nilai keterbukaan, penerimaan dan kasih dalam pergaulan di tengah perbedaan. Keterbukaan, penerimaan dan kasih Allah ternyata dapat mentransformasi kehidupan manusia.

  1. Keterbukaan

Keterbukaan adalah sikap membiarkan diri kita terbuka terhadap orang lain yang memiliki pengalaman, karakter dan ide yang berbeda. Di dalam keterbukaan, kita belajar untuk menjadi diri kita sendiri, apa adanya. Di dalam keterbukaan juga kita belajar untuk memahami bahwa ada orang berbeda dengan kita. Dalam teks Roma ini, Paulus mengajak pembacanya menyadari dirinya sendiri dan menyadari adanya perbedaan di dalam jemaat, termasuk dalam hal cara memandang makanan. Tidak hanya sadar, kita juga diajak Paulus untuk bersikap terbuka terhadap perbedaan itu karena keterbukaan adalah sikap Krisus juga.

Budaya keterbukaan adalah sebuah budaya tandingan terhadap budaya ketertutupan yang menjamur di masyarakat, khususnya yang dipengaruhi corak individualistis. Pada Bebas dalam Kasih --refleksi Paska yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno, di koran Kompas, 30 Maret 2012—dikatakan bahwa  manusia sudah menjadi tawanan ketertutupan hati kita sendiri. Buktinya, ketika kita sedikit saja dicurigai dan tidak disukai, kita kemudian menutup diri dan menjadi curiga juga terhadap orang lain. Kecurigaan menimbulkan kebekuan hati sehingga kita semakin berlaku negatif terhadap mereka yang dianggap lawan. Namun, dari Kristus kita belajar untuk memiliki kebebasan hati untuk terbuka terhadap siapa saja, termasuk pada orang-orang yang memusuhi-Nya.

  1. Penerimaan

Mischele Hershberger, dalam Hospitalitas Orang Asing: Teman atau Ancaman mengatakan bahwa tidak mudah untuk menerima orang lain, apalagi kita dididik dalam dunia yang penuh kecurigaan. Biasanya orang yang memberi dipandang berada pada tingkat keadaan yang lebih baik ketimbang yang menerima. Oleh karena itu, tanpa sadar muncul keengganan untuk menerima. Inilah yang menjadi hambatan untuk menerima orang lain.

Padahal dalam penerimaan terkandung dua dimensi yang dalam. Pertama, dalam penerimaan ada pengakuan bahwa kita terbatas sehingga memiliki kebutuhan untuk menerima pertolongan orang lain. Kedua, dalam penerimaan ada pengakuan akan keberadaan, keunikan serta kontribusi dari orang yang berbeda dengan kita.

Dengan demikian, penerimaan adalah lawan dari sikap keangkuan kita. Apalagi Allah bukanlah Allah yang angkuh karena Ia menerima semua orang. Maka jelaslah perkataan Paulus, “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya.” Perkataan ini adalah kritik terhadap jemaat Roma yang dikuasai oleh kesombongan diri.  Terlepas dari apakah mereka orang yang “berwawasan luas” ataupun legalistik, manusia perlu saling menerima (baca: mengakui dan mengapresiasi orang lain yang berbeda).

  1. Kasih

Dalam teks yang kita baca, jelas terlihat bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya. Ada kalimat yang menarik dalam ay. 4 “Entahkah ia berdiri. Entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” Dalam kalimat ini tersirat kasih-Nya yang besar. Walaupun manusia terjatuh, Tuhan berkuasa untuk tetap menegakkan dan menyelamatkannya sehingga ia tetap berada dalam ikatan pemeliharaan Allah.

Dengan demikian, di dalam kasih ada dimensi pengikat dan rekonsiliasi, seperti yang disebut oleh Diana Butler Bass dalam Christianity for the Rest of Us. Kasih mengikat komunitas Kristen dan bukan menyeragamkannya sehingga terwujudlah kesatuan dalam kepelbagaian. Sebagai orang yang telah ditegakkan Allah, kita harus melandaskan sikap keterbukaan dan penerimaan atas dasar kasih kepada Allah dan sesama.

Ilustrasi

Ada sebuah ilustrasi yang menarik dalam Pendidikan Teologi Kontekstual, karya Hope S. Antone tentang perbedaan perjamuan makan di surga dan neraka.

Suatu hari, seseorang yang hampir mati diajak oleh malaikat untuk mengunjungi surga dan neraka. Pertama-tama ia dibawa ke neraka dan sesampainya di sana, ia takjub menemukan banyak orang duduk di sekitar meja makan besar dengan makanan enak tersaji di atasnya. Ada pesta apa? Laki-laki itu berpikir, “mungkin neraka memang tidak terlalu jelek.” Namun ketika melihat lebih dekat ke arah orang-orang yang ikut perjamuan itu, ia perhatikan orang-orang itu sedang kelaparan, walaupun makanan mewah tersaji di hadapan mereka. Persoalannya adalah setiap orang diberi sumpit yang panjang – sepanjang hampir satu meter- dan mereka tidak punya cara untuk memasukkan makanan itu ke dalam mulut mereka dengan sumpit yang panjang. Kemudian laki-laki ke surga dan ia terkejut melihat orang-orang duduk di sekitar meja makan dengan sumpit yang sama panjangnya. Akan tetapi, di surga, semua orang merasa bahagia menyantap makanan yang enak itu. Penghuni surga menggunakan sumpit yang panjang untuk memberi makan satu sama lain.

 

Saya mengembangkan ilustrasi ini dengan sebuah imajinasi. Saya berimajinasi bahwa para penghuni surga itu adalah orang yang beragam. Ada yang makannya berpantang dan ada yang tidak berpantang. Oleh karena itu, ketika terjadi peristiwa saling memberi makan, orang-orang yang memberi makan harus belajar untuk memahami apa yang dimakan oleh orang yang disuapinya. Di sini kita menemukan nilai keterbukaan akan perbedaan, penerimaan atas perbedaan dan kasih untuk melayani orang lain yang berbeda. J

 

REFERENSI BUKU

Hope S. Antone. 2010. Pendidikan teologi kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Michele Hersberger. 1999. Hospitalitas: orang asing teman atau ancaman? Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bass, Diana Butler. 2006. Christianity for the rest of us. New York: HarperCollins Publisher
ems

Selasa, 30 April 2013

PERINTAH BARU: SALING MENGASIHI DALAM SEMANGAT KETERBUKAAN



Tulisan ini merupakan pengembangan atas bahan yang saya khotbahkan pada hari Minggu lalu (28 April 2013). Satu hal yang patut saya catat di sini adalah bahwa khotbah tersebut saya sampaikan dalam sebuah kebaktian umum yang dimulai pukul 12.30 WIB. Inilah ibadah tengah hari, di siang yang gerah dan yang pasti tanpa AC. Meskipun begitu, saya salut dengan jemaat yang hadir. Belakangan saya mengetahui bahwa kebaktian tengah hari semacam itu bukanlah suatu hal yang baru mereka lakukan belakangan ini. Tidak. Mereka telah melakukannya secara rutin selama berpuluh-puluh tahun. Alasannya sederhana saja: tengah hari adalah waktu istirahat mereka dari pekerjaan di sawah atau di ladang.

Khotbah tersebut fokusnya adalah pada bacaan Injil (Yohanes 13:31-35) dan Kisah Para Rasul 11:1-18. Ada dua hal pokok yang dikemukakan: yang pertama, saling mengasihi sebagai perintah baru dari Kristus dan yang kedua, pentingnya “membuka diri” dalam rangka saling mengasihi. Di samping kedua hal tersebut, di sini saya menambahkan satu hal lagi, yakni aspek perasaan dan emosi dalam saling mengasihi.

Mari kita mulai dengan yang pertama. Apa yang disebut dengan perintah baru, ternyata bagi kita orang Kristen sudah tidak terasa baru lagi. Hal ini langsung saya katakan di awal khotbah. Saya bertanya kepada jemaat, “Apa yang disebut sebagai perintah baru?” Jemaat menjawab, “saling mengasihi.” Lalu saya bertanya lagi, “Apakah saling mengasihi itu adalah suatu hal yang baru?” Jemaat menjawab, “Tidak.”

Mengapa perintah tersebut tidak lagi terasa baru? Jawaban subjektif saya: karena kita telah terbiasa mengucapkan dan berbicara tentang kasih. Dalam banyak kesempatan, kita juga sering menyatakan bahwa iman kita tidak lepas dari keutamaan kasih. Namun, kasih telah menjadi hal yang sangat biasa dan sering hanya berhenti di bibir. Kasih menjadi istilah yang nyaris kehilangan maknanya dan dikerdilkan eksistensinya sebatas kata-kata picisan belaka. Di sisi lain, tidak sedikit di antara kita yang menyadari betapa tidak mudahnya “menaruh” kasih itu di dalam tindakan nyata. Di situ  kita dipanggil untuk bergumul.

Dalam upaya memaknai ungkapan “perintah baru” Kristus, banyak pakar Alkitab yang mengajukan pandangan bahwa yang “baru” dalam perintah tersebut adalah pernyataan ini: “sama seperti Aku [Kristus] telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Karena Kristus kita telah mengasihi kita, maka kita pun dipanggil dan dimampukan untuk saling mengasihi. (bnd. I Yohanes 4:11-12). Penekanannya adalah kasih Kristus yang telah terlebih dahulu dianugerahkan kepada kita. Ini pula yang tampaknya membedakan perintah kasih dalam Injil Yohanes dengan perintah kasih dalam Injil-injil sinoptik. Dalam Injil-injil sinoptik penekanannya adalah kepada kedua dimensi kasih: dimensi yang vertikal, yakni kasih kepada Allah dan dimensi yang horizontal, yakni kepada sesama (dan diri sendiri?). Dalam hal ini, Tuhan Yesus ‘hanya’ mengutip dari apa yang telah tertulis dalam Hukum Taurat.

Jadi, perintah baru adalah soal menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita, lalu “menyalurkan”-nya kepada sesama kita. Di sini kita menyaksikan bahwa kasih Kristus merupakan sumber kekuatan yang memampukan kita untuk saling mengasihi. Mereka yang sedang bergumul “menaruh” kasih itu di dalam tindakan nyata, selalu diingatkan untuk mengarahkan pandangan kepada Kristus yang senantiasa setia mengasihi mereka. Maka satu hal yang patut kita renungkan pada saat ini adalah apakah kita telah sungguh-sungguh menyadari, menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita? Percayalah bahwa itulah sumber yang darinya kita menimba kekuatan dan penghiburan yang tiada habisnya untuk senantiasa saling mengasihi.

Hal lain yang menurut saya membuat perintah saling mengasihi dalam Injil Yohanes terasa baru adalah konteks sebelum dan sesudah kisah tersebut dipaparkan. Sebelumnya, dikisahkan tentang Yudas Iskariot yang pergi meninggalkan Yesus dan yang kemudian akan mengkhianatinya. Sesudahnya, dikisahkan tentang peringatan kepada Petrus yang akan menyangkal Yesus tiga kali. Yudas Iskariot dan Petrus adalah orang-orang yang berada bersama Yesus sejak awal pelayanan-Nya. Mereka telah mengalami dan merasakan suka-duka hidup bersama, setidaknya dalam tiga tahun belakangan. Namun, ternyata mereka berdua akan melukai Yesus dengan pengkhianatan yang pahit. Petrus tidak lebih baik dari Yudas Iskariot. Demikian pula, para murid lain tidak lebih baik dari Yudas Iskariot dan Petrus. Mereka semua, baik langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam pengkhianatan terhadap Sang Guru yang mengasihi mereka. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan dari dikhianati oleh orang yang dikasihi. Dalam situasi semacam ini, Injil Yohanes kembali menggemakan perkataan Sang Guru: “kamu harus saling mengasihi.”

Konteks di atas, cukup kental dengan nuansa emosional. Perasaan kita mestinya terusik ketika mendengar “kisah tragis” ini dipaparkan kembali. Di sini, kita perlu mengoreksi pandangan-pandangan yang mengesankan bahwa perasaan dan emosi tidaklah penting dalam saling mengasihi. Saya rasa, yang terjadi justru sebaliknya: perasaan dan emosi itu penting untuk diperhatikan dalam saling mengasihi. Orang sering menuduh perasaan dan emosi itu irasional. Kata mereka, kita mesti rasional. Namun, dalam praktik kita menyaksikan banyak yang terjadi justru irasional. Lalu mereka membela diri dengan berbagai alasan dan penjelasan; suatu upaya merasionalisasi yang irasional. Betapa absurdnya! (lebih gamblang: masalah like and dislike, suka dan tidak suka, terbilang kronis dalam kehidupan bersama. Mulai dari yang diekspresikan dengan blak-blakan, sampai dengan yang diselubungi dengan hal-hal yang rasional! Yang terakhir ini rawan dengan ketidak-tulusan dan kemunafikan). Maka, daripada mengabaikan perasaan dan emosi, lebih baik kita belajar menerimanya. Pelajaran bagi kita adalah kalau kita hendak saling mengasihi, pentinglah menyadari, menerima dan menata sedemikian rupa perasaan dan emosi kita.

Akhirnya, perintah saling mengasihi juga terasa baru karena dalam Injil Yohanes yang ditekankan adalah saling mengasihi di antara para murid. Di sini ada kesan eksklusif. Di sisi lain, dalam Kisah Para Rasul, ada kesan inklusif: Petrus (dan kemudian juga jemaat mula-mula) bergerak keluar dari eksklusivisme tradisi Yahudi dengan menerima Kornelius yang orang bukan Yahudi. Bagi saya, dalam kadar tertentu sikap eksklusif bisa diterima, apalagi kalau itu memang merupakan bagian dari dinamika perkembangan identitas diri yang khas. Yang haram adalah manakala sikap eksklusif hanya membuat kita menutup diri terhadap yang lain. Kalau kita menutup diri terhadap yang lain, bagaimana kita hendak saling mengasihi?

Bila kita memaknai Injil Yohanes bersama-sama dengan Kisah Para Rasul, maka sikap inklusif -- saling mengasihi dalam semangat keterbukaan -- mesti diterapkan pertama-tama di dalam komunitas para murid Kristus. Harap diperhatikan bahwa Kisah Para Rasul 11:1-18 pertama-tama soal pertanggung-jawaban Petrus kepada jemaat di Yerusalem. Dalam konteks ini keterbukaan berkaitan dengan kesediaan jemaat yang mau mendengarkan penjelasan Petrus. Itulah sebabnya, saya tidak mau buru-buru mengaitkan makna teks ini dengan soal keterbukaan terhadap agama-agama lain. Wong, di dalam gereja saja kita masih sulit membuka diri terhadap saudara-saudari seiman…  Ya, bukankah dalam kenyataan kita menyaksikan bahwa dalam gereja, yang adalah komunitas para murid Kristus, selalu ada kecenderungan menutup diri? Perhatikanlah mulai dari kelompok-kelompok sampai dengan kubu-kubu yang ada di dalam gereja. Tidak jarang mereka kental dengan sikap “elit-isme” yang pongah, merasa diri yang paling hebat dan suka merendahkan yang lain. Dengan sikap demikian, jangankan saling mengasihi, mereka malah cenderung bentrok satu sama lain, dan tidak jarang menimbulkan perpecahan yang menyedihkan. Maka, tinggallah sebuah pertanyaan untuk kita renungkan: adakah kita sungguh rindu agar kita dapat saling mengasihi? Kalau ya, sebuah langkah awal yang dapat kita tempuh adalah mengobarkan semangat keterbukaan terhadap yang lain. Salah satu hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk itu adalah kesediaan untuk mendengarkan yang lain dengan rendah hati. Mari kita memulainya dengan saudara-saudari seiman.

Hari ini kita masih berada dalam masa Paskah, perayaan akan kebangkitan Kristus. Saling mengasihi dan Paskah berkaitan erat. Di satu sisi, Paskah adalah kemenangan kehidupan atas kebinasaan. Di sisi lain, saling mengasihi merupakan tindakan yang “menyuburkan” kehidupan. Syukur kepada Allah atas anugerah kehidupan dan kasih! (rrb)