Sabtu, 27 Oktober 2012

THE BUCKET LIST (2007)


The Bucket List (2007) disutradarai oleh Bob Reiner, ditulis oleh Justin Zackham dan diperankan oleh Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Film ini bercerita tentang pertemuan seorang mekanik, Carter Chambers (Morgan) dengan seorang kaya sekaligus pemilik rumah sakit Edward Cole (Jack Nicholson). Kedua orang ini sama-sama didiagnosa menderita kanker dengan waktu mereka yang hanya sisa 6 hingga 12 bulan.

Pada masa mudanya, Carter bercita-cita menjadi seorang professor sejarah akan tetapi cita-citanya sirna ketika istrinya mengandung sehingga ia mendefinisikan kondisi dirinya saat itu dengan 3 B – black, broke and with a baby on the way. Sebenarnya ia ingin kembali studi tetapi tanpa disadari waktu berlalu dengan cepat. Hobinya adalah menonton acara Jeopardy. 

Edward adalah seorang yang sangat kaya yang sudah 4 kali cerai. Kesukaan Edward adalah kopi luwak. Salah satu hal yang suka ia lakukan adalah mengubah nama orang. Ia selalu memanggil asistennya Thomas padahal asistennya bernama Matthew. Menurut Edward, Matthew terlalu “alkitabiah” sehingga ia gantikan dengan Thomas. Sikap Edward yang menyebalkan membuat dirinya tidak disukai banyak orang bahkan ketika ia menjalani operasi besar di rumah sakit, tidak ada satu orang pun yang mengunjungi dia.
Menyadari waktunya yang terbatas, Carter menulis sebuah daftar hal yang ia ingin kerjakan sebelum ia meninggal dunia yang disebut dengan “The bucket list” (a to do list before someone kicks the bucket). Carter menulis di Bucket list –
-          Witness something majestic.
-          Help a complete stranger for the good
Daftar tersebut kemudian dibaca oleh Edward dan ia menambahnya dengan hal baru seperti, skydiving, kiss a beautiful girl… Edward mendesak Carter untuk melaksanakan apa yang sudah tertulis di Bucket Lists maka mulailah perjalanan ke Eropa, India, Mesir dan China.

Film yang sederhana ini dibungkus dengan dialog yang menarik dan mendalam untuk direnungi. Pada saat mereka membicarakan tentang TUHAN dan iman Edward berkata, ”I envy people who have faith, I just can’t get my head around it.” Dan Carter menjawab, “Maybe because your head is in the way.” Carter, unlike Edward, is a man of faith.”

Ungkapan Carter tentang mendengarkan suara gunung sangat menarik perhatian saya. Carter mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang pendaki yang membagikan pengalamannya ketika mencapai puncak gunung Himalaya. Ia mendengarkan suara keheningan “profound silence” yakni “the sound of the mountain” seolah-olah ia mendengarkan suara TUHAN.

Berikut ini isi surat Carter kepada Edward..
”Dear Edward, I’ve gone back and forth the last few days trying to decide whether or not I should even write this. In the end, I realized I would regret it if I didn’t, so here it goes. I know the last time we saw each other, we weren’t exactly hitting the sweetest notes-certain wasn’t the way I wanted the trip to end. I suppose I’m responsible and for that, I’m sorry. But in all honestly, if I had the chance, I’d do it again. Virginia said I left a stranger and came back a husband; I owe that to you. There’s no way I can repay you for all you’ve done for me, so rather than try, I’m just going to ask you to do something else for me-find the joy in your life. You once said you’re not everyone. Well, that’s true-you’re certainly not everyone, but everyone is everyone. My pastor always says our lives are streams flowing into the same river towards whatever heaven lies in the mist beyond the falls. Find the joy in your life, Edward. My dear friend, close your eyes and let the waters take you home.”

Klimaks film ini terjadi pada saat sharing Edward di sebuah gereja pada kebaktian penghiburan/pemakaman Carter. Edward berkata, “
“I hope that it doesn’t sound selfish of me, but the last months of his life were the best months of mine. He saved my life, and he knew it before I did. I’m deeply proud that this man found it worth his while to know me. In the end, I think it’s safe to say that we brought some joy to one another’s lives, so one day, when I go to some final resting place, if I happen to wake up next to a certain wall with a gate, I hope that Carter’s there to vouch for me and show me the ropes on the other side.”

Di dalam narasi Carter di akhir film, penonton dikabarkan bahwa Edward mengalami perubahan hidup. Edward menyelesaikan apa yang ditulis di Bucket List seperti mencium cucunya, “kiss the most beautiful girl in the world”. Berikut ini narasi Carter di akhir film…
“Edward Perryman Cole died in May. It was a Sunday in the afternoon and there wasn’t a cloud in the sky. He was 81 years old. Even now, I can’t claim to understand the measure of a life, but I can tell you this: I know that when he died, his eyes were closed and his heart was open..”.

Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan (Roma 15.13)




DETACHMENT (2011)



Adrien Brody, pemenang Academy Awards berperan sebagai seorang guru pengganti yang bernama Henry Barthes, untuk menghindari keterikatan emosi atau kedekatan dengan kolega maupun dengan murid-muridnya ia menghindari mengajar di satu sekolah terlalu lama. Film ini memenangkan beberapa penghargaan di antaranya, Best Artistic Contribution Award di Jepang, Audience Award for Best Foreign Language Film di Brazil dan Best Picture di Belgium.


Secara melankolis film ini menggambarkan setiap orang mempunyai masalah. Masing-masing murid, Kepala Sekolah, guru dan keluarga mereka mempunyai permasalahan yang rumit. Ketika pihak sekolah mengadakan “Malam Orangtua”, tidak ada satupun orangtua murid yang hadir. Dingin dan sangat menyedihkan. Setiap karakter didepiksi dalam kondisi depresi, burn-out, kekeringan, kehilangan, stress, lelah, letih, lesu, merasa tidak ada yang peduli, tidak ada yang memperhatikan. Atau sebut saja jiwa-jiwa yang hilang dan lelah di dunia yang rumit. “A lost and tired soul in a complex world”.

Film ini juga menggambarkan bagaimana ingatan masa lalu meningkatkan intensitas amarah dan menimbulkan ledakan emosi pada seseorang. Dalam narasinya, Barthes mengatakan, “We all have problems. Someday we are better than others. Someday we have limited space for others”. Setiap kita mempunyai masalah. Ada saatnya kita lebih baik dari orang lain tetapi ada saatnya kita mempunyai ruang yang terbatas buat sesama.

Ada seorang guru yang setiap harinya berdiri dengan sedih berpegangan pada pagar besi lapangan basket. Suatu ketika ketika Barthes mendekati, ia menanyakan kabar guru tersebut. Guru tersebut merasa terkejut karena ia telah dilihat dan diperhatikan. Meredith, murid Barthes berkata kepada Barthes, “Ketika engkau melihat saya, saya merasakan engkau benar-benar melihat saya.” Kesibukan dan kompleksitas membuat manusia menjadi buta, tidak melihat. Hari-hari pertemuan dan interaksi terjadi tetapi “tidak melihat”. Barthes berkata, “I am a nonperson. You shouldn’t be here, I am not here. You may see me but I am hollow.” Mungkin kita nampak, tetapi kita tidak melihat. Mungkin kita melihat tetapi kita tidak memperhatikan. Di zaman yang sangat mementingkan komoditas, manusia menjadikan dirinya seperti barang dengan dengan daftar spesifikasi. Sehingga manusia berhenti melihat sesama manusia melainkan manusia melihat manusia sebagai barang atau komoditas. Dengan kata lain, “we see but not see”, kita melihat tetapi tidak melihat. Tony Kaye, sutradara film melukiskan hubungan manusia yang sudah semakin renggang (menjauh dari sesama) tetapi tetap rindu untuk tetap terhubung. Erich Fromm di dalam bukunya The Art of Being menulis “modern man is a mass man, he is highly “socialized,” but he is very lonely.”[1]

Barthes mengajarkan murid-muridnya tentang “ubiquitous assimilation” yakni manusia menerima apa saja dari setiap tempat setiap saat. Salah satu pemikiran yang manusia pegang adalah tetap mempercayai kebohongan walaupun menyadari ketidakbenarannya misalnya, “I need to be pretty to be happy, I need to have surgery to be pretty, I need to be thin, famous, fashionable and successful”. Serangan iklan-iklan pemasaran seperti ini, disebut Barthes sebagai “the marketing holocaust”. Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam hidup ini manusia terikat akan banyak hal dan kemudian terpisah dengan dirinya sendiri – “we attach ourselves to many things and eventually we are detached from ourselves.” Film ini diawali dengan mengutip dari Albert Camus, “and never have I felt so deeply at one and the same time so detach from myself and so present in the world”. Plot utama film ini mengisahkan Barthes yang harus menghadapi murid-murid bermasalah, guru-guru bermasalah, kepala sekolah bermasalah, seorang yang baru dia kenal di bus yang juga bermasalah, serta masih dihantui oleh trauma masa kecilnya yang menyangkut ibu dan kakeknya. Film ini memaparkan “life is full of problems”.

By lyx