THE LOST GIRL: PENGALAMAN SEORANG KORBAN PELECEHAN
SEKSUAL MELAWAN TRAUMA MASA LALUNYA
Pernahkah Anda mendengar tentang narrative healing? Narrative healing adalah salah satu cara untuk menyembuhkan
luka-luka batin melalui narasi, yakni menceritakan luka-luka itu kepada orang
lain dan tidak menyimpannya seorang diri. Narrative
healing dapat dilakukan melalui dua bentuk, yakni (1) dengan menuturkan
pengalaman keterlukaan kita kepada orang lain dan atau dengan (2) menuliskan
luka-luka kita dalam tulisan.
Bagi saya, metode ini cukup menarik. Biasanya, orang yang
terluka cenderung akan menutup rapat lukanya dan tidak bersedia untuk
membagikan lukanya pada khalayak ramai. Perasaan malu, tidak mudah percaya dan
curiga membuat diri kita enggan untuk bercerita tentang luka batin yang kita
alami. Tampakya, mengorek dan menunjukkan luka adalah sesuatu yang menyakitkan,
menimbulkan kepedihan di hati. Namun, metode ini ternyata justru menolong orang
untuk sembuh dari luka-luka batinnya dengan mengundang setiap orang yang
terluka untuk mengakui luka-lukanya.
Saat berkeliling di Perpustakaan Umum Kota Istimewa (Yogyakarta),
saya menemukan sebuah buku menarik berisi autobiografi Caroline Roberts,
autobiografi seorang korban pelecehan seksual. Caroline menggunakan metode narrative healing dalam menyembuhkan
luka-lukanya. Buku ini sangat inspiratif dan layak untuk dibaca.
Caroline adalah seorang anak yang dilahirkan dari hasil
perselingkuhan terselubung antara Eliizabeth Mills dan Michael Mahoney. Saat itu,
Elizabeth sudah menikah dengan Albert. Saat Albert mengetahui perselingkuhan
istrinya, ia mengusir istrinya dan kedua anak hasil perselingkuhannya. Setelah bercerai,
Ellizabeth menikah kembali dengan Alf. Hubungan Alf dengan Caroline tidak baik.
Alf dan kakak tirinya sering berlaku kasar pada Caroline. Alf dan kakak tirinya
rajin memukuli Caroline dan mengata-ngatainya sebagai anak perempuan nakal. Sungguh
malang nasib Caroline, pada usia 6 tahun ia hampir mengalami pelecehan seksual
yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua yang tidak dikenalnya. Ia selamat
dari pelecehan seksual itu, namun ayah tirinya menyalahkan Caroline atas apa
yang ia alami.
Caroline bertumbuh menjadi gadis perempuan cantik yang
memiliki wajah ganda. Ia tampak riang dan ceria di hadapan orang lain, namun
sebenarnya ia sangat rapuh. Kepribadiannya tampak bertolak belakang. Di luar
rumah ia menjadi anak yang periang, untuk menutupi kepedihannya. Namun, di rumahnya ia menjadi anak yang pemberontak
dan kasar.
Perjumpaan Caroline dengan Fred dan Rose West serta kecantikannya
membuatnya terperangkap dalam “jeratan iblis”. Fred dan Rose adalah pasangan
suami istri yang aneh. Mereka memiliki kebiasaan seksual yang aneh. Fred adalah
seorang yang memiliki nafsu seksual yang liar dan tak tertahankan. Sementara itu,
Rose adalah seorang biseksual. Hasratnya terhadap perempuan muncul saat ia
mengandung. Sayangnya, Caroline malang tidak mengetahui kehidupan keluarga ini.
Dengan polosnya, ia menerima tawaran Fred dan Rose untuk menjadi pengasuh
anak-anak mereka.
Saat Caroline menjadi pengasuh, ia diperkosa oleh Fred
dan Rose. Ia semakin memandang rendah dirinya. Citra dirinya hancur. Ia bahkan
melakukan usaha bunuh diri. Ia tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Ia
berhasil kabur dari rumah Fred dan Rose, namun Fred dan Rose kembali
menculiknya bahkan memperlakukan dirinya dengan lebih kejam. Potret dirinya
semakin rusak. Ia sebenarnya hanya ingin dicintai dengan tulus, namun ia tidak
merasa pernah mendapatkannya. Tidak ada orang luar yang mengetahui
pergumulannya. Ia mengubur lukanya, agar tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya. Ia terjebak dan terjerat, tak tahu bagaimana cara melepaskan
diri.
Singkat cerita, ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan
kekejaman Fred dan Rose ke polisi. Namun, ia belum memaafkan dirinya. Pengalaman
traumatis yang tidak ia selesaikan membuat dirinya menjadi pencemburu. Hubungannya
dengan lawan jenis sering menemui kegagalan. Ia berkali-kali pacaran dan putus.
Intuisinya yang tajam membuat ia semakin menderita karena ia berkali-kali
menyadari bahwa pacarnya hanya memanfaatkannya untuk bercinta dengannya. Pada
saat ada orang yang dengan tulus mengasihinya, orang tersebut meninggal pada
saat hendak mengunjungi Caroline di hari ulang tahunnya. Pengalaman itu membuat
Caroline merasa bahwa dirinya adalah seorang pembawa sial.
Citra diri Caroline menjadi semakin rusak ketika ia
memenangkan kontes modeling yang disarankan ibunya. Ibunya berpikir bahwa
kepercayaan diri Caroline akan membaik jika ia memenangkan kontes tersebut. Nyatanya,
Caroline semakin merasa hancur. Pada saat ia memenangkan kontes tersebut, para
wartawan menghancurkan citra dirinya dengan mengkonfirmasi berita pelecehan
seksual yang pernah dialaminya dulu. Ia merasa sangat terpuruk dan tidak dapat
menolong dirinya sendiri. Ia menjadi orang yang semakin bersifat curiga pada
orang lain dan gemar menyakiti orang-orang yang mengasihinya.
Caroline yang terpuruk, perlahan-lahan mulai bangkit
setelah dia mengalami pengalaman spiritual di sebuah gereja. Tuhan memulihkan
citra dirinya melalui pengalamannya bersama dengan kelompok “lingkaran
pengembangan” di gereja itu. Ia menyadari bahwa dirinya berharga. Ia menyadari
bahwa masih ada orang-orang yang begitu mengasihinya. Ia pun menyadari bahwa ia
tidak sendirian dan ia menerima balutan luka dari Tuhannya.
Caroline memerlukan waktu 10 tahun untuk menuliskan buku
ini. Waktu yang tidak singkat. Ia mengatakan bahwa buku ini menjadi terapi
baginya, seperti yang kita sebut di atas sebagai narrative healing. Ia sekarang dapat meneruskan hidupnya bersama
dengan Tuhan. Ia kini berani mengambil keputusan dalam hidupnya. Trauma dan
luka batinnya kini telah sembuh. Tuhan menggunakan gereja dan metode narrative healing untuk menyembuhkan
lukanya.
Yogyakarta, 29 November 2012
dalam sebuah permenungan
ems
KEPUSTAKAAN:
Judul
buku : THE LOST GIRL: PENGALAMAN
SEORANG KORBAN PELECEHAN SEKSUAL MELAWAN TRAUMA MASA LALUNYA
Penerbit : Gramedia
Penulis
: Caroline Roberts
Jenis tulisan : Autobiografi
Tahun terbit : 2007