Siapakah aku? Siapakah dia sebenarnya? Seperti apakah
jatidiri orang itu? Apakah itu gambaran yang objektif atau subjektif? Tolong
berikan jawaban yang objektif? Semua pertanyaan ini sering kita dengar atau
bahkan gunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain atau membuat karya “ilmiah”.
Dengan demikian pertanyaan ini sangat familiar bagi kita.
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari yang namanya
“menilai”. Baik itu menilai sesuatu sesuai dengan konsep atau keinginan maupun
menilai orang lain berdasarkan norma atau kesepakatan dalam kehidupan bersama. Penilaian
itu juga digunakan untuk memberi gambaran baik atau tidak baik diri seseorang
dengan menggunakan perilaku sebagai alat ukur. Gambaran baik dan tidak baik
ditujukan kepada seseorang yang diyakini dapat merangkum seluruh kepribadiannya.
Contohnya, Dia baik karena terlihat kedisiplinan dalam dirinya; Dia tidak baik
karena perilakunya tidak sesuai dengan aturan, kebiasaan atau dogma. Ketika
bertemu seseorang yang sulit dirangkum kepribadiannya maka kemungkinan orang
itu dianggap sebagai “orang aneh”. Makna
penilaian yang terlalu sederhana dapat membuat gambaran tentang diri seseorang menjadi tidak
utuh. Tindakan arogan menilai kepribadian, hakikat dan jatidiri dengan menekankan bahwa
penilaian itu objektif, maka penilaian itu bisa jatuh pada bentuk kekerasan
terhadap orang lain.
Setiap orang mau diperlakukan
sebagai “aku” yang tidak ada duanya, khas. Pertanyaan ini kesannya
sepele atau tidak terlalu serius. Perlukah untuk ditanyakan? Manusia tetap bisa
menjalani hidup ini tanpa harus bertanya “siapakah aku?” Justru disitulah letak
permasalahan filosofisnya. Filsafat tidak bertanya hal-hal yang canggih
melainkan bertanya tentang hal-hal sederhana yang mungkin dianggap orang
sebagai bahan sepele untuk diperbincangkan. Mengapa seringkali pertanyaan
sepele itu tidak perlu dijawab? Hal itu bisa disebabkan kebiasaan diri dengan pengetahuan
dan pemaknaan yang samar-samar dan kabur. Oleh karena itu pertanyaan sepele
perlu dikuliti kembali agar hidup ini tidak tenggelam dalam ironi dan
tebak-tebakan.
Alkitab menunjukkan adanya pertanyaan serupa yang dilontarkan
Yesus kepada murid-muridnya. “Kata orang, siapakah Aku ini?” Para murid pun
menjawab melalui perspektif mereka masing-masing (tidak tahu apakah jawaban itu
memang dari diri mereka sendiri memahami Yesus atau pandangan mereka yang
berasal dari pandangan yang di dapat dari orang-orang). Para murid menjawab: “ada yang
mengatakan Yohanes Pembaptis, ada yang mengatakan Elia, ada juga yang
mengatakan seorang dari para nabi.” Apakah jawaban para murid itu bersifat
subjektif? Ketika Yesus kembali bertanya: “tetapi apa katamu, siapakah Aku
ini?” Maka jawab Petrus “Engkau adalah Mesias”. Apakah penilaian itu bersifat
objektif? Atau tidak kedua-duanya? Tidak ada secara langsung Yesus mengatakan
bahwa jawaban Petrus itu benar tetapi Yesus juga tidak menyalahkan Petrus.
Yesus hanya menambahkan agar para murid tidak memberitahukan jawaban itu kepada
siapa pun.
Kata “mesias” menurut Alkitab Elektronik- Alkitab Terjemahan
Baru, baru muncul pada Injil Matius yaitu Matius 2:4. Tetapi kata Mesias itu
tidak diucapkan oleh Yesus melainkan narator untuk menjelaskan perihal
pencarian Yesus. Di Injil Markus, kata Mesias
muncul pada pasal 8:29. Kata itu
diucapkan oleh Petrus walaupun dalam kisah lanjutannya sepertinya Petrus tidak
mengerti arti Mesias yang dimaksudkan Yesus. Tidak dijelaskan darimana Petrus
mendapat kata “Mesias” tersebut. Tetapi Yesus bertanya: “tetapi apa katamu,
siapakah Aku ini?” Jawaban yang diberikan Petrus kesannya jawaban yang keluar
dari diri Petrus dalam melihat Yesus. Jika jawaban itu objektif, darimana
Petrus mengetahui kata itu? Jika
subjektif maka Petrus mendengar kata itu dari orang-orang atau pun dari hasil
penilaiannya terhadap Yesus, yang mungkin dipengaruhi latarbelakang Petrus. Saya
tidak akan panjang lebar menjelaskan tentang pertanyaan Yesus itu. Yang ingin
saya kembangkan dalam tulisan ini adalah perihal pertanyaan “siapakah aku?”
yang sering kita dengar bahkan ucapkan, yang dihubungkan pada penilaian terhadap
diri seutuhnya. Pertanyaan ini akan saya kembangkan ke arah apakah yang
dimaksud dengan objektif dan penilaian subjektif.
Dalam pelatihan-pelatihan
kepemimpinan, pertanyaan “siapakah aku” seringkali diberikan kepada peserta.
Mungkin tujuannya untuk melihat atau lebih memahami siapa sebenarnya peserta
menurut pandangan peserta tersebut. Pertanyaan itu tidak langsung dijawab
peserta. Peserta akan mulai berfikir keras untuk menemukan jawaban yang
menurutnya tepat dan tentunya agar diterima orang-orang yang melihat
tulisannya. Jika menjawab pertanyaan itu sulit, maka pertanyaan akan diganti
dengan pertanyaan “sebutkan hal-hal yang positif dalam dirimu dan sebutkan
hal-hal yang negatif dalam dirimu”. Ini pun mungkin tidak bisa langsung dijawab
oleh peserta. Seperti biasa, peserta akan duluan menjawab pertanyaan no 2:
“sebutkan hal-hal yang negatif dalam dirimu”. Mengapa kesannya lebih mudah
menjawab pertanyaan no2? Mungkin karena adanya budaya yang terlalu “rendah
hati” dan tidak suka sombong, takut dikatakan “pamer” atau menciut karena takut
disebut “narsis” jika terlalu pede menyebutkan kelebihan atau hal-hal yang
positif dalam diri orang yang menjawab. Tetapi bisa juga berasal dari didikan
yang membentuk pemahaman: tidak baik mengatakan atau menceritakan
kebaikan-kebaikan yang bisa kita lakukan atau bahkan telah kita lakukan. Pandangan
yang sudah berakar ini memunculkan kesulitan untuk mengungkapkan atau nulis
daftar-daftar yang positif dalam diri seseorang. Bahkan ketika pertanyaan itu
datang kepada seseorang, tidak jarang muncul jawaban: “ada baiknya jika orang-orang
yang sudah mengenal saya yang menjawab pertanyaan itu”. Kesannya jawaban itu
dimunculkan agar lebih terlihat objektif. Memberikan kesempatan kepada orang
lain untuk menilai diri seseorang dengan sewenang-wenang dengan anggapan agar
lebih objektif. Padahal, jika orang lain memberi penilaian tentang diri
seseorang maka penilaian itu sangat mungkin bersifat subjektif sebab
penilaiannya bisa jadi berangkat dari
latar belakangnya, paradigmanya dan tentu dari kacamatanya. Mengapa harus
memberikan kedudukan lebih objektif secara gratisan kepada hal yang sama
subjektifnya dengan kalau kita merefleksi dan menilai diri sendiri?
Manusia bukanlah melulu benda jasmani. Di dalam diri manusia ada
aspek batin, aspek kejiwaan, aspek personal, yang semuanya itu sangat
menentukan dalam diri manusia. Kitalah yang paling dekat dengan diri kita
sendiri, bukan orang lain. Artinya, orang
lain tidak tahu apa yang bergejolak dalam diri kita. Contoh: ketika kita sujud
berdoa, orang lain tidak tahu apakah kita fokus atau tidak. Yang tahu hanyalah
kita yang sedang berdoa. Menurut Soren A Kierkegaard, manusia harus terjun
langsung ke panggung dan menyelami eksistensinya sebagai pelaku yang mengalami
suka, duka, kegembiraan, kepahitan,
serta cara menjalani kehidupan. Yang lebih penting adalah bagaimana
hidup, membuat pilihan dan mengambil keputusan dengan benar. Maksudnya adalah
manusia bebas pada dirinya, dan bukan orang lain yang menjadi penentunya. Kitalah
yang lebih mengetahui perasaan gembira dan kepahitan hidup. kitalah yang harus
menilai diri kita sendiri agar kita bisa terhindar dari ketergantungan
penilaian yang tidak jelas dari orang lain, yang dapat menghilangkan “kedirian”
kita yang semain berubah menjadi seperti yang orang lain inginkan. Ketergantungan
pada penilaian dari orang lain dapat mengakibatkan hilangnya otentisitas diri. Bahkan
menurut Nietsche, ketika kita mengharapkan panutan dan petunjuk dari orang
lain, seperti kaum bawahan yang hanya bisa ditipu dan menerima saja ala
Machiavelli, maka kita hanyalah kaum
pecundang yang tidak berani mengangkat tanggung jawab hidup dalam tangan kita sendiri.
Penilaian atau gambaran yang objektif seringkali dipahami ketika
jawaban itu berasal dari orang yang berada di luar diri kita. Penilaian itu dimungkinkan
berasal dari pemahaman tentang kita melalui panca indra, yang kemudian
diinterpretasi melalui latar belakangnya (termasuk di dalamnya praduga-praduga).
Contoh: ketika ada seorang anak yang sangat baik dan jujur tetapi suatu ketika
ia ketahuan mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya (tidak
tahu mengapa ia mengambil barang tersebut). Baru sekali itu ia mengambil barang
orang lain tanpa seijin yang punya. Ketika ada orang memergoki kejadian
tersebut maka tersiarlah kabar bahwa si anak tersebut seorang pencuri.
Banyaknya orang yang mengatakan anak itu pencuri menjadi sebuah peryataan yang
benar mengenai anak itu yaitu dia seorang pencuri. Kebetulan contoh ini
menunjukkan bahwa anak itu pernah pencuri sehingga muncul pemahaman mengenai
diri anak itu sebagai pencuri. Contoh lain: Si B mengatakan bahwa pendeta A
tidak suka terhadap dirinya dan juga sombong, dengan alasan pernah suatu ketika
pendeta A tidak menyapa si B ketika berpapasan. Si B menceritakan hal itu
kepada orang lain sehingga mengganggap pendeta A tidak suka terhadap si B dan
sikapnya sombong kepada orang lain. Penilaian itu menjadi sebuah “kebenaran”
yang tidak diketahui pendeta A. Hal itu menghadirkan gambaran tentang pendeta A
yang sepertinya sudah disepakati oleh orang-orang tanpa sepengetahuan pendeta
A. Apakah memang pendeta A tidak suka kepada si B dan orangnya sombong? Apakah
gambaran tentang pendeta itu bisa katakan sebagai gambaran yang objektif. Ya,
bisa. Dengan dasar bahwa yang dikatakan objektif adalah perilaku yang dilihat
orang lain, bukan objektif dari keutuhan diri dari pendeta A. Diperlukan
pertanyaan seperti ini: “Pak, apakah bapak tidak suka dengan si B dan apakah
bapak juga orangnya sombong?” Mungkin kita akan mengatakan ini sebagai pertanyaan
bodoh. “Bagaimana mungkin pendeta si A bisa menjawabnya?” Mungkin itu juga yang
menjadi pertanyaan kita. Tetapi perlu disadari bahwa yang lebih tahu mengenai
diri pendeta A adalah dirinya sendiri, bukan si penilai. Apakah nantinya
jawaban pendeta merupakan jawaban yang jujur? Semua itu kembali kepada
pertanggungjawaban diri si pendeta A, karena semua pengalamannya adalah
bahan-bahan untuk membentuk kepribadiannya dan jati dirinya. Kadang kita ragu
untuk bertanya langsung kepada pendeta A. Mengapa? Seringkali keraguan itu muncul
karena adanya praduga-praduga negatif
yang kurang percaya jika pendeta A bisa menjawab dengan jujur. Hal ini
bisa terjadi karena adanya budaya wishful
thinking dan negative thinking. Kita bertanya tetapi kita ingin
jawaban seperti yang ada dalam kepala kita. “Siapakah aku” seringkali bukan
kita yang menentukan atau menjawab melainkan orang-orang yang memiliki gambaran
tentang kita. Kesannya orang lain lebih tahu tentang diri kita daripada kita
sendiri. Apakah orang lain lebih mengerti diri kita daripada kita sendiri?
Mungkin orang lain bisa melihat dari tingkah laku jasmani kita. Tetapi semua
itu belum cukup sebab di dalam keutuhan diri ada kepribadian, perasaan,
hakekat, cita-cita yang mungkin tidak keluar melalui perilaku.
Manusia memiliki kepribadian yang dibentuk dari waktu ke waktu.
Mengapa hanya saat tertentu? Karena kepribadian mengalami perubahan atau
perkembangan dari waktu ke waktu. Mungkin akan ada yang menyanggah pendapat ini
dengan alasan bahwa banyak perilaku yang terpancar dari dalam diri seseorang. Misalnya
ada berita di televisi yang mengatakan bahwa jatidiri seseorang dapat dilihat
lebih dalam melalui tanda tangan orang tersebut. Sehingga, misalnya, ketika
seseorang yang memiliki tanda tangan yang sangat ruwet dan panjang atau garfik
yang naik turun, maka disimpulkan bahwa ada sesuatu yang tersirat dalam tanda
tangan itu perihal kepribadian dan jatidiri orang tersebut. Ada juga pandangan
yang mengatakan bahwa pendeta itu ibarat ikan yang ada di dalam aquarium.
Benarkah orang-orang yang melihat ikan di dalam aquarium bisa memahami
sepenuhnya ikan tersebut secara objektif? Apakah orang-orang bisa memahami
perasaan atau yang diinginkan ikan tersebut? Tidak semua dapat dipahami dari
ikan, sekali pun ia berada di aquarium yang kacanya bening. Ikan dinilai hanya
dari yang terlihat oleh panca indra saja, yang diteliti perilakunya dan menjadi
sebuah “kebenaran” yang universal terhadap semua ikan (kebenaran yang dikatakan
objektif bisa saja melenceng). Begitu juga dengan pendeta yang adalah manusia.
Persamaan ikan dan pendeta adalah sama-sama mahluk hidup bukan benda mati yang
bisa diamati hanya menggunakan panca indra saja (objektif secara empiris: bisa
dilihat dan diteliti terkait partikel yang dikandungnya). Pemahaman “seperti
ikan di dalam aquarium” sangat berbau hal-hal yang negatif. Bukan sebagai
motivasi diri karena melihat kebaikan dari pendeta tersebut, melainkan karena
sebutan itu sering kali digunakan untuk melihat perilaku pendetanya, khususnya
hal-hal yang dianggap negatif untuk memojokkan pendetanya. Disini terlihat
bahaya dari penilaian “seperti ikan dalam aquarium. Seperti ada pepatah jawa
yang mengatakan “wingko katon kencono
(potongan genting pun terlihat seperti emas) artinya bahwa ketika seseorang itu
sudah merasa cocok dan senang terhadap seseorang maka semuanya dianggap baik.
Pepatah yang kedua adalah kencono katon
wingko (emas pun terlihat seperti pecahan genting) artinya betapa pun
mulianya kelakuan dan sikap seseorang, jika kita sudah tidak senang maka kita
tetap saja muak melihatnya. Bagaimana jika setiap orang yang melihat ikan itu
sudah merasa muak? Bisa anda bayangkan akibatnya.
“Semua orang merupakan manusia seutuhnya. Pendeta adalah
orang. Jadi, pendeta adalah manusia seutuhnya”. Dengan demikian, tidak ada
pemisahan antara pendeta dengan orang lain yang juga merupakan manusia
seutuhnya. Manusia seutuhnya dalam artian bahwa manusia bukan benda mati atau
mahluk yang diluar manusia yang tidak bisa merasa. Sebab di dalam manusia
seutuhnya terdapat kemauan, kehendak dan cita-cita pribadi mengenai dirinya
sendiri, yang tidak serupa dengan objek yang lain selain manusia. Tantangan
bertanya “siapakah aku?” pada diri sendiri
merupakan pengenalan diri yang objektif. Pengenalan akan diri kita bukan
berasal dari versi yang berbeda-beda berdasarkan perspektif pengamat yang
berada diluar diri kita. Menurut Prostanius Hardono Hadi, pada umumnya manusia
menangkap dan menginterpretasikan yang dilihat dan yang dialaminya bukan
berdasar pada keadaan sebenarnya dari objek yang dilihatnya, melainkan
berdasarkan latar latarbelakangnya sendiri, berdasarkan minat, kecenderungan, selera,
harapan, prasangka, perasaan, serta pikirannya sendiri. Sehingga ketika menilai
orang lain, kemungkinan yang muncul dalam benak si penilai adalah bukan lagi
orang yang dinilai sebagaimana adanya,
melainkan menurut versi dan gambaran si penilai. Contoh: ketika kita bertemu
dengan seseorang untuk pertama kali, kita akan mencoba membuat praduga-praduga
mengenai diri orang itu menurut versi kita. “Dia itu orangnya sombong, dia itu
orangnya baik, dia itu orangnya suka menolong, orang itu suka menabung, dst.
Setelah panjang lebar, saya akan kembali pada penilaian
terhadap diri kita dan orang lain yang dianggap objektif dan subjektif. Apa
sebenarnya arti objektif dan subjektif?
Menurut Prostanius Hardono Hadi, objektivitas merupakan
jargon zaman modern. Zaman modern ditandai dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan yang dimotori oleh ilmu pengetahuan alam. Ciri khasnya adalah
anggapan bahwa pengetahuan yang diperolehnya bersifat objektif, di mana objek
diketahui sebagaimana adanya. Semua harus diukur secara kuantitatif , dengan
indikator yang kasat mata, bersifat empiris, dapat dibuat percobaan, dan
dibuktikan oleh siapa pun. Dengan demikian semua yang bersifat subjektif
seperti perasaan, seni, tradisi, adat-istiadat, keyakinan atau kepercayaan
tidak mendapatkan tempat. Ketika objektivitas ala ilmu pengetahuan ini dibawa
ke diskusi-diskusi ilmiah di bidang lain (mis: ekonomi, psikologi, budaya,
teologi) maka akan banyak orang yang bingung dan linglung mengenai arti dan
maknanya. Ketika ilmu-ilmu lain mencoba meniru objektivitas yang di dimaksud
pengetahuan, yang terjadi justru kekaburan makna karena mencoba mencari
objektivitas agar dapat ditangkap secara sama oleh setiap orang yang bergaul
bersamanya. Tentu akan berbenturan jika berbicara tentang kepribadian atau
jatidiri seseorang, sebab setiap orang unik atau khas, dan selalu berubah dari
waktu ke waktu. Perkembangan ilmu terus berlanjut. Perkembangan ini semakin
memperjelas bahwa menjadikan segala-galanya objek penyelidikan yang objektif,
termasuk manusia dan interaksinya, semakin dirasakan sebagai tindakan yang
tidak adil terhadap kenyataan yang multidimensional penuh dengan pluralitas
yang variatif. Bahkan objektivitas banyak dipertanyakan perihal masalah validitas klaim-klaim objektif dan ilmiah (Thomas Kuhn, The structure of Scientific
revolutions). Walaupun pandangan Kahn ini membawa pencerahan tetapi tidak
sedikit menimbulkan perdebatan dikalangan saintis. Kesimpulannya adalah menilai
diri seseorang secara objektif sangatlah sulit, bahkan mengarah ke yang
mustahil. Sebab ketika kita menilai, latarbelakang (subjektif) kita ikut ambil
bagian untuk merangkum data yang akan dinilai.
Menurut Protasius, jika dari segi objektivitas tidak mungkin,
dan dari subjektivitas dapat sewenang-wenang, mungkinkah menemukan
jatidiri melalui sintesis antara
pengetahuan yang diklaim bersifat objektif dan pengetahuan yang dikalim bersifat
subjektif? Tentu sangat sulit. Menurutnya, di dalam sejarah filsafat, khususnya
epistemology atau filsafat pengetahuan, tekanan pada objektivitas dipegang oleh
aliran Empirisme dan turunannya. Metode yang digunakan terutama metode induktif
yaitu dengan mengamati contoh-contoh khusus
dan kalau perlu dengan percobaan
yang berulang-ulang, yang diyakini akan membuahkan sesuatu yang sifatnya
universal. Dengan demikian temuan tersebut dapat digunakan untuk meramalkan
keadaan selanjutnya. Sedangkan yang menekankan aspek subjektivitas
dipertahankan oleh aliran rasionalisme. Aliran ini terutama menggunakan metode
deduktif, yakni dengan merinci prinsip-prinsip umum ke dalam contoh-contoh
konkret. Menurut aliran ini, manusia sejak lahirnya sudah dibekali dengan
ide-ide bawaan yang dapat digunakan
sebagai kunci untuk memahami pengalaman (dimana kedudukan psikologi pada kedua
pendekatan ini?). Kemustahilan kedua pendekatan ini dirasakan oleh Immanuel
Kant. Menurutnya, manusia tidak mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat
mencapai objek yang sesungguhnya, yaitu objek dalam dirinya sendiri. Mengapa
demikian? Sebab manusia memiliki budi
yang sudah tertentu dan terbatas. Banyak hal-hal yang di luar jangkauan akal
budi. Kategori-kategori yang ada dalam akal budi hanya cocok untuk menangkap
pengalaman yang bersifat indrawi. Pengetahuan manusia mengenai objek hanya
sejauh objek itu dapat ditangkap dengan panca indra. Tetap masih menjadi
pertanyaan. Jika yang benar benar-objektif berada di luar jangkauan akal budi,
apakah itu berarti manusia tidak mungkin bisa mendapat pengetahuan mengenai
objek dalam dirinya sendiri?
Sebelum menilai atau memberi gambaran tentang diri kita atau
pun orang lain, maka diperlukan pemahaman mengenai arti kepribadian dan
jatidiri. Di dalam kepribadian terdapat kemungkinan adanya perubahan dari waktu
ke waktu. Atau dengan kalimat lain bahwa kepribadian individu manusia adalah
tema umum dari pola kontras pelbagai nilai atau kualitas yang terkandung di
dalam dirinya sebagai hasil proses pembentukan diri pada setiap sekarang.
Artinya, kepribadian itu adalah kekinian, sekarang, bukan dulu atau akan
datang. Sebab seperti dikatakan diatas bahwa kepribadian itu adalah pembentukan
dari waktu ke waktu yang memungkinkan untuk berubah. Inilah salah satu yang
menjadi alasan sulitnya untuk melihat kepribadian seseorang. Sedangkan jatidiri hanyalah satu. Jatidiri
adalah tema umum dari seri kepribadian-kepribadian yang terbentuk dari waktu ke
waktu. Oleh karena itu jatidiri seseorang terbentuk setelah seeorang itu
meninggal dunia, karena tidak terjadi lagi proses pembentukan
kepribadian-kepribadian. Sedangkan jika masih hidup, jati diri seseorang
hanyalah berlaku sampai saat itu, yang merupakan rangkuman dari
kepribadian-kepribadian. Yang menjadi penentu utama proses perkembangan
kepribadian dan jatidiri adalah citra diri. Jadi, citra diri bukanlah sesuatu
yang salah atau melanggar aturan. Justru citra diri berfungsi untuk menata
terus-menerus proses pembentukan itu. Contoh: Jika pendeta si A ingin memiliki
citra diri sebagai pendeta yang baik, maka ia harus membangun atau membuat
tema-tema kecil dalam hidupnya yang mengarah ke citra diri seorang pendeta yang
baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jatidiri bukanlah sesuatu yang
objektif karena tersembunyi di dalam jiwa dan hanya dapat ditemukan dari hasil
proses pembentukan diri.
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan sementara
(sementara karena perlu melihatnya dengan kekritisan dan perdebatan), bahwa
seseorang itu tidak bisa digambar secara objektif menurut empirisme atau pun
rasionalisme. Yang bisa dikatakan sebagai yang objektif adalah gambaran yang
bisa dilihat dari perilaku seseorang.
Dan perlu diingat bahwa gambaran itu rentan terhadap kekerasan karena bisa jadi
penilaian itu berdasarkan latar belakang si penilai. Jadi, apakah pertanyaan
yang dituliskan di atas tidak pantas di berikan kepada diri kita dan orang
lain? Disini tidak berbicara tentang pantas atau tidak. Tetapi melalui
pertanyaan itu kita tahu dan paham apa yang sedang kita pertanyakan sehingga bisa
tetap menghargai orang lain sebagai pribadi yang khas, unik. Mengapa hal
seperti ini perlu untuk dipahami? Tentunya agar tidak jatuh pada kekerasan menilai
orang lain, dan memahami bahwa penilaian hanyalah sementara dan belum tentu
pasti. Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan di atas di perlukan agar tetap mampu
berjalan mengarungi samutra kehidupan dengan terus belajar untuk memahami siapa
diri kita dan perkembangan apa yang sudah dimiliki, apa yang perlu kembangkan
dan citra diri apa yang perlu dibentuk. Bagi orang lain hal ini juga perlu.
Ketika seseorang telah memahami sedikit tentang kekhasan manusia, maka ia bisa
mengajarkannnya di dalam pelayanan-pelayanan agar orang lain juga bisa melihat
kekhasan-kekhasan itu, dan tidak lagi asal menggambar atau menilai orang lain. Dengan demikian setiap individu bisa berbarengan
belajar memahami diri sendiri dan orang lain. Tentunya bukan untuk
menghancurkan melainkan mengembangkan setiap diri ke arah jatidiri yang
otentik. Para murid tidak bisa menilai Yesus secara objektif karena mereka
tidak bisa masuk ke dalam diri Yesus seutuhNya.
Para murid hanya tahu mengenai Yesus dari ajaran dan pembicaraan orang
lain. Sekali lagi, Yesus tidak memarahi para murid. Tetapi Yesus ingin agar
para murid memahami apa yang mereka katakan mengenai Yesus. Begitu juga dengan
setiap individu yang menggambar atau menilai diri sendiri dan orang lain.
Hendaknya dimulai dengan pemahaman perihal yang akan dinilai agar penilaian itu
tidak menderung menjatuhkan orang lain, melainkan mendukung dan membimbing untuk menemukan siapa diri kita dan orang
lain. Dan juga, agar praduga-praduga cepat muncul kepermukaan atau membuat
opini terhadap orang lain.
Kita membutuhkan waktu untuk mempelajari diri kita sendiri,
berbicara dengan diri kita sendiri dan memperlakukan diri kita secara adil.
Kita mempunyai segudang cerita tentang hal-hal yang ada di luar diri kita
tetapi kita hanya memiliki secuil cerita tentang diri kita. Hal apa yang bisa
kita lakukan untuk menemukan kepribadian dan jatidiri yang kemudian
mengembangkannya dengan bertanggungjawab? Kita diharapkan berdiskusi di dalam
dan dengan diri sendiri dengan melakukan refleksi, dialog dan kontemplasi.
Dengan demikian, pertanyaan “siapakah aku” bukan sesuatu yang tabu untuk
dilakukan sebagai bahan perenungan. Tetapi hendaknya dipahami bahwa menilai
seseorang dengan mengatakan hal itu adalah objektif, maka perlu dipertimbangkan
kembali agar penilaian itu tidak jatuh kepada kekerasan terhadap orang lain.
menilai secara objektif sangat dimungkinkan. Tetapi perlu untuk mengkritisi
perihal sejauh mana yang dimaksudkan dengan objektif. Apakah sebatas perilaku
yang terlihat melalui pancaindra atau secara utuh diri seseorang yang dinilai.
Tetap aku juga masih
rada bingung. Dipersilahkan untuk meramu atau meracik kembali. Bukan untuk
menghakimi melainkan memahami dengan penuh cinta.
Dari “Potret Siapakah Aku”, Protasius Hardono Hadi.