Sabtu, 23 Februari 2013

Peranakan Tionghoa di Nusantara


Dalam ingatan saya, ada beberapa fragmen peristiwa yang terekam dalam ingatan saya. Dari beberapa fragmen itu, saya mengenal diskriminasi. Peristiwa pertama terjadi ketika saya berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Pada saat itu, saya bermain ke rumah seorang rekan yang tinggal di sekitar rumah. Namun, saya diusir oleh orang tuanya. Orang tuanya berkata kepada teman saya, “Jangan bermain dengan anak Cina! Mereka pelit dan rakus.” Pada saat itu, saya pulang ke rumah dengan hati yang sedih. Apa kesalahan saya sebagai anak peranakan Tionghoa sehingga saya tidak boleh bertandang ke rumah kawan saya? Peristiwa kedua terjadi ketika saya menginjak bangku sekolah dasar. Saya bersekolah di sekolah yang didominasi oleh anak peranakan Tionghoa. Dalam masa itu, ada seorang rekan saya yang non-peranakan Tionghoa yang mengalami bullying oleh rekan-rekannya. Saya –yang dulu sangat pendiam—bertanya kepada teman-teman saya. Mengapa dia dijauhi? Mengapa dia sering diejek-ejek. Jawaban teman saya mengejutkan. Katanya, “Karena dia bukan orang Tionghoa. Dia jorok dan hitam.”

Apa salahnya jika saya peranakan Tionghoa? Apa salahnya jika yang lain bukan peranakan Tionghoa? Apakah benar orang non-peranakan Tionghoa adalah orang yang malas, bodoh dan suka menipu? Apakah benar orang Tionghoa itu kaya, anti-sosial, pelit, rakus, individualis, gila uang, hanya bermain di ranah bisnis dan bukan di ranah politik? Pertanyaan-pertanyaan yang saya pertanyakan sejak kecil ini juga ditanyakan oleh Iwan Ong, penulis Peranakan Tionghoa di Nusantara.

Dalam Peranakan Tionghoa di Nusantara dikisahkan rekaman peristiwa dan kisah peranakan Tionghoa di Indonesia dalam corak penulisan etnografi. Kisah-kisah dalam buku ini diuntai secara apik dan seharusnya dapat mendobrak stigma dan stereotipe yang merasuki pemikiran rakyat Indonesia. Salah besar jika selama ini kita memandang bahwa hubungan antara peranakan Tionghoa dengan penduduk lokal tidak terjalin mesra. Pendapat ini dikukuhkan oleh Iwan Ong melalui pengalaman interaksi Cina Benteng dan orang Tionghoa di Bali bersama dengan penduduk lokal. Dengan demikian, cap bahwa orang peranakan Tionghoa yang individualis dan anti-sosial pun tidak dapat digeneralisir.

Stereotip bahwa orang peranakan Tionghoa kaya, pelit, rakus dan gila uang didobrak dengan kisah bayi Sherryl, Encim Ie Yong dan beberapa tokoh lainnya. Bayi Sherryl sakit dan hampir mati karena orang tuanya sangat miskin dan tidak dapat membiayainya untuk dirawat di rumah sakit. Orang tua Sherryl –Hartoyo dan Lina- meminta surat keterangan miskin dari kelurahan Kalideres. Namun, pihak kelurahan tidak memberikannya karena mereka tidak percaya bahwa ada orang Tionghoa yang miskin. Akhirnya mereka hanya mendapat surat keterangan tidak mampu saja sehingga mereka hanya mendapatkan setengah potongan biaya pengobatan dari rumah sakit. Belum lagi, ditambah dengan kisah Encim Ie Yong yang penghasilannya hanya Rp.150.000,- per bulan. Pekerjaannya adalah membungkus cotton bud, yang upah per lusinnya isi 100 batang hanya Rp. 200,- .  Yang menarik, di tengah kondisi kemiskinannya, ia masih tetap mau berderma di sebuah wihara di Jelambar.

Rekaman peristiwa yang disajikan oleh Iwan Ong ini seharusnya dapat mendobrak stigma yang muncul di kalangan masyarakat. Pertama-tama pemaparannya adalah sebuah otokritik bagi orang-orang peranakan Tionghoa yang harus belajar dari leluhurnya yang mau berbaur dengan penduduk non-peranakan Tionghoa. Kedua, pemaparannya juga menjadi otokritik bagi mereka yang memiliki stigma buruk terhadap orang peranakan Tionghoa. Dalam tulisan ini, saya hanya akan merefleksikan kontribusi Iwan Ong yang pertama, yakni otokritik bagi peranakan Tionghoa di Indonesia.
Sebagai sebuah otokritik terhadap diri saya sendiri --sebagai anak peranakan Tionghoa-- saya merasa perlu untuk meninjau ulang istilah sindiran yang sering ditujukan kepada orang non-Tionghoa seperti ingniren, huana dan tiko. Apakah orang yang menyebutkan memahami artinya?

Saya sempat penasaran dan mencari arti tiga kata itu di internet. Kata Huana berarti orang asing atau orang non-Han. Kata ini berasal dari dialek Hokkian. Bagi saya, kata ini bernada netral. Namun, kata ini menjadi bernada negatif karena diucapkan dengan nada melecehkan. Pertanyaan reflektif bagi saya adalah bukankah orang peranakan juga sudah menjadi huana? Bukankah saya dan orang Tionghoa peranakan lainnya sudah menjadi orang asing di negeri tirai bambu? 

Selanjutnya, kata Tiko berarti babi jantan. Bagaimana istilah babi jantan dapat dikenakan pada manusia? Sudah jelas bahwa istilah ini tidak pantas lagi diungkapkan kepada orang-orang non-Tionghoa. Sudah waktunya kata ini dikembalikan fungsinya. Sebutlah “babi” kepada babi, dan bukan kepada manusia!

Terakhir, kata Ingni ren berarti orang Indonesia asli. Kata ini dapat disejajarkan dengan kata Cungko ren yang artinya orang Cina asli. Saya berpendapat bahwa kata ini bernada netral, jika diungkapkan dengan netral. Saya sendiri sebagai seorang peranakan Tionghoa di Indonesia merasa sebagai Ingni ren. Saya lahir di Indonesia dan dibesarkan di Indonesia. Saya mencintai bangsa Indonesia. Menurut saya, saya melukai diri sendiri jika kata Ingni ren disalah-gunakan untuk merendahkan orang non-peranakan Tionghoa. Mengapa? Karena saya adalah seorang peranakan Tionghoa yang memiliki identitas sebagai orang Indonesia asli.

Dari ketiga kata itu, menurut saya ada kata-kata yang perlu ditinjau ulang penggunaannya, dikembalikan fungsinya dan dimaknai ulang agar menjadi positif. Sudah waktunya peranakan Tionghoa mendobrak dinding segregasi etnis. Diskriminasi dalam rupa apapun sudah waktunya dikremasi! Dibakar habis menjadi abu dan dibuang ke laut. Ya, mulailah dari lingkup yang paling kecil: dari diri sendiri. Marilah bersama-sama bertransformasi ke arah yang lebih baik. Marilah belajar untuk terbuka, seperti Yesus yang terbuka dan bersikap outside of the box. Ia mau cara pandang-Nya ditransformasi dalam perjumpaannya dengan perempuan Siro-Fenisia. J

Judul Buku      : Peranakan Tionghoa di Nusantara
Penerbit           : PT Kompas Media Nusantara
Penulis            : Iwan Ong
Tahun terbit     : 2012


emsiseyar
Jakarta, 23 Februari 2013

Senin, 18 Februari 2013

siapakah aku?


Siapakah aku? Siapakah dia sebenarnya? Seperti apakah jatidiri orang itu? Apakah itu gambaran yang objektif atau subjektif? Tolong berikan jawaban yang objektif? Semua pertanyaan ini sering kita dengar atau bahkan gunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain atau membuat karya “ilmiah”. Dengan demikian pertanyaan ini sangat familiar bagi kita.

Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari yang namanya “menilai”. Baik itu menilai sesuatu sesuai dengan konsep atau keinginan maupun menilai orang lain berdasarkan norma atau kesepakatan dalam kehidupan bersama. Penilaian itu juga digunakan untuk memberi gambaran baik atau tidak baik diri seseorang dengan menggunakan perilaku sebagai alat ukur. Gambaran baik dan tidak baik ditujukan kepada seseorang yang diyakini dapat merangkum seluruh kepribadiannya. Contohnya, Dia baik karena terlihat kedisiplinan dalam dirinya; Dia tidak baik karena perilakunya tidak sesuai dengan aturan, kebiasaan atau dogma. Ketika bertemu seseorang yang sulit dirangkum kepribadiannya maka kemungkinan orang itu dianggap sebagai  “orang aneh”. Makna penilaian yang terlalu sederhana dapat membuat  gambaran tentang diri seseorang menjadi tidak utuh. Tindakan arogan menilai kepribadian, hakikat  dan jatidiri dengan menekankan bahwa penilaian itu objektif, maka penilaian itu bisa jatuh pada bentuk kekerasan terhadap orang lain.

Setiap orang mau diperlakukan  sebagai “aku” yang tidak ada duanya, khas. Pertanyaan ini kesannya sepele atau tidak terlalu serius. Perlukah untuk ditanyakan? Manusia tetap bisa menjalani hidup ini tanpa harus bertanya “siapakah aku?” Justru disitulah letak permasalahan filosofisnya. Filsafat tidak bertanya hal-hal yang canggih melainkan bertanya tentang hal-hal sederhana yang mungkin dianggap orang sebagai bahan sepele untuk diperbincangkan. Mengapa seringkali pertanyaan sepele itu tidak perlu dijawab? Hal itu bisa disebabkan kebiasaan diri dengan pengetahuan dan pemaknaan yang samar-samar dan kabur. Oleh karena itu pertanyaan sepele perlu dikuliti kembali agar hidup ini tidak tenggelam dalam ironi dan tebak-tebakan.

Alkitab menunjukkan adanya pertanyaan serupa yang dilontarkan Yesus kepada murid-muridnya. “Kata orang, siapakah Aku ini?” Para murid pun menjawab melalui perspektif mereka masing-masing (tidak tahu apakah jawaban itu memang dari diri mereka sendiri memahami Yesus atau pandangan mereka yang berasal dari pandangan yang di dapat dari orang-orang).[1] Para murid menjawab: “ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, ada yang mengatakan Elia, ada juga yang mengatakan seorang dari para nabi.” Apakah jawaban para murid itu bersifat subjektif? Ketika Yesus kembali bertanya: “tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Petrus “Engkau adalah Mesias”. Apakah penilaian itu bersifat objektif? Atau tidak kedua-duanya? Tidak ada secara langsung Yesus mengatakan bahwa jawaban Petrus itu benar tetapi Yesus juga tidak menyalahkan Petrus. Yesus hanya menambahkan agar para murid tidak memberitahukan jawaban itu kepada siapa pun. 

Kata “mesias” menurut Alkitab Elektronik- Alkitab Terjemahan Baru, baru muncul pada Injil Matius yaitu Matius 2:4. Tetapi kata Mesias itu tidak diucapkan oleh Yesus melainkan narator untuk menjelaskan perihal pencarian Yesus. Di Injil Markus, kata Mesias  muncul pada pasal 8:29.  Kata itu diucapkan oleh Petrus walaupun dalam kisah lanjutannya sepertinya Petrus tidak mengerti arti Mesias yang dimaksudkan Yesus. Tidak dijelaskan darimana Petrus mendapat kata “Mesias” tersebut. Tetapi Yesus bertanya: “tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Jawaban yang diberikan Petrus kesannya jawaban yang keluar dari diri Petrus dalam melihat Yesus. Jika jawaban itu objektif, darimana Petrus mengetahui kata itu?  Jika subjektif maka Petrus mendengar kata itu dari orang-orang atau pun dari hasil penilaiannya terhadap Yesus, yang mungkin dipengaruhi latarbelakang Petrus. Saya tidak akan panjang lebar menjelaskan tentang pertanyaan Yesus itu. Yang ingin saya kembangkan dalam tulisan ini adalah perihal pertanyaan “siapakah aku?” yang sering kita dengar bahkan ucapkan, yang dihubungkan pada penilaian terhadap diri seutuhnya. Pertanyaan ini akan saya kembangkan ke arah apakah yang dimaksud dengan objektif dan penilaian subjektif.

 Dalam pelatihan-pelatihan kepemimpinan, pertanyaan “siapakah aku” seringkali diberikan kepada peserta. Mungkin tujuannya untuk melihat atau lebih memahami siapa sebenarnya peserta menurut pandangan peserta tersebut. Pertanyaan itu tidak langsung dijawab peserta. Peserta akan mulai berfikir keras untuk menemukan jawaban yang menurutnya tepat dan tentunya agar diterima orang-orang yang melihat tulisannya. Jika menjawab pertanyaan itu sulit, maka pertanyaan akan diganti dengan pertanyaan “sebutkan hal-hal yang positif dalam dirimu dan sebutkan hal-hal yang negatif dalam dirimu”. Ini pun mungkin tidak bisa langsung dijawab oleh peserta. Seperti biasa, peserta akan duluan menjawab pertanyaan no 2: “sebutkan hal-hal yang negatif dalam dirimu”. Mengapa kesannya lebih mudah menjawab pertanyaan no2? Mungkin karena adanya budaya yang terlalu “rendah hati” dan tidak suka sombong, takut dikatakan “pamer” atau menciut karena takut disebut “narsis” jika terlalu pede menyebutkan kelebihan atau hal-hal yang positif dalam diri orang yang menjawab. Tetapi bisa juga berasal dari didikan yang membentuk pemahaman: tidak baik mengatakan atau menceritakan kebaikan-kebaikan yang bisa kita lakukan atau bahkan telah kita lakukan. Pandangan yang sudah berakar ini memunculkan kesulitan untuk mengungkapkan atau nulis daftar-daftar yang positif dalam diri seseorang. Bahkan ketika pertanyaan itu datang kepada seseorang, tidak jarang muncul jawaban: “ada baiknya jika orang-orang yang sudah mengenal saya yang menjawab pertanyaan itu”. Kesannya jawaban itu dimunculkan agar lebih terlihat  objektif. Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menilai diri seseorang dengan sewenang-wenang dengan anggapan agar lebih objektif. Padahal, jika orang lain memberi penilaian tentang diri seseorang maka penilaian itu sangat mungkin bersifat subjektif sebab penilaiannya  bisa jadi berangkat dari latar belakangnya, paradigmanya dan tentu dari kacamatanya. Mengapa harus memberikan kedudukan lebih objektif secara gratisan kepada hal yang sama subjektifnya dengan kalau kita merefleksi dan menilai diri sendiri?  

Manusia bukanlah melulu benda jasmani. Di dalam diri manusia ada aspek batin, aspek kejiwaan, aspek personal, yang semuanya itu sangat menentukan dalam diri manusia. Kitalah yang paling dekat dengan diri kita sendiri, bukan orang lain. Artinya,  orang lain tidak tahu apa yang bergejolak dalam diri kita. Contoh: ketika kita sujud berdoa, orang lain tidak tahu apakah kita fokus atau tidak. Yang tahu hanyalah kita yang sedang berdoa. Menurut Soren A Kierkegaard, manusia harus terjun langsung ke panggung dan menyelami eksistensinya sebagai pelaku yang mengalami suka, duka, kegembiraan, kepahitan,  serta cara menjalani kehidupan. Yang lebih penting adalah bagaimana hidup, membuat pilihan dan mengambil keputusan dengan benar. Maksudnya adalah manusia bebas pada dirinya, dan bukan orang lain yang menjadi penentunya. Kitalah yang lebih mengetahui perasaan gembira dan kepahitan hidup. kitalah yang harus menilai diri kita sendiri agar kita bisa terhindar dari ketergantungan penilaian yang tidak jelas dari orang lain, yang dapat menghilangkan “kedirian” kita yang semain berubah menjadi seperti yang orang lain inginkan. Ketergantungan pada penilaian dari orang lain dapat mengakibatkan hilangnya otentisitas diri. Bahkan menurut Nietsche, ketika kita mengharapkan panutan dan petunjuk dari orang lain, seperti kaum bawahan yang hanya bisa ditipu dan menerima saja ala Machiavelli,  maka kita hanyalah kaum pecundang yang tidak berani mengangkat tanggung jawab  hidup dalam tangan kita sendiri.

Penilaian atau gambaran yang objektif seringkali dipahami ketika jawaban itu berasal dari orang yang berada di luar diri kita. Penilaian itu dimungkinkan berasal dari pemahaman tentang kita melalui panca indra, yang kemudian diinterpretasi melalui latar belakangnya (termasuk di dalamnya praduga-praduga). Contoh: ketika ada seorang anak yang sangat baik dan jujur tetapi suatu ketika ia ketahuan mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya (tidak tahu mengapa ia mengambil barang tersebut). Baru sekali itu ia mengambil barang orang lain tanpa seijin yang punya. Ketika ada orang memergoki kejadian tersebut maka tersiarlah kabar bahwa si anak tersebut seorang pencuri. Banyaknya orang yang mengatakan anak itu pencuri menjadi sebuah peryataan yang benar mengenai anak itu yaitu dia seorang pencuri. Kebetulan contoh ini menunjukkan bahwa anak itu pernah pencuri sehingga muncul pemahaman mengenai diri anak itu sebagai pencuri. Contoh lain: Si B mengatakan bahwa pendeta A tidak suka terhadap dirinya dan juga sombong, dengan alasan pernah suatu ketika pendeta A tidak menyapa si B ketika berpapasan. Si B menceritakan hal itu kepada orang lain sehingga mengganggap pendeta A tidak suka terhadap si B dan sikapnya sombong kepada orang lain. Penilaian itu menjadi sebuah “kebenaran” yang tidak diketahui pendeta A. Hal itu menghadirkan gambaran tentang pendeta A yang sepertinya sudah disepakati oleh orang-orang tanpa sepengetahuan pendeta A. Apakah memang pendeta A tidak suka kepada si B dan orangnya sombong? Apakah gambaran tentang pendeta itu bisa katakan sebagai gambaran yang objektif. Ya, bisa. Dengan dasar bahwa yang dikatakan objektif adalah perilaku yang dilihat orang lain, bukan objektif dari keutuhan diri dari pendeta A. Diperlukan pertanyaan seperti ini: “Pak, apakah bapak tidak suka dengan si B dan apakah bapak juga orangnya sombong?” Mungkin kita akan mengatakan ini sebagai pertanyaan bodoh. “Bagaimana mungkin pendeta si A bisa menjawabnya?” Mungkin itu juga yang menjadi pertanyaan kita. Tetapi perlu disadari bahwa yang lebih tahu mengenai diri pendeta A adalah dirinya sendiri, bukan si penilai. Apakah nantinya jawaban pendeta merupakan jawaban yang jujur? Semua itu kembali kepada pertanggungjawaban diri si pendeta A, karena semua pengalamannya adalah bahan-bahan untuk membentuk kepribadiannya dan jati dirinya. Kadang kita ragu untuk bertanya langsung kepada pendeta A. Mengapa? Seringkali keraguan itu muncul karena adanya praduga-praduga negatif  yang kurang percaya jika pendeta A bisa menjawab dengan jujur. Hal ini bisa terjadi karena adanya budaya wishful thinking dan negative thinking.[2] Kita bertanya tetapi kita ingin jawaban seperti yang ada dalam kepala kita. “Siapakah aku” seringkali bukan kita yang menentukan atau menjawab melainkan orang-orang yang memiliki gambaran tentang kita. Kesannya orang lain lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Apakah orang lain lebih mengerti diri kita daripada kita sendiri? Mungkin orang lain bisa melihat dari tingkah laku jasmani kita. Tetapi semua itu belum cukup sebab di dalam keutuhan diri ada kepribadian, perasaan, hakekat, cita-cita yang mungkin tidak keluar melalui perilaku.

Manusia memiliki kepribadian yang dibentuk dari waktu ke waktu. Mengapa hanya saat tertentu? Karena kepribadian mengalami perubahan atau perkembangan dari waktu ke waktu. Mungkin akan ada yang menyanggah pendapat ini dengan alasan bahwa banyak perilaku yang terpancar dari dalam diri seseorang. Misalnya ada berita di televisi yang mengatakan bahwa jatidiri seseorang dapat dilihat lebih dalam melalui tanda tangan orang tersebut. Sehingga, misalnya, ketika seseorang yang memiliki tanda tangan yang sangat ruwet dan panjang atau garfik yang naik turun, maka disimpulkan bahwa ada sesuatu yang tersirat dalam tanda tangan itu perihal kepribadian dan jatidiri orang tersebut. Ada juga pandangan yang mengatakan bahwa pendeta itu ibarat ikan yang ada di dalam aquarium. Benarkah orang-orang yang melihat ikan di dalam aquarium bisa memahami sepenuhnya ikan tersebut secara objektif? Apakah orang-orang bisa memahami perasaan atau yang diinginkan ikan tersebut? Tidak semua dapat dipahami dari ikan, sekali pun ia berada di aquarium yang kacanya bening. Ikan dinilai hanya dari yang terlihat oleh panca indra saja, yang diteliti perilakunya dan menjadi sebuah “kebenaran” yang universal terhadap semua ikan (kebenaran yang dikatakan objektif bisa saja melenceng). Begitu juga dengan pendeta yang adalah manusia. Persamaan ikan dan pendeta adalah sama-sama mahluk hidup bukan benda mati yang bisa diamati hanya menggunakan panca indra saja (objektif secara empiris: bisa dilihat dan diteliti terkait partikel yang dikandungnya). Pemahaman “seperti ikan di dalam aquarium” sangat berbau hal-hal yang negatif. Bukan sebagai motivasi diri karena melihat kebaikan dari pendeta tersebut, melainkan karena sebutan itu sering kali digunakan untuk melihat perilaku pendetanya, khususnya hal-hal yang dianggap negatif untuk memojokkan pendetanya. Disini terlihat bahaya dari penilaian “seperti ikan dalam aquarium. Seperti ada pepatah jawa yang mengatakan “wingko katon kencono (potongan genting pun terlihat seperti emas) artinya bahwa ketika seseorang itu sudah merasa cocok dan senang terhadap seseorang maka semuanya dianggap baik. Pepatah yang kedua adalah kencono katon wingko (emas pun terlihat seperti pecahan genting) artinya betapa pun mulianya kelakuan dan sikap seseorang, jika kita sudah tidak senang maka kita tetap saja muak melihatnya. Bagaimana jika setiap orang yang melihat ikan itu sudah merasa muak? Bisa anda bayangkan akibatnya.

“Semua orang merupakan manusia seutuhnya. Pendeta adalah orang. Jadi, pendeta adalah manusia seutuhnya”. Dengan demikian, tidak ada pemisahan antara pendeta dengan orang lain yang juga merupakan manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya dalam artian bahwa manusia bukan benda mati atau mahluk yang diluar manusia yang tidak bisa merasa. Sebab di dalam manusia seutuhnya terdapat kemauan, kehendak dan cita-cita pribadi mengenai dirinya sendiri, yang tidak serupa dengan objek yang lain selain manusia. Tantangan bertanya “siapakah aku?” pada diri sendiri  merupakan pengenalan diri yang objektif. Pengenalan akan diri kita bukan berasal dari versi yang berbeda-beda berdasarkan perspektif pengamat yang berada diluar diri kita. Menurut Prostanius Hardono Hadi, pada umumnya manusia menangkap dan menginterpretasikan yang dilihat dan yang dialaminya bukan berdasar pada keadaan sebenarnya dari objek yang dilihatnya, melainkan berdasarkan latar latarbelakangnya sendiri, berdasarkan minat, kecenderungan, selera, harapan, prasangka, perasaan, serta pikirannya sendiri. Sehingga ketika menilai orang lain, kemungkinan yang muncul dalam benak si penilai adalah bukan lagi orang yang  dinilai sebagaimana adanya, melainkan menurut versi dan gambaran si penilai. Contoh: ketika kita bertemu dengan seseorang untuk pertama kali, kita akan mencoba membuat praduga-praduga mengenai diri orang itu menurut versi kita. “Dia itu orangnya sombong, dia itu orangnya baik, dia itu orangnya suka menolong, orang itu suka menabung, dst.
Setelah panjang lebar, saya akan kembali pada penilaian terhadap diri kita dan orang lain yang dianggap objektif dan subjektif. Apa sebenarnya arti objektif dan subjektif?

Menurut Prostanius Hardono Hadi, objektivitas merupakan jargon zaman modern. Zaman modern ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang dimotori oleh ilmu pengetahuan alam. Ciri khasnya adalah anggapan bahwa pengetahuan yang diperolehnya bersifat objektif, di mana objek diketahui sebagaimana adanya. Semua harus diukur secara kuantitatif , dengan indikator yang kasat mata, bersifat empiris, dapat dibuat percobaan, dan dibuktikan oleh siapa pun. Dengan demikian semua yang bersifat subjektif seperti perasaan, seni, tradisi, adat-istiadat, keyakinan atau kepercayaan tidak mendapatkan tempat. Ketika objektivitas ala ilmu pengetahuan ini dibawa ke diskusi-diskusi ilmiah di bidang lain (mis: ekonomi, psikologi, budaya, teologi) maka akan banyak orang yang bingung dan linglung mengenai arti dan maknanya. Ketika ilmu-ilmu lain mencoba meniru objektivitas yang di dimaksud pengetahuan, yang terjadi justru kekaburan makna karena mencoba mencari objektivitas agar dapat ditangkap secara sama oleh setiap orang yang bergaul bersamanya. Tentu akan berbenturan jika berbicara tentang kepribadian atau jatidiri seseorang, sebab setiap orang unik atau khas, dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Perkembangan ilmu terus berlanjut. Perkembangan ini semakin memperjelas bahwa menjadikan segala-galanya objek penyelidikan yang objektif, termasuk manusia dan interaksinya, semakin dirasakan sebagai tindakan yang tidak adil terhadap kenyataan yang multidimensional penuh dengan pluralitas yang variatif. Bahkan objektivitas banyak dipertanyakan perihal masalah  validitas klaim-klaim objektif dan ilmiah (Thomas Kuhn, The structure of Scientific revolutions). Walaupun pandangan Kahn ini membawa pencerahan tetapi tidak sedikit menimbulkan perdebatan dikalangan saintis. Kesimpulannya adalah menilai diri seseorang secara objektif sangatlah sulit, bahkan mengarah ke yang mustahil. Sebab ketika kita menilai, latarbelakang (subjektif) kita ikut ambil bagian untuk merangkum data yang akan dinilai.

Menurut Protasius, jika dari segi objektivitas tidak mungkin, dan dari subjektivitas dapat sewenang-wenang, mungkinkah menemukan jatidiri  melalui sintesis antara pengetahuan yang diklaim bersifat objektif dan pengetahuan yang dikalim bersifat subjektif? Tentu sangat sulit. Menurutnya, di dalam sejarah filsafat, khususnya epistemology atau filsafat pengetahuan, tekanan pada objektivitas dipegang oleh aliran Empirisme dan turunannya. Metode yang digunakan terutama metode induktif yaitu dengan mengamati contoh-contoh khusus  dan kalau perlu dengan percobaan  yang berulang-ulang, yang diyakini akan membuahkan sesuatu yang sifatnya universal. Dengan demikian temuan tersebut dapat digunakan untuk meramalkan keadaan selanjutnya. Sedangkan yang menekankan aspek subjektivitas dipertahankan oleh aliran rasionalisme. Aliran ini terutama menggunakan metode deduktif, yakni dengan merinci prinsip-prinsip umum ke dalam contoh-contoh konkret. Menurut aliran ini, manusia sejak lahirnya sudah dibekali dengan ide-ide bawaan  yang dapat digunakan sebagai kunci untuk memahami pengalaman (dimana kedudukan psikologi pada kedua pendekatan ini?). Kemustahilan kedua pendekatan ini dirasakan oleh Immanuel Kant. Menurutnya, manusia tidak mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat mencapai objek yang sesungguhnya, yaitu objek dalam dirinya sendiri. Mengapa demikian? Sebab manusia memiliki  budi yang sudah tertentu dan terbatas. Banyak hal-hal yang di luar jangkauan akal budi. Kategori-kategori yang ada dalam akal budi hanya cocok untuk menangkap pengalaman yang bersifat indrawi. Pengetahuan manusia mengenai objek hanya sejauh objek itu dapat ditangkap dengan panca indra. Tetap masih menjadi pertanyaan. Jika yang benar benar-objektif berada di luar jangkauan akal budi, apakah itu berarti manusia tidak mungkin bisa mendapat pengetahuan mengenai objek dalam dirinya sendiri?

Sebelum menilai atau memberi gambaran tentang diri kita atau pun orang lain, maka diperlukan pemahaman mengenai arti kepribadian dan jatidiri. Di dalam kepribadian terdapat kemungkinan adanya perubahan dari waktu ke waktu. Atau dengan kalimat lain bahwa kepribadian individu manusia adalah tema umum dari pola kontras pelbagai nilai atau kualitas yang terkandung di dalam dirinya sebagai hasil proses pembentukan diri pada setiap sekarang. Artinya, kepribadian itu adalah kekinian, sekarang, bukan dulu atau akan datang. Sebab seperti dikatakan diatas bahwa kepribadian itu adalah pembentukan dari waktu ke waktu yang memungkinkan untuk berubah. Inilah salah satu yang menjadi alasan sulitnya untuk melihat kepribadian seseorang.  Sedangkan jatidiri hanyalah satu. Jatidiri adalah tema umum dari seri kepribadian-kepribadian yang terbentuk dari waktu ke waktu. Oleh karena itu jatidiri seseorang terbentuk setelah seeorang itu meninggal dunia, karena tidak terjadi lagi proses pembentukan kepribadian-kepribadian. Sedangkan jika masih hidup, jati diri seseorang hanyalah berlaku sampai saat itu, yang merupakan rangkuman dari kepribadian-kepribadian. Yang menjadi penentu utama proses perkembangan kepribadian dan jatidiri adalah citra diri. Jadi, citra diri bukanlah sesuatu yang salah atau melanggar aturan. Justru citra diri berfungsi untuk menata terus-menerus proses pembentukan itu. Contoh: Jika pendeta si A ingin memiliki citra diri sebagai pendeta yang baik, maka ia harus membangun atau membuat tema-tema kecil dalam hidupnya yang mengarah ke citra diri seorang pendeta yang baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jatidiri bukanlah sesuatu yang objektif karena tersembunyi di dalam jiwa dan hanya dapat ditemukan dari hasil proses pembentukan diri.

Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan sementara (sementara karena perlu melihatnya dengan kekritisan dan perdebatan), bahwa seseorang itu tidak bisa digambar secara objektif menurut empirisme atau pun rasionalisme. Yang bisa dikatakan sebagai yang objektif adalah gambaran yang bisa  dilihat dari perilaku seseorang. Dan perlu diingat bahwa gambaran itu rentan terhadap kekerasan karena bisa jadi penilaian itu berdasarkan latar belakang si penilai. Jadi, apakah pertanyaan yang dituliskan di atas tidak pantas di berikan kepada diri kita dan orang lain? Disini tidak berbicara tentang pantas atau tidak. Tetapi melalui pertanyaan itu kita tahu dan paham apa yang sedang kita pertanyakan sehingga bisa tetap menghargai orang lain sebagai pribadi yang khas, unik. Mengapa hal seperti ini perlu untuk dipahami? Tentunya agar tidak jatuh pada kekerasan menilai orang lain, dan memahami bahwa penilaian hanyalah sementara dan belum tentu pasti. Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan di atas di perlukan agar tetap mampu berjalan mengarungi samutra kehidupan dengan terus belajar untuk memahami siapa diri kita dan perkembangan apa yang sudah dimiliki, apa yang perlu kembangkan dan citra diri apa yang perlu dibentuk. Bagi orang lain hal ini juga perlu. Ketika seseorang telah memahami sedikit tentang kekhasan manusia, maka ia bisa mengajarkannnya di dalam pelayanan-pelayanan agar orang lain juga bisa melihat kekhasan-kekhasan itu, dan tidak lagi asal menggambar atau menilai orang lain.  Dengan demikian setiap individu bisa berbarengan belajar memahami diri sendiri dan orang lain. Tentunya bukan untuk menghancurkan melainkan mengembangkan setiap diri ke arah jatidiri yang otentik. Para murid tidak bisa menilai Yesus secara objektif karena mereka tidak bisa masuk ke dalam diri Yesus seutuhNya.  Para murid hanya tahu mengenai Yesus dari ajaran dan pembicaraan orang lain. Sekali lagi, Yesus tidak memarahi para murid. Tetapi Yesus ingin agar para murid memahami apa yang mereka katakan mengenai Yesus. Begitu juga dengan setiap individu yang menggambar atau menilai diri sendiri dan orang lain. Hendaknya dimulai dengan pemahaman perihal yang akan dinilai agar penilaian itu tidak menderung menjatuhkan orang lain, melainkan mendukung dan membimbing  untuk menemukan siapa diri kita dan orang lain. Dan juga, agar praduga-praduga cepat muncul kepermukaan atau membuat opini terhadap orang lain.

Kita membutuhkan waktu untuk mempelajari diri kita sendiri, berbicara dengan diri kita sendiri dan memperlakukan diri kita secara adil. Kita mempunyai segudang cerita tentang hal-hal yang ada di luar diri kita tetapi kita hanya memiliki secuil cerita tentang diri kita. Hal apa yang bisa kita lakukan untuk menemukan kepribadian dan jatidiri yang kemudian mengembangkannya dengan bertanggungjawab? Kita diharapkan berdiskusi di dalam dan dengan diri sendiri dengan melakukan refleksi, dialog dan kontemplasi. Dengan demikian, pertanyaan “siapakah aku” bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan sebagai bahan perenungan. Tetapi hendaknya dipahami bahwa menilai seseorang dengan mengatakan hal itu adalah objektif, maka perlu dipertimbangkan kembali agar penilaian itu tidak jatuh kepada kekerasan terhadap orang lain. menilai secara objektif sangat dimungkinkan. Tetapi perlu untuk mengkritisi perihal sejauh mana yang dimaksudkan dengan objektif. Apakah sebatas perilaku yang terlihat melalui pancaindra atau secara utuh diri seseorang yang dinilai.
Tetap aku juga masih rada bingung. Dipersilahkan untuk meramu atau meracik kembali. Bukan untuk menghakimi melainkan memahami dengan penuh cinta.
Dari “Potret Siapakah Aku”, Protasius Hardono Hadi.



[1] Para murid merupakan orang-orang yang dekat dengan Yesus dan juga merupakan orang-orang yang sudah sering mendengarkan perkataan perkataan Yesus.
[2] Wishful thingking adalah penggambaran yang kita lakukan kepada orang lain sesuai dengan versi dan gambaran yang kita punya mengenai orang itu. Dan bahkan semua gambaran itu merupakan lukisan imajiner kita sendiri berdasar pada yang kita inginkan mengenai orang itu. Negative thinking merupakan penggambaran yang hampir sama dengan wishful thinking. Bedanya adalah penggambaran yang diberikan selalu penggambaran yang negatif. Hal ini bisa terjadi karena adanya latarbelakang kita yang sudah tidak suka dengan orang lain yang akan kita gambarkan atau nilai. 

Jumat, 01 Februari 2013

Tuhan, Berikan Kami.....


Tuhan berikan kami air mata dan bukan tangan besi,
agar kami dapat berbagi penderitaan dengan orang yang kami layani
dan bukan membuat orang yang kami layani menderita karena perlakuan kami.

Tuhan berikan kami telinga yang terbuka dan bukan hati yang penuh ambisi,
agar kami dengan bijak mendengar masukan dan keluh kesah dari umat serta sahabat seperjalanan kami
dan bukan melayani demi sebuah ambisi: kedudukan dan jabatan

Tuhan berikan kami kaki yang tak goyah dan bukan mulut yang menerima suap,
agar kami dapat melangkah untuk melayani Engkau dengan keteguhan hati
dan kami tidak dapat dibeli dan dikuasai oleh harta ataupun mereka yang mendaku punya kuasa

Tuhan berikan kami mulut yang tajam dan bukan jari yang bersilang di balik badan,
agar kami dapat menyuarakan suara kebenaran-Mu
dan  kami tidak bermain curang di belakang-Mu dan umat-Mu.

Tuhan berikan kami leher tertunduk dan bukan kepala yang menengadah,
agar kami menunduk dalam penuh pengabdian pada-Mu
dan kami tidak menengadah untuk menyombongkan apa yang telah kami lakukan.

Amin. 

Bandung, 1 Februari 2012
emsiseyar