Rabu, 30 Januari 2013

A Grief Observed (Mengupas Duka)




Pada tahun 2010, saya pernah melakukan kesalahan bodoh kepada adik kelas saya. Pada saat itu, dia mengalami dukacita karena sahabat terkasihnya, M, meninggal dunia. Ia meninggal karena tertabrak mobil. Sayangnya, adik kelas saya tidak dapat menemani M hingga akhir hayatnya karena ia tidak berada di kota yang sama. Sayalah yang justru mendapatkan kesempatan untuk mendampingi M.
Adik kelas saya –yang sudah mempunyai firasat bahwa M akan segera “pulang”-- menghubungi saya melalui pesan singkat. Ia menanyakan kondisi M. Bodohnya, saya pada saat itu tidak menempatkan diri pada posisinya. Saya membalas pesannya seperti ini, “M sudah bahagia sekarang, ia sudah berada bersama dengan Bapa. Ini yang terbaik untuk M.” Saya tidak menyangka bahwa adik kelas saya membalas sms saya dengan penuh kemarahan. “Bagaimana kau dapat mengatakan bahwa hal itu adalah yang terbaik untuk M (dan untuk saya)? Bagaimana kau mengatakan bahwa peristiwa kecelakaan dan kematiannya adalah hal yang baik?” ujarnya dalam SMS singkatnya. Saya merasa tertampar pada saat itu. Saya mulai menyadari bahwa saya belum bisa berempati. Saya hanya membalas SMS-nya dengan kalimat, “Maafkan saya karena mengatakan hal yang tidak seharusnya saya katakan padamu.”  
C.S. Lewis, penulis buku The Chronicle of Narnia, membantu saya untuk memahami bagaimana perasaan orang yang berduka. Lewis pernah mengalami perasaan tersinggung yang sama dengan adik kelas saya ketika ia mengalami kedukaan. Lewis menceritakan pengalamannya ini dalam bukunya A Grief Observed (Mengupas Duka). Ketika istrinya meninggal karena leukemia, rekan-rekannya berusaha untuk menghiburnya dengan mengutip kata-kata Paulus, “Jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” Dalam kemarahannya, raksasa intelektual di abad 20 ini berkata, “Jangan bicara padaku tentang penghiburan dalam agama, atau aku akan curiga bahwa Anda tidak memahami apa-apa.”
Lewis dengan terbuka menceritakan pengalaman dukacitanya ketika maut merenggut istrinya yang mengidap Leukemia, sehingga lima tahapan dukacita yang dikemukakan oleh Elizabeth Kübler-Ross, tampak nyata dalam buku ini. Pada bab pertama dan kedua, dengan jujur ia mempertanyakan keberadaan Allah dalam duka. Dengan penuh kemarahan, ia juga menyatakan kekecewaannya pada Allah sebagai Si Sadis Sejagad. Si Sadis Sejagad itu tidak nyata ketika dukacita melandanya, namun nyata pada saat sukacita. Ia mempertanyakan keberadaan istrinya saat ini. Ia bertanya mengapa orang-orang di sekitarnya begitu yakin dengan imaji surga sebagai tempat yang indah? Mengapa orang-orang begitu yakin akan adanya “reuni keluarga setelah kematian”, padahal tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang menjelaskan tentang “reuni” tersebut?
Dalam bab tiga dan empat, tampak emosi Lewis sudah menurun. Pada bagian-bagian ini, ia mulai dapat menerima kematian istrinya dan melihat bahwa kekalutannya membuat ia tidak dapat melihat “pintu” yang Allah bukakan baginya. Ia menyadari bahwa kesedihan yang mendalam, membuat dirinya semakin terpisah jauh dari istrinya yang telah meninggal. Dia akhir babnya, ia menyatakan bahwa kedukaan adalah sebuah proses perjalanan, bukan sebuah peta. Yang menarik di akhir bukunya, ia mengatakan bahwa kematian dan kebangkitan adalah sebuah misteri. Kita tidak dapat memahaminya dan bahkan kita tidak tahu apa-apa tentangnya.
Bahasa Lewis yang sangat jujur tentang kekecewaan dan ketidakmengertiannya sangatlah menarik untuk saya. Bagi saya, kejujuran macam ini diperlukan untuk membantu proses pemulihan luka atas kehilangan orang yang kita kasihi. Kemarahan-kemarahannya yang dengan gambling dinyatakan dalam tulisan ini, membuat saya terus bertanya. Bagaimana sikap kita ketika melayankan kebaktian penghiburan? Bagaimana kontribusi “iman” itu dapat dinyatakan kepada orang-orang yang berduka. Akh, tampaknya menulis khotbah-khotbah penghiburan akan semakin sulit…. Atau mungkin, pada satu saat nanti, saya hanya memeluk orang yang berduka sebagai ganti khotbah penghiburan itu. Mungkinkah?

Bandung, di penghujung Januari 2013
emsiseyar

Judul   : A Grief Observed (Mengupas Duka)
Penulis: C.S.Lewis
diterbitkan pada tahun 1961  oleh Harper Collins Publisher 
diterbitkan pada tahun 2010 dalam bahasa Indonesia oleh Pionir Jaya.




Minggu, 27 Januari 2013

BER-serah atau TER-serah?

Pada suatu hari di pagi yang cerah, seseorang sedang berjalan-jalan di taman. Ia melangkahkan kakinya secara perlahan dan setiap kali ia melangkah ia berbisik pelan, “berserah…, berserah…, berserah…”. Di sisi lain, dari arah yang berlawanan ada seorang yang sedang berlari-lari dan seperti orang kerasukan ia berteriak, “terserah,terserah,terserah…”. Si alim berbisik pelan, “BER-serah…”. Si skeptis berteriak keras, “TER-serah…”. Tampaknya ada perbedaan yang cukup jelas di antara keduanya. Tetapi, bagaimana kalau setelah kita timbang-timbang lagi, ternyata keduanya ‘SAMA’?
……………………………………………………………............
Pada tanggal 31 Mei 2011 saya tiba di GKI Purwareja-Klampok. Hari itu merupakan hari pertama saya mengikuti kegiatan jemaat dalam rangka Bantuan Pelayanan. Saya mengikuti PA di rumah salah satu anggota jemaat. PA dipimpin oleh seorang teman yang telah menjalankan Bantuan Pelayanan di jemaat ini sebelum saya datang. Dalam PA, pertanyaan yang didiskusikan adalah mana yang duluan dilakukan: berserah kepada Tuhan dulu baru menyusun strategi usaha atau menyusun strategi usaha dulu baru berserah kepada Tuhan. Singkatnya: berserah dulu baru berusaha atau berusaha dulu baru berserah? Hal yang kedua biasanya terjadi ketika seseorang berpikir bahwa dia telah berusaha semaksimal mungkin, selanjutnya ia menyerahkan bagaimana hasilnya nanti ke dalam tangan Tuhan. Saya rasa itu lebih condong TER-serah ketimbang BER-serah. TER-serah Tuhan saja hasilnya mau seperti apa, yang penting dari pihakku, aku sudah berusaha semaksimal mungkin.

Saya pikir-pikir lagi, tidak mungkinkah menciptakan opsi yang ketiga: berserah sambil berusaha dan berusaha sambil berserah? Dengan demikian, berserah kepada Tuhan bukan hanya dilakukan di awal atau di akhir usaha, melainkan juga di tengah-tengahnya, di dalam proses usaha tsb. Jadi keterlibatan Tuhan tidak hanya memberi restu di awal sebagai “starting point” sebuah usaha atau hanya di akhir sebuah usaha sebagai bagian “finishing”, penyempurna dan penilai dari sebuah usaha yang telah dilakukan. Tuhan juga turut berusaha bersama kita dan kita pun berusaha bersama Tuhan.

Ketika itu pandangan yang  saya ajukan condong kepada opsi yang pertama dengan penekanan bahwa kehendak Tuhanlah yang mestinya menjadi prioritas kita sejak awal. Jadi kita bertanya, Tuhan apakah kehendak-Mu bagiku? Kita percaya dan sadar bahwa kehendak Tuhan-lah yang terbaik, dus, kita berusaha untuk menyusun strategi usaha yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita berserah kepada Tuhan karena kita ingin dan rindu melakukan kehendak-Nya. Dan sebagai catatan khusus saya menambahkan: Kehendak Tuhan itu bisa jadi sesuatu yang di luar dugaan kita, sebagaimana yang dialami oleh Yesus di taman Getsemani ketika Ia bergumul untuk taat kepada kehendak Bapa, yakni menempuh jalan salib. Maka kehendak Tuhan itu bukan semata kesuksesan atau keberhasilan. Kesuksesan atau keberhasilan juga bisa datang dari si Iblis sebagaimana yang tampak dalam ilustrasi si petani miskin yang selalu tabah namun akhirnya jatuh juga ketika digoda dengan kesuksesan. Dalam diskusi, ada seorang bapak yang belum-belum sudah tersenyum sendiri sebelum mengemukakan pendapatnya. Ia berkata: “Gini lho, saya kok jadi bertanya-tanya ini mau BER-serah atau TER-serah?”

Saya jadi semakin menyadari bahwa lebih sering orang berkata ‘BER-serah’ dalam situasi-situasi di mana ia tidak dapat berbuat banyak, situasi-situasi mendesak di mana ia merasa tidak berdaya, dan situasi-situasi sejenis lainnya yang biasa dikategorikan “situasi-situasi batas”. Menurut saya, orang yang BER-serah karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa dan merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang ada, sebenarnya setali tiga uang dengan orang yang bersikap TER-serah. BER-serah hanya karena kita tidak punya lagi “bargaining power” hanyalah merupakan sisi lain dari TER-serah. Nadanya saja yang berbeda. BER-serah bernada alim, TER-serah bernada skeptis, namun esensi keduanya SAMA.

Jika demikian, sungguhkah tidak ada perbedaan kualitatif antara BER-serah dan TER-serah? Sepertinya sulit untuk dijawab. Saya cenderung berpandangan bahwa BER-serah dan TER-serah bagaikan dua sisi dari satu koin yang sama. Sulit untuk dipisahkan. Di sini saya ingin mengusulkan perlunya memaknai ulang BER-serah. BER-serah mestinya tidak hanya dilakukan ketika “situasi-situasi batas” melanda. BER-serah mestinya dilakukan SETIAP SAAT dengan kesadaran bahwa kita menjalani hidup ini di dalam tata penyelenggaraan ilahi. BER-serah yang demikian ini membuat kita menjalani hidup setiap hari dengan sukacita dan percaya diri. Di satu sisi, kita dibebaskan dari ketegangan untuk “mengontrol” segala sesuatu yang akan terjadi, di sisi lain kita merasa lega karena kita menyadari Tuhan turut bekerja di dalam segala sesuatu. Persis pada titik inilah ‘ruang’ untuk sikap TER-serah itu tersedia. Kita mengatakan TER-serah bukan karena kita tidak punya “bargaining power”. Kita mengatakan TER-serah karena dengan sukarela kita ingin menyerahkan “bargaining power” kita kepada Tuhan. Kita berkata TER-serah karena kita ingin melepaskan diri dari obsesi untuk mengontrol segala sesuatu. Implikasi praktisnya adalah akan selalu tersedia ruang yang cukup untuk fleksibilitas, spontanitas, revisi dan perubahan rencana sewaktu-waktu bila itu diperlukan. Dengan demikian, rencana yang kita susun meski sudah fixed namun tidak absolut.
Let it flow… let go and let God… (rrb)

FLIGHT (2012)



Kapten William Whitaker (Denzel Washington) adalah seorang alkoholik, juga pecandu narkoba. Dia selalu mengkonsumsi kokain untuk tetap sadar. Tidak lama setelah lepas landas pesawat goncang keras akibat cuaca buruk. Kapten Whitaker menggunakan caranya yang ekstrim yakni dengan kecepatan tinggi melewati awan badai. Setelah itu, dia sempat meneguk alkohol dan tertidur di tengah penerbangan.  Pada saat tertidur karena kelelahan, tiba-tiba mekanisme steering rusak sehingga pesawat jatuh dengan kecepatan tinggi dalam posisi hidung pesawat menghadap ke bawah. Whip menenangkan ko-pilot yang panik dan dengan tetap tenang berjuang untuk mendaratkan pesawat dengan selamat. Sekali lagi ia menggunakan cara ekstrimnya yakni membalikan pesawat dan terbang dalam kondisi terbalik sebelum pendaratan emergensi di daerah yang jauh dari pemukiman penduduk.

Hasil investigasi menunjukkan bahwa pesawat memang dalam kondisi sudah harus diperbaiki dengan kata lain permasahan ada pada masalah pesawat dan bukan human error (baca kesalahan manusia). Whip dapat dikenal sebagai pahlawan seumur hidupnya tetapi Whip tidak mau terus hidup dalam kebohongan. Dia mengaku bahwa dirinya dalam kondisi mabuk pada hari itu dan dia jugalah yang meneguk habis dua botol vodka yang ditemui dalam tong sampah. Padahal dia dapat menuduh Katerina (pramugari yang sudah meninggal) yang menghabisi dua botol vodka sebab hasil penyelidikan menemukan kandungan alkohol dalam darah Katerina (Nadine Velazquez). Whip memilih untuk menghadapi realita dan berhenti hidup di dalam kebohongan. Di dalam penjara, ia memberikan kesaksian bagi para narapidana, salah satu kalimatnya ia mengatakan bahwa walaupun berada di dalam penjara, ia merasa sangat bebas.

Denzel Washington dan John Goodman mendapatkan nominasi sebagai pemeran terbaik dan pemeran pembantu terbaik oleh Golden Globe Award dan Satelite Award. Sutradara Flights Robert Zemeckis yang juga menyutradarai Cast Away, The Polar Express, Beowulf, A Christmas Carol menampilkan pesawat dalam keadaan terbang terbalik, adegan yang bisa dikatakan paling ekstrim. Mungkin setelah menonton film ini, ada orang-orang yang semakin takut bepergian dengan pesawat. (lyx)

Batam, 28 Januari 2013

LEBIH DARI EMAS 比金可贵



Daud mengatakan bahwa Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa, memberikan hikmat, menyukakan hati, membuat mata bercahaya, lebih indah daripada emas, lebih manis daripada madu (baca Mazmur 19.8-12). Apakah sebagian besar orang Kristen menyakini kebenaran tersebut? Jika ya, mengapa pada umumnya, orang Kristen tidak mempelajari firman TUHAN sendiri melainkan lebih memilih untuk menyerahkannya kepada para professional untuk menjelaskannya bagi mereka? Apakah karena takut menghadapi diri sendiri di saat membaca Alkitab? Di sisi lain, setiap orang membaca Alkitab dengan motivasi yang berbeda-beda. Ada yang membaca Alkitab demi tantangan intelektual, melakukan riset dan mendalami Alkitab. Ada juga yang membaca Alkitab demi hal-hal praktis seperti untuk memperoleh petunjuk untuk hidup sehat, menjadi kaya dan berhasil. Ada juga yang membaca Alkitab demi inspirasi sebab Alkitab mengandung inspirasi yang sangat kaya. Yang pasti, membaca Alkitab bukan untuk mengumpulkan informasi atau menambah pengetahuan. Juga bukan untuk menguasai Alkitab, menjadi ahli Alkitab atau mempunyai diploma atau master Alkitab melainkan untuk membaca secara partisipatif untuk melihat ke dalam kehidupan interior kita melalui interaksi dengan Sang Pengwahyu Alkitab yaitu TUHAN Sendiri.

Ketika TUHAN memilih untuk menggunakan “penulisan” untuk mengkomunikasikan firman-Nya, Ia sedang mengambil resiko. Bahasa selalu melekat atau tertanam pada budaya. Saya sering mendengar orang Tionghoa yang meresponi ucapan 谢谢 (baca xie xie) dengan kata 不用谢 (baca bu yong xie) artinya tidak perlu mengucapkan terima kasih atau terima kasihnya ditolak. Orang Indonesia sering meresponi ucapan “terima kasih” dengan “sama-sama” atau “kembali”. Artinya terima kasihnya tidak diperlukan tetapi di kembalikan kepada pemberi ucapan terima kasih. Budaya Barat agak berbeda, ucapan “thank you” dibalas dengan “you are welcome”, ucapan terima kasihmu diterima dengan baik. Begitu juga dengan budaya Jepang, “Arigato gozaimasu” (terima kasih banyak) direspon dengan “dou itashimashite” (ini kesenangan saya).
 
Pernahkah Anda berpikir mengenai etimologi kata “sate” dan “tahu”? Dalam bahasa hokkien sate (sha teh) mengandung arti “tiga potong” sebab sate terdiri dari tiga potong daging sehingga disebut (sha teh – tiga potong). Sedangkan “tahu” (bahasa Tiochiu tao hu), tao berarti kacang dan hu berarti “busuk” / “fermentasi”. Pada masa kecil saya sering mendengarkan orang mengatakan “balikut” kepada anak-anak nakal yang terjatuh atau mainan mereka rusak. Akhirnya saya baru sadar ternyata yang dimaksud dengan “balikut” adalah “very good”. Pernah ketika saya naik bus bersama dengan teman saya dari Puncak menuju Bandung, di tengah perjalanan ada seorang anak muda naik ke atas bus dan berjualan buah salak. Ia berbicara panjang lebar memperkenalkan buah salaknya dalam bahasa Sunda. Saya hanya mendengar kata “salak”, “manis”, “Garut”, “murah” dan sisanya asing bagi saya. Saya kira anak muda ini sedang memperkenalkan salak dari Garut dengan panjang lebar dan setelah saya tanyakan kepada teman saya yang mengerti bahasa Sunda baru saya sadar bahwa ternyata anak muda tersebut bukan sedang mempromosi buah salak dari Garut melainkan sedang memarah-marahi penumpang karena tidak ada yang mau membeli buah salaknya. Karena tidak mengerti bahasanya, saya jadi salah memahami. TUHAN tidak menggunakan bahasa sorgawi untuk berkomunikasi dengan manusia melainkan Ia memilih untuk menggunakan bahasa yang dimengerti oleh manusia namun dengan demikian Ia harus menghadapi resiko salah interpretasi. Jika mau aman, TUHAN bisa menggunakan ilmu pasti seperti rumus aljabar, algoritma atau rumus perkalian untuk berkomunikasi namun rumus matematika tidak dapat menyampaikan pesan tentang kasih TUHAN bagi umat manusia.

Pepatah bahasa Inggris mengatakan, “one man’s tool is another man’s weapon” (alat di tangan seseorang dapat menjadi senjata di tangan orang lain). Kalimat ini juga muncul dalam film The Dark Knight Rises oleh Bruce Wayne. Setiap orang membaca Alkitab dengan praduga masing-masing. Seorang ilmuwan cenderung membaca Alkitab dengan sudut pandang ilmiah sedangkan seorang ahli sejarah akan memperhatikan berbagai unsur sejarah dalam Alkitab. Seorang ahli komputer mungkin akan membaca Alkitab dari sudut pandang komputerisasi. Diakui atau tidak, setiap kita mulai dengan sebuah “praduga”. Jadi, tidak heran ketika para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang sangat menguasai kitab Taurat menolak dan bahkan hendak membunuh Yesus. Oleh sebab itu, seseorang dapat membaca Alkitab dan menjadi semakin rohani sedangkan yang lainnya menjadi semakin berhati keras dan cenderung mencari-cari kesalahan orang lain dan memanfaatkan pengetahuan Alkitab yang telah ia kuasai seperti yang dikatakan oleh Yesus, “Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah” (Yoh 16.2).

Ada yang pernah mengatakan bahwa BIBLE singkatan dari “Basic Instructions Before Leaving Earth” yang artinya instruksi dasar sebelum meninggalkan bumi. Tetapi Alkitab bukan buku magic dan juga bukan Fortune Cookies (kue keberuntungan). Kita tidak dapat mengundi ayat firman TUHAN untuk memperoleh petunjuk dari-Nya. Seseorang mungkin berkata, “TUHAN saya mau bunuh diri, bolehkah? Dan ternyata ayat yang terundi adalah Yohanes 13.27 “Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah segera”. Alkitab tidak dapat dibaca dengan sembarangan dipenggal. Pembagian Alkitab menjadi pasal dan ayat dilakukan dikemudian hari untuk mempermudah pencarian dan pengutipan. Ada yang karena membaca Wahyu 12:3 maka menyimpulkan bahwa naga itu sama dengan iblis tanpa memperhatikan bahwa naga yang dimaksudkan oleh Yohanes berkepala tujuh. Bagaimana dengan naga yang memuji TUHAN di Mazmur 148:7? Alkitab banyak menggunakan bahasa metafora seperti “TUHAN adalah batu”, bukan berarti setiap batu adalah TUHAN. Yesus adalah Singa Yehuda, tidak berarti singa itu Juruselamat sehingga kita harus menyembah singa di kebun binatang. TUHAN juga memerintahkan Yohanes, Yehezekiel dan Yeremia untuk memakan kitab (Why 10.9-10, Yeh 2.8-3.3, Yer 15.16), tentunya kita tidak diminta untuk memakan dan mengunyah Alkitab secara harafiah. Alkitab harus dibaca secara menyeluruh.

Firman TUHAN tidak hanya bersifat abstrak, filosofis maupun konseptual tetapi juga ontologis “Firman menjadi manusia”. Firman TUHAN memberitakan kabar baik bagi orang miskin, pembebasan bagi orang tawanan, penglihatan bagi orang buta, kebebasan bagi yang tertindas dan ini semua digenapi dalam diri Yesus Kristus melalui Diri-Nya dan karya-Nya. TUHAN hadir bagi les miserables (baca orang-orang yang menderita). Tema besar Alkitab adalah “kasih” dimana TUHAN bersolidaritas, TUHAN menyamakan Diri-Nya dengan orang-orang yang menderita. Ia menyimpan air mata kita dalam kirbat-Nya (baca botol air) (Mazmur 56.9). Barangsiapa memberikan pertolongan kepada yang lemah, yang terkecil, yang tertindas, yang terbelenggu telah melakukannya pada Diri TUHAN. Ia mengajak kita untuk melihat wajah-Nya pada sesama seperti yang diungkapkan oleh Yakub kepada Esau yang kemudian juga muncul di dalam dialog film Les Miserables. Yakub berkata kepada Esau, “melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah” (Kejadian 33.10). 

Alkitab tidak untuk dipajang di rak buku tetapi untuk dikonsumsi secara spiritual. Ia lebih berharga dari emas karena ia dapat menyegarkan jiwa kita dan membuat mata kita bercahaya. Membuka hati untuk firman TUHAN juga berarti masuk ke dalam Cerita Allah dan klimaks dari Cerita tersebut adalah Firman menjadi manusia. Cerita tersebut di mulai di taman Eden dan akan berakhir di kota kudus, dimulai dengan pohon kehidupan dan akan diakhiri dengan pohon kehidupan. Inilah Cerita Sang Alfa dan Omega. Cerita ini masih berlangsung…

Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.  (Mazmur 19.8)

Batam, 28 Januari, 2013
LYX

"Without Divine assistance I cannot succeed;  With it I cannot fail!" ~ Abraham Lincoln
"There are more sure marks of authenticity in the BIBLE than in any profane history." ...
I have a fundamental belief in the BIBLE as the Word of G-D, written by men who were inspired.  I study the BIBLE daily." ~ Sir Isaac Newton
"Suppose a nation in some distant Region should take the BIBLE for their only law Book,  and every member should regulate his conduct by the precepts there exhibited!   Every member would be obliged in conscience, to temperance, frugality,  and industry;  to justice, kindness,  and charity towards his fellow men;  and to piety, love,  and reverence toward  Almighty  G-D ...  What a Utopia,  what a Paradise would this region be" ~ John Adams

Selasa, 22 Januari 2013

THE INTOUCHABLES




The Intouchables (2011) mengisahkan persahabatan Phillippe, seorang kaya di Paris yang cacat dengan Driss seorang berkulit hitam dengan latar belakang keluarga yang berantakan. Film ini memenangkan banyak penghargaan, diantaranya Tokyo International Festival untuk pemeran terbaik – Francois Cluzet dan Omar Sy dan Phoenix Films Critics Society untuk film berbahasa asing terbaik.


Driss tidak ingin pekerjaan yang ditawarkan oleh Phillippe, menurut Driss, ia tidak memenuhi syarat dan tidak ada yang akan tertarik untuk mempekerjakan dirinya. Dia hanya ingin mengumpulkan tanda tangan demi mendapatkan tunjangan sosial. Tetapi Philippe malah tertarik untuk mempekerjakan Driss. Dan yang menarik adalah Driss tidak menganggap Philippe sebagai orang sakit dan justru sikapnya disenangi oleh Phillippe. 


Driss memberikan sukacita pada kehidupan Phillippe dan sebaliknya Phillippe telah memberikan kesempatan bagi Driss untuk bangkit kembali. Driss menolong Phillippe menghadapi dirinya sendiri yang cacat dengan berani pada saat Phillippe jatuh cinta dan sebaliknya Phillippe mendorong Driss untuk membimbing adiknya. Sepanjang cerita, penulis-sutradara Olivier Nakache dan Eric Toledano berupaya untuk menampilkan adegan-adegan lucu. Film ini mendemonstrasikan kelemahan manusia dan realita kehidupan. Manusia membutuhkan kesempatan, dorongan dan persahabatan untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukannya. ~ (lyx)


Senin, 21 Januari 2013

WHY DOES GOD ALLOW SUFFERING?



Bad things happen. Our perennial question will be “Does God care? Why doesn’t He interfere? Isn’t He almighty? If God is omnipotence, why doesn’t He end suffering? If God is kind, why does He inflict suffering on human beings?” It is difficult for us to comprehend why we do have to suffer. Doesn’t life intend to be good? If God is a loving God, why doesn’t He protect His children from suffering? Deist Philosophers seek on the answer by looking at the meaninglessness of life. Theologians discuss this issue by trying to reconcile the problem of evil with the characteristics of God – omnibenevolence, omnipotence and omniscience (all-loving, all-powerful and all-knowing).

Evil is not God’s creation but it is the result of “free will”, hence it is misuse of free will that causes suffering and thus suffering becomes inherent. God does not press “Ctrl+Alt+Enter” when His creation goes wrong. He did not cast it away and rebuild a new and better version. Instead, He creatively makes use of what has happened to make us loveable. You may argue that “God is almighty why doesn’t He choose a better and easy way?” Well, He already takes on the best way. God is almighty but His almightiness does not do “crap”. God can make a triangle and also a square but He cannot make a triangle square for a triangle is not a square and a square is not a triangle. He does not change a bullet to a peppermint or a nuclear warhead to a huge pillow.

Let us look at how God deals with suffering. He incarnated, coming to the world in human form and experienced great suffering to “undo” or using a better word to “fix” what has gone wrong. God redeemed humanity by His own suffering. He is the God who empathizes with our weakness (Hebrew 4.15). He is not the God who does not care but He understands suffering (Exodus 2.23-25). Have you ever asked a simple question, “Why do parents send their children to school?” Most children do not feel comfortable at school on their first day, some might cry terribly. Suffering is not merely bad; it can derive something good too. God does not erase suffering at this moment for He is making use of what has already happened to mold and make us lovable whilst He promises to end it on the Last Day. Suffering is not eternal it will end on the coming of our Lord. Let us turn suffering as barriers to suffering as stepping stones!

Batam, 21 Januari 2013
lyx