Jumat, 07 Desember 2012

Natal Sebagai Momen Keramahtamahan


Sekitar sepuluh hari yang lalu (2 Desember 2012) Pak Joas Adiprasetya memuat sebuah tulisan yang berjudul, “Natal Perdana: Ruang Keramahtamahan” di Facebook.[1] Menurut saya, tulisan tersebut menarik karena mencoba memberikan pemaknaan alternatif atas kisah Natal, sebuah pemaknaan yang bertolak dari perspektif keramahtamahan (hospitality). Paparan saya berikut ini merupakan apresiasi atas tulisan Pak Joas tersebut.

Pertama-tama, ada upaya Pak Joas untuk “merehabilitasi” kesan hostility (sikap bermusuhan) dari pemilik rumah penginapan dalam kisah kelahiran Yesus versi Injil Lukas (Lukas 2:1-7).[2]

Secara umum, saya memiliki kesan yang kuat bahwa setiap kali kisah kelahiran Yesus dibacakan, yang muncul dalam benak para pendengarnya tentang pemilik penginapan adalah tokoh antagonis yang tidak ramah. Saya juga ingat, dalam sebuah kesempatan latihan kontemplasi Ignasian tentang kisah kelahiran Yesus, dalam imajinasi saya muncul hal serupa: tokoh pemilik penginapan yang tidak ramah. Dalam kontemplasi Ignasian memang imajinasi berperan penting. Namun sekarang saya bertanya-tanya, kok bisa imajinasi saya “menciptakan” tokoh pemilik penginapan yang tidak ramah? Sebenarnya dalam imajinasi saya, tokoh pemilik penginapan tersebut bukan hanya tidak ramah, tetapi menolak bahkan mengusir Maria dan Yusuf. Lebih jauh, ternyata semua pemilik penginapan di Betlehem juga bersikap demikian. Maka terjadilah hal naas ini: Maria dan Yusuf selalu mengalami penolakan setiap kali mereka mendatangi sebuah tempat penginapan. Menarik bahwa dalam sebuah kesempatan lain, saya menyaksikan imajinasi tersebut ditampilkan dalam tablo Natal. Sekali lagi saya bertanya-tanya, mengapa imajinasi tersebut muncul? Bisa jadi karena prasangka bahwa orang Israel itu jahat atau pandangan bahwa dunia ini memang sejak semula menolak Tuhan.

Saya bersyukur karena ketika kuliah Teologi, saya diajar untuk membaca Alkitab dengan cermat dan kritis. Dengan demikian, selalu ada kesempatan untuk meninjau kembali pandangan-pandangan yang beredar, apakah memang begitu yang tertulis di dalam teksnya atau jangan-jangan hanya “tambahan” dari pembacanya. Nyatanya, sebagian besar imajinasi saya tersebut tidak tertulis di dalam Injil Lukas. Dalam Lukas 2:7 tertulis, “dan ia [yaitu Maria] melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Tidak ada dikatakan tentang penolakan dari pemilik penginapan. Paling banter, kita hanya dapat menduga-duga dari kenyataan bahwa bayi yang baru dilahirkan tersebut dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan. Bahwa palungan adalah tempat makanan hewan, memang dengan mudah membuat para pembaca zaman sekarang membayangkan bahwa Yesus dilahirkan di tempat yang tidak wajar dan tidak layak. Namun kalau hanya sampai di situ saja pertimbangannya, dengan mudah kita akan terjebak di dalam sikap yang “anakronistis”. 

Setidaknya, kita juga mesti mempertimbangkan konteks bangsa Israel pada masa itu. Sebagai bangsa jajahan Romawi, sebagian besar rakyat hidup di dalam kemiskinan yang parah. Ada banyak hal yang dianggap “wajar” oleh orang miskin, namun dalam pandangan orang yang tidak miskin dianggap hal yang “tidak wajar”. Sebagai pembanding, pada masa sekarang ini pun masih banyak rumah-rumah orang miskin yang sangat sederhana, namun dalam pandangan orang yang tidak miskin, rumah-rumah tersebut bukanlah rumah dan tidak layak huni. Saya mungkin melangkah terlalu jauh, tetapi saya menduga jangan-jangan, sebenarnya bayi yang dibungkus lampin dan dibaringkan di dalam palungan merupakan hal yang “lazim” di kalangan orang miskin pada masa itu, apalagi kalau memang sedang dalam keadaan darurat. Sebenarnya sih yang terjadi biasa-biasa saja dan bisa dimaklumi, namun kitanya saja yang cenderung mendramatisir dan beprasangka buruk. Lagi pula, perhatikanlah wajah-wajah Maria, Yusuf dan bayi Yesus di kartu-kartu Natal. Tidak tampak bahwa mereka sedang susah. Sebaliknya, wajah-wajah mereka tampak begitu damai. Dan tidak hanya wajah-wajah mereka saja, wajah-wajah domba dan sapi di tempat itu juga tampak damai. Well, mungkin ini hanya kebetulan saja dan artifisial…:)

Dalam tulisannya tersebut, Pak Joas tidak hanya berpedoman pada imajinasi belaka. Ia juga melakukan rekonstruksi atas kisah kelahiran Yesus yang dipaparkan teks Injil Lukas. Hasilnya, Yesus tidak dilahirkan di sebuah kandang yang hina, melainkan di ruangan bawah dari sebuah rumah. Menurut Pak Joas, istilah kataluma dalam Lukas 2:7 lebih tepat diterjemahkan “ruang tamu” atau “ruang atas” (terjemahan LAI: “penginapan”; istilah ini juga dipakai di dalam Lukas 22:12). Dengan mempertimbangkan bahwa pada masa itu lazimnya para perantau mengunjungi rumah sanak saudara mereka, maka disimpulkan bahwa kedatangan Maria dan Yusuf bukan untuk mencari penginapan umum, melainkan untuk menginap di rumah seorang sanak saudara. Namun ternyata rumah tersebut telah penuh sesak oleh sanak saudara yang lain. Dalam keadaan darurat semacam itu, demi privasi Maria dan Yusuf digunakanlah “ruang bawah”, yakni ruang di mana biasanya pemilik rumah menjaga ternak di waktu malam. Tentu ruang tersebut dibuat senyaman mungkin terlebih dahulu. Jadi, kelahiran Yesus di ruang tersebut bukan karena hostility pemilik penginapan, melainkan karena hospitality pemilik rumah. Menurut saya, rekonstruksi tersebut membuat imajinasi Pak Joas menjadi alternatif yang plausible bagi imajinasi lain yang cenderung negatif (misalnya imajinasi saya).

Sampai di sini muncul pertanyaan, di manakah sebenarnya Yesus dilahirkan? Di kandang (pandangan tradisional), di ruang bawah rumah seorang sanak saudara (pandangan Pak Joas) atau di tempat persinggahan umum (pandangan Romo Gianto)? Sulit untuk menentukannya. Untuk sementara ini bersabar sajalah, siapa tau di waktu yang akan datang semakin banyak temuan yang memberikan kejelasan. Satu hal yang jelas, entah di manapun Yesus dilahirkan, teks Injil Lukas tidak menyatakan adanya hostility pemilik penginapan.

Akhirnya, saya juga mengapresiasi upaya Pak Joas yang mencoba mengidentifikasi tema keramahtamahan di dalam Injil Lukas. Keramahtamahan tidak hanya muncul dalam kisah kelahiran Yesus (Lukas 2), tetapi juga di dalam kisah Zakheus (Lukas 19:1-10), panggilan Lewi (Lukas 5:27-32), pengampunan seorang perempuan berdosa (Lukas 7:36-50), perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15:11-32), pemberian makan lima ribu orang (Lukas 9:10-17), perjamuan malam yang terakhir (Lukas 22:7-38) dan tambahan dari saya, kisah perjalanan murid ke Emaus (Lukas 24:13-35). Hal ini tidak mesti bertentangan dengan pandangan umum di kalangan pakar Alkitab, yakni bahwa konteks Injil Lukas adalah orang yang miskin dan tersisih. Sudah sering kita mendengar tentang Allah yang berpihak kepada orang yang miskin dan tersisih. Lantas, kisah kelahiran Yesus di tempat yang “rendah” sering dijadikan simbol solidaritas Allah. Namun, simbol yang tidak menggerakkan kita kepada praksis pembebasan yang konkrit hanya akan membuat kita me-“romantisasi” dan men-“dramatisir” kemiskinan. Hal ini jelas tidak banyak manfaatnya. Di sisi lain, keramahtamahan merupakan salah satu wujud sikap solider kita kepada mereka yang miskin dan tersisih. Keramahtamahan berarti menyambut mereka yang miskin dan tersisih; “menciptakan ruang” yang cukup bagi mereka untuk hidup dan mengaktualisasikan diri.

Ngomong-ngomong, dalam beberapa waktu belakangan ini saya merasakan pengalaman keramahtamahan di Jakarta, Bandung, Tangerang, Cirebon, Jogja, dan Purworejo. Dalam keramahtamahan insani, di sana terpancar pula keramahtamahan ilahi. Syukur kepada Allah! (rrb)   

        


[2] Romo Agustinus Giato, seorang Profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificium Institutum Biblicum Roma, juga melakukan hal serupa. Romo Gianto mengatakan, “Bukan maksud Lukas mengatakan bahwa mereka tidak dimaui di mana-mana. Tempat-tempat biasa sudah penuh… . Mereka akhirnya menemukan tempat umum yang ada di setiap dusun pada waktu itu yang biasa dipakai tempat istirahat rombongan karavan bersama hewan angkutan mereka. Semacam stasiun zaman dulu… . Sekali lagi ini cara Lukas mengatakan kelahiran Yesus terjadi di tempat yang bisa terjangkau umum.” Lihat Agustinus Gianto, Dag-Dig-Dug…Byaar! Kumpulan Ulasan Injil, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 101. Apa yang dikatakan Romo Gianto ini berbeda dengan rekonstruksi Pak Joas, yakni bahwa tempat kelahiran tersebut terjadi di salah satu ruangan sebuah rumah. Romo Gianto mengikis tendensi hostilitas yang muncul dalam pembacaan teks. Pak Joas bergerak lebih jauh dengan mencoba mengidentifikasi adanya hospitalitas di dalam teks.         

Kamis, 29 November 2012

Sebuah Resensi Buku



THE LOST GIRL: PENGALAMAN SEORANG KORBAN PELECEHAN SEKSUAL MELAWAN TRAUMA MASA LALUNYA

Pernahkah Anda mendengar tentang narrative healing? Narrative healing  adalah salah satu cara untuk menyembuhkan luka-luka batin melalui narasi, yakni menceritakan luka-luka itu kepada orang lain dan tidak menyimpannya seorang diri. Narrative healing dapat dilakukan melalui dua bentuk, yakni (1) dengan menuturkan pengalaman keterlukaan kita kepada orang lain dan atau dengan (2) menuliskan luka-luka kita dalam tulisan.
Bagi saya, metode ini cukup menarik. Biasanya, orang yang terluka cenderung akan menutup rapat lukanya dan tidak bersedia untuk membagikan lukanya pada khalayak ramai. Perasaan malu, tidak mudah percaya dan curiga membuat diri kita enggan untuk bercerita tentang luka batin yang kita alami. Tampakya, mengorek dan menunjukkan luka adalah sesuatu yang menyakitkan, menimbulkan kepedihan di hati. Namun, metode ini ternyata justru menolong orang untuk sembuh dari luka-luka batinnya dengan mengundang setiap orang yang terluka untuk mengakui luka-lukanya.
Saat berkeliling di Perpustakaan Umum Kota Istimewa (Yogyakarta), saya menemukan sebuah buku menarik berisi autobiografi Caroline Roberts, autobiografi seorang korban pelecehan seksual.  Caroline menggunakan metode narrative healing dalam menyembuhkan luka-lukanya. Buku ini sangat inspiratif dan layak untuk dibaca.
Caroline adalah seorang anak yang dilahirkan dari hasil perselingkuhan terselubung antara Eliizabeth Mills dan Michael Mahoney. Saat itu, Elizabeth sudah menikah dengan Albert. Saat Albert mengetahui perselingkuhan istrinya, ia mengusir istrinya dan kedua anak hasil perselingkuhannya. Setelah bercerai, Ellizabeth menikah kembali dengan Alf. Hubungan Alf dengan Caroline tidak baik. Alf dan kakak tirinya sering berlaku kasar pada Caroline. Alf dan kakak tirinya rajin memukuli Caroline dan mengata-ngatainya sebagai anak perempuan nakal. Sungguh malang nasib Caroline, pada usia 6 tahun ia hampir mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua yang tidak dikenalnya. Ia selamat dari pelecehan seksual itu, namun ayah tirinya menyalahkan Caroline atas apa yang ia alami.
Caroline bertumbuh menjadi gadis perempuan cantik yang memiliki wajah ganda. Ia tampak riang dan ceria di hadapan orang lain, namun sebenarnya ia sangat rapuh. Kepribadiannya tampak bertolak belakang. Di luar rumah ia menjadi anak yang periang, untuk menutupi kepedihannya.  Namun, di rumahnya ia menjadi anak yang pemberontak dan kasar.
Perjumpaan Caroline dengan Fred dan Rose West serta kecantikannya membuatnya terperangkap dalam “jeratan iblis”. Fred dan Rose adalah pasangan suami istri yang aneh. Mereka memiliki kebiasaan seksual yang aneh. Fred adalah seorang yang memiliki nafsu seksual yang liar dan tak tertahankan. Sementara itu, Rose adalah seorang biseksual. Hasratnya terhadap perempuan muncul saat ia mengandung. Sayangnya, Caroline malang tidak mengetahui kehidupan keluarga ini. Dengan polosnya, ia menerima tawaran Fred dan Rose untuk menjadi pengasuh anak-anak mereka.
Saat Caroline menjadi pengasuh, ia diperkosa oleh Fred dan Rose. Ia semakin memandang rendah dirinya. Citra dirinya hancur. Ia bahkan melakukan usaha bunuh diri. Ia tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Ia berhasil kabur dari rumah Fred dan Rose, namun Fred dan Rose kembali menculiknya bahkan memperlakukan dirinya dengan lebih kejam. Potret dirinya semakin rusak. Ia sebenarnya hanya ingin dicintai dengan tulus, namun ia tidak merasa pernah mendapatkannya. Tidak ada orang luar yang mengetahui pergumulannya. Ia mengubur lukanya, agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Ia terjebak dan terjerat, tak tahu bagaimana cara melepaskan diri.
Singkat cerita, ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kekejaman Fred dan Rose ke polisi. Namun, ia belum memaafkan dirinya. Pengalaman traumatis yang tidak ia selesaikan membuat dirinya menjadi pencemburu. Hubungannya dengan lawan jenis sering menemui kegagalan. Ia berkali-kali pacaran dan putus. Intuisinya yang tajam membuat ia semakin menderita karena ia berkali-kali menyadari bahwa pacarnya hanya memanfaatkannya untuk bercinta dengannya. Pada saat ada orang yang dengan tulus mengasihinya, orang tersebut meninggal pada saat hendak mengunjungi Caroline di hari ulang tahunnya. Pengalaman itu membuat Caroline merasa bahwa dirinya adalah seorang pembawa sial.
Citra diri Caroline menjadi semakin rusak ketika ia memenangkan kontes modeling yang disarankan ibunya. Ibunya berpikir bahwa kepercayaan diri Caroline akan membaik jika ia memenangkan kontes tersebut. Nyatanya, Caroline semakin merasa hancur. Pada saat ia memenangkan kontes tersebut, para wartawan menghancurkan citra dirinya dengan mengkonfirmasi berita pelecehan seksual yang pernah dialaminya dulu. Ia merasa sangat terpuruk dan tidak dapat menolong dirinya sendiri. Ia menjadi orang yang semakin bersifat curiga pada orang lain dan gemar menyakiti orang-orang yang mengasihinya.
Caroline yang terpuruk, perlahan-lahan mulai bangkit setelah dia mengalami pengalaman spiritual di sebuah gereja. Tuhan memulihkan citra dirinya melalui pengalamannya bersama dengan kelompok “lingkaran pengembangan” di gereja itu. Ia menyadari bahwa dirinya berharga. Ia menyadari bahwa masih ada orang-orang yang begitu mengasihinya. Ia pun menyadari bahwa ia tidak sendirian dan ia menerima balutan luka dari Tuhannya.
Caroline memerlukan waktu 10 tahun untuk menuliskan buku ini. Waktu yang tidak singkat. Ia mengatakan bahwa buku ini menjadi terapi baginya, seperti yang kita sebut di atas sebagai narrative healing. Ia sekarang dapat meneruskan hidupnya bersama dengan Tuhan. Ia kini berani mengambil keputusan dalam hidupnya. Trauma dan luka batinnya kini telah sembuh. Tuhan menggunakan gereja dan metode narrative healing untuk menyembuhkan lukanya.

Yogyakarta, 29 November 2012
dalam sebuah permenungan
ems


KEPUSTAKAAN:
Judul buku    : THE LOST GIRL: PENGALAMAN SEORANG KORBAN PELECEHAN SEKSUAL MELAWAN TRAUMA MASA LALUNYA
Penerbit         : Gramedia
Penulis          : Caroline Roberts
Jenis tulisan  : Autobiografi
Tahun terbit   : 2007

Jumat, 23 November 2012

Imajinasi Pelenyap Kesepian




The world’s greatest tragedy is unwantedness,
The world’s greatest disease is loneliness
Mother Teresa


Apa itu kesepian? Kesepian adalah sebuah perasaan mengerikan yang dapat menghancurkan kita. Ya, perasaan ketika kita merasa merindukan sesuatu atau seseorang, namun kita merasa bahwa tidak akan ada orang yang merindukan, memahami dan mempedulikan kita. Namun, kesepian tidak sama dengan kesendirian. Aku senang menyendiri, namun aku tidak merasa sepi. Namun, di tengah keramaian aku dapat merasakan kesepian. Ya, kesepian tidak selalu hadir dalam kondisi sunyi, tanpa suara. Ia dapat mencengkrammu dalam keramaian ketika bising knalpot motor dan mobil menunjukkan kegagahannya. Begitu menyeramkannya cengkraman kesepian ini, sehingga aku pernah merasa bahwa kesepian ini melilit jiwaku. Aku ingin lari, namun tak dapat. Aku mencoba menari dalam keramaian, namun kini yang tertinggal hanya kesepian. Hampa! Maka dari itu, tidak salah jika Bunda Teresa mengatakan bahwa kesepian adalah penyakit terbesar di dunia.
Kesepian dapat dialami oleh siapapun, baik itu orang yang miskin maupun kaya. Kesepian dapat menghinggapi umat maupun para “pemimpin” umat. Dalam jalan yang kutekuni saat ini, aku pernah bertanya pada Tuhan, “Bagaimana aku dapat menemani orang yang kesepian jika aku sendiri kesepian?” Dalam sebuah refleksi imajiner, aku membayangkan sebuah percakapan antara Kristus dan diriku. Kristus tersenyum seraya menjawab pertanyaanku, “Aku juga pernah mengalami kesepian saat bergumul di taman Getsemani, Nak. Saat aku berharap murid-muridku menemaniku, ternyata mereka tertidur.” Aku terisak sambil mengeluh padaNya, “Ya Tuhan, aku pun demikian. Aku pernah merasakan ketiadaan kehadiran orang-orang yang kuharapkan mendukung dan menemaniku pada saat aku terpuruk. Aku kesepian.” Ia tersenyum mengangguk dan aku pun membalas senyumnya dalam imajiku karena Ia lebih dulu merasakan apa yang kurasakan.
Sambil memandang wajahNya, dengan tangan terbuka untuk menanti jawaban aku bertanya, “Tuhan apa yang lakukan kala itu? Kala kesepian mendedahkan kegeramannya di hadapan wajah kita, dapatkah kita sintas ataukah kita menyerah dan terlarut dalam pusaran kesepian? Bagaimanakah aku dapat terbebas dari kesepianku?”
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah analisis yang dilakukan oleh Paul Tillich tentang tingkat-tingkat kesepian dalam diri manusia. Pada akhirnya Tillich menyimpulkan bahwa kesepian itu adalah suatu hal yang bersifat eksistensial dalam diri manusia. Kesepian menjadi tanda keterasingan manusia. Manusia teralineasi dari cinta kasih. Bagi Tillich, salah satunya cara untuk mengatasi kesepian adalah dengan merekatkan diri pada Sang Illahi. Manusia tak mampu melepaskan diri dari kesepiannya. Hanya Tuhanlah yang mampu membuatnya merasakan kehangatan, lepas dari kesepiannya.
Kini, kulihat gambaran Kristus yang berdoa dengan darah yang menetes. Kurasakan kelekatan Kristus dengan Bapa-Nya, an invisible person. Pribadi yang tidak terlihat itu merangkul-Nya dan memberikan-Nya kekuatan. Aku mengerti, bahwa doa adalah sebuah media untuk merasakan kehangatan bersama Bapa, sehingga kesepian pun lenyaplah. Kehangatan cinta kasih Bapa membantu kita keluar dari kesepian untuk menemani mereka yang juga kesepian. Kini kesepian yang kurasakan pun lenyap bersamaan dengan kalimat penutup sebuah doa dalam imaji bersama Kristus. Kehangatan Kristus melingkupi kita di malam ini dan kesepian pun lenyaplah…

emsiseyar
saat meninggalkan kesepian menuju kehangatan

Sabtu, 27 Oktober 2012

THE BUCKET LIST (2007)


The Bucket List (2007) disutradarai oleh Bob Reiner, ditulis oleh Justin Zackham dan diperankan oleh Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Film ini bercerita tentang pertemuan seorang mekanik, Carter Chambers (Morgan) dengan seorang kaya sekaligus pemilik rumah sakit Edward Cole (Jack Nicholson). Kedua orang ini sama-sama didiagnosa menderita kanker dengan waktu mereka yang hanya sisa 6 hingga 12 bulan.

Pada masa mudanya, Carter bercita-cita menjadi seorang professor sejarah akan tetapi cita-citanya sirna ketika istrinya mengandung sehingga ia mendefinisikan kondisi dirinya saat itu dengan 3 B – black, broke and with a baby on the way. Sebenarnya ia ingin kembali studi tetapi tanpa disadari waktu berlalu dengan cepat. Hobinya adalah menonton acara Jeopardy. 

Edward adalah seorang yang sangat kaya yang sudah 4 kali cerai. Kesukaan Edward adalah kopi luwak. Salah satu hal yang suka ia lakukan adalah mengubah nama orang. Ia selalu memanggil asistennya Thomas padahal asistennya bernama Matthew. Menurut Edward, Matthew terlalu “alkitabiah” sehingga ia gantikan dengan Thomas. Sikap Edward yang menyebalkan membuat dirinya tidak disukai banyak orang bahkan ketika ia menjalani operasi besar di rumah sakit, tidak ada satu orang pun yang mengunjungi dia.
Menyadari waktunya yang terbatas, Carter menulis sebuah daftar hal yang ia ingin kerjakan sebelum ia meninggal dunia yang disebut dengan “The bucket list” (a to do list before someone kicks the bucket). Carter menulis di Bucket list –
-          Witness something majestic.
-          Help a complete stranger for the good
Daftar tersebut kemudian dibaca oleh Edward dan ia menambahnya dengan hal baru seperti, skydiving, kiss a beautiful girl… Edward mendesak Carter untuk melaksanakan apa yang sudah tertulis di Bucket Lists maka mulailah perjalanan ke Eropa, India, Mesir dan China.

Film yang sederhana ini dibungkus dengan dialog yang menarik dan mendalam untuk direnungi. Pada saat mereka membicarakan tentang TUHAN dan iman Edward berkata, ”I envy people who have faith, I just can’t get my head around it.” Dan Carter menjawab, “Maybe because your head is in the way.” Carter, unlike Edward, is a man of faith.”

Ungkapan Carter tentang mendengarkan suara gunung sangat menarik perhatian saya. Carter mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang pendaki yang membagikan pengalamannya ketika mencapai puncak gunung Himalaya. Ia mendengarkan suara keheningan “profound silence” yakni “the sound of the mountain” seolah-olah ia mendengarkan suara TUHAN.

Berikut ini isi surat Carter kepada Edward..
”Dear Edward, I’ve gone back and forth the last few days trying to decide whether or not I should even write this. In the end, I realized I would regret it if I didn’t, so here it goes. I know the last time we saw each other, we weren’t exactly hitting the sweetest notes-certain wasn’t the way I wanted the trip to end. I suppose I’m responsible and for that, I’m sorry. But in all honestly, if I had the chance, I’d do it again. Virginia said I left a stranger and came back a husband; I owe that to you. There’s no way I can repay you for all you’ve done for me, so rather than try, I’m just going to ask you to do something else for me-find the joy in your life. You once said you’re not everyone. Well, that’s true-you’re certainly not everyone, but everyone is everyone. My pastor always says our lives are streams flowing into the same river towards whatever heaven lies in the mist beyond the falls. Find the joy in your life, Edward. My dear friend, close your eyes and let the waters take you home.”

Klimaks film ini terjadi pada saat sharing Edward di sebuah gereja pada kebaktian penghiburan/pemakaman Carter. Edward berkata, “
“I hope that it doesn’t sound selfish of me, but the last months of his life were the best months of mine. He saved my life, and he knew it before I did. I’m deeply proud that this man found it worth his while to know me. In the end, I think it’s safe to say that we brought some joy to one another’s lives, so one day, when I go to some final resting place, if I happen to wake up next to a certain wall with a gate, I hope that Carter’s there to vouch for me and show me the ropes on the other side.”

Di dalam narasi Carter di akhir film, penonton dikabarkan bahwa Edward mengalami perubahan hidup. Edward menyelesaikan apa yang ditulis di Bucket List seperti mencium cucunya, “kiss the most beautiful girl in the world”. Berikut ini narasi Carter di akhir film…
“Edward Perryman Cole died in May. It was a Sunday in the afternoon and there wasn’t a cloud in the sky. He was 81 years old. Even now, I can’t claim to understand the measure of a life, but I can tell you this: I know that when he died, his eyes were closed and his heart was open..”.

Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan (Roma 15.13)




DETACHMENT (2011)



Adrien Brody, pemenang Academy Awards berperan sebagai seorang guru pengganti yang bernama Henry Barthes, untuk menghindari keterikatan emosi atau kedekatan dengan kolega maupun dengan murid-muridnya ia menghindari mengajar di satu sekolah terlalu lama. Film ini memenangkan beberapa penghargaan di antaranya, Best Artistic Contribution Award di Jepang, Audience Award for Best Foreign Language Film di Brazil dan Best Picture di Belgium.


Secara melankolis film ini menggambarkan setiap orang mempunyai masalah. Masing-masing murid, Kepala Sekolah, guru dan keluarga mereka mempunyai permasalahan yang rumit. Ketika pihak sekolah mengadakan “Malam Orangtua”, tidak ada satupun orangtua murid yang hadir. Dingin dan sangat menyedihkan. Setiap karakter didepiksi dalam kondisi depresi, burn-out, kekeringan, kehilangan, stress, lelah, letih, lesu, merasa tidak ada yang peduli, tidak ada yang memperhatikan. Atau sebut saja jiwa-jiwa yang hilang dan lelah di dunia yang rumit. “A lost and tired soul in a complex world”.

Film ini juga menggambarkan bagaimana ingatan masa lalu meningkatkan intensitas amarah dan menimbulkan ledakan emosi pada seseorang. Dalam narasinya, Barthes mengatakan, “We all have problems. Someday we are better than others. Someday we have limited space for others”. Setiap kita mempunyai masalah. Ada saatnya kita lebih baik dari orang lain tetapi ada saatnya kita mempunyai ruang yang terbatas buat sesama.

Ada seorang guru yang setiap harinya berdiri dengan sedih berpegangan pada pagar besi lapangan basket. Suatu ketika ketika Barthes mendekati, ia menanyakan kabar guru tersebut. Guru tersebut merasa terkejut karena ia telah dilihat dan diperhatikan. Meredith, murid Barthes berkata kepada Barthes, “Ketika engkau melihat saya, saya merasakan engkau benar-benar melihat saya.” Kesibukan dan kompleksitas membuat manusia menjadi buta, tidak melihat. Hari-hari pertemuan dan interaksi terjadi tetapi “tidak melihat”. Barthes berkata, “I am a nonperson. You shouldn’t be here, I am not here. You may see me but I am hollow.” Mungkin kita nampak, tetapi kita tidak melihat. Mungkin kita melihat tetapi kita tidak memperhatikan. Di zaman yang sangat mementingkan komoditas, manusia menjadikan dirinya seperti barang dengan dengan daftar spesifikasi. Sehingga manusia berhenti melihat sesama manusia melainkan manusia melihat manusia sebagai barang atau komoditas. Dengan kata lain, “we see but not see”, kita melihat tetapi tidak melihat. Tony Kaye, sutradara film melukiskan hubungan manusia yang sudah semakin renggang (menjauh dari sesama) tetapi tetap rindu untuk tetap terhubung. Erich Fromm di dalam bukunya The Art of Being menulis “modern man is a mass man, he is highly “socialized,” but he is very lonely.”[1]

Barthes mengajarkan murid-muridnya tentang “ubiquitous assimilation” yakni manusia menerima apa saja dari setiap tempat setiap saat. Salah satu pemikiran yang manusia pegang adalah tetap mempercayai kebohongan walaupun menyadari ketidakbenarannya misalnya, “I need to be pretty to be happy, I need to have surgery to be pretty, I need to be thin, famous, fashionable and successful”. Serangan iklan-iklan pemasaran seperti ini, disebut Barthes sebagai “the marketing holocaust”. Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam hidup ini manusia terikat akan banyak hal dan kemudian terpisah dengan dirinya sendiri – “we attach ourselves to many things and eventually we are detached from ourselves.” Film ini diawali dengan mengutip dari Albert Camus, “and never have I felt so deeply at one and the same time so detach from myself and so present in the world”. Plot utama film ini mengisahkan Barthes yang harus menghadapi murid-murid bermasalah, guru-guru bermasalah, kepala sekolah bermasalah, seorang yang baru dia kenal di bus yang juga bermasalah, serta masih dihantui oleh trauma masa kecilnya yang menyangkut ibu dan kakeknya. Film ini memaparkan “life is full of problems”.

By lyx