Selasa, 30 April 2013

PERINTAH BARU: SALING MENGASIHI DALAM SEMANGAT KETERBUKAAN



Tulisan ini merupakan pengembangan atas bahan yang saya khotbahkan pada hari Minggu lalu (28 April 2013). Satu hal yang patut saya catat di sini adalah bahwa khotbah tersebut saya sampaikan dalam sebuah kebaktian umum yang dimulai pukul 12.30 WIB. Inilah ibadah tengah hari, di siang yang gerah dan yang pasti tanpa AC. Meskipun begitu, saya salut dengan jemaat yang hadir. Belakangan saya mengetahui bahwa kebaktian tengah hari semacam itu bukanlah suatu hal yang baru mereka lakukan belakangan ini. Tidak. Mereka telah melakukannya secara rutin selama berpuluh-puluh tahun. Alasannya sederhana saja: tengah hari adalah waktu istirahat mereka dari pekerjaan di sawah atau di ladang.

Khotbah tersebut fokusnya adalah pada bacaan Injil (Yohanes 13:31-35) dan Kisah Para Rasul 11:1-18. Ada dua hal pokok yang dikemukakan: yang pertama, saling mengasihi sebagai perintah baru dari Kristus dan yang kedua, pentingnya “membuka diri” dalam rangka saling mengasihi. Di samping kedua hal tersebut, di sini saya menambahkan satu hal lagi, yakni aspek perasaan dan emosi dalam saling mengasihi.

Mari kita mulai dengan yang pertama. Apa yang disebut dengan perintah baru, ternyata bagi kita orang Kristen sudah tidak terasa baru lagi. Hal ini langsung saya katakan di awal khotbah. Saya bertanya kepada jemaat, “Apa yang disebut sebagai perintah baru?” Jemaat menjawab, “saling mengasihi.” Lalu saya bertanya lagi, “Apakah saling mengasihi itu adalah suatu hal yang baru?” Jemaat menjawab, “Tidak.”

Mengapa perintah tersebut tidak lagi terasa baru? Jawaban subjektif saya: karena kita telah terbiasa mengucapkan dan berbicara tentang kasih. Dalam banyak kesempatan, kita juga sering menyatakan bahwa iman kita tidak lepas dari keutamaan kasih. Namun, kasih telah menjadi hal yang sangat biasa dan sering hanya berhenti di bibir. Kasih menjadi istilah yang nyaris kehilangan maknanya dan dikerdilkan eksistensinya sebatas kata-kata picisan belaka. Di sisi lain, tidak sedikit di antara kita yang menyadari betapa tidak mudahnya “menaruh” kasih itu di dalam tindakan nyata. Di situ  kita dipanggil untuk bergumul.

Dalam upaya memaknai ungkapan “perintah baru” Kristus, banyak pakar Alkitab yang mengajukan pandangan bahwa yang “baru” dalam perintah tersebut adalah pernyataan ini: “sama seperti Aku [Kristus] telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Karena Kristus kita telah mengasihi kita, maka kita pun dipanggil dan dimampukan untuk saling mengasihi. (bnd. I Yohanes 4:11-12). Penekanannya adalah kasih Kristus yang telah terlebih dahulu dianugerahkan kepada kita. Ini pula yang tampaknya membedakan perintah kasih dalam Injil Yohanes dengan perintah kasih dalam Injil-injil sinoptik. Dalam Injil-injil sinoptik penekanannya adalah kepada kedua dimensi kasih: dimensi yang vertikal, yakni kasih kepada Allah dan dimensi yang horizontal, yakni kepada sesama (dan diri sendiri?). Dalam hal ini, Tuhan Yesus ‘hanya’ mengutip dari apa yang telah tertulis dalam Hukum Taurat.

Jadi, perintah baru adalah soal menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita, lalu “menyalurkan”-nya kepada sesama kita. Di sini kita menyaksikan bahwa kasih Kristus merupakan sumber kekuatan yang memampukan kita untuk saling mengasihi. Mereka yang sedang bergumul “menaruh” kasih itu di dalam tindakan nyata, selalu diingatkan untuk mengarahkan pandangan kepada Kristus yang senantiasa setia mengasihi mereka. Maka satu hal yang patut kita renungkan pada saat ini adalah apakah kita telah sungguh-sungguh menyadari, menghayati dan meresapi kasih Kristus bagi kita? Percayalah bahwa itulah sumber yang darinya kita menimba kekuatan dan penghiburan yang tiada habisnya untuk senantiasa saling mengasihi.

Hal lain yang menurut saya membuat perintah saling mengasihi dalam Injil Yohanes terasa baru adalah konteks sebelum dan sesudah kisah tersebut dipaparkan. Sebelumnya, dikisahkan tentang Yudas Iskariot yang pergi meninggalkan Yesus dan yang kemudian akan mengkhianatinya. Sesudahnya, dikisahkan tentang peringatan kepada Petrus yang akan menyangkal Yesus tiga kali. Yudas Iskariot dan Petrus adalah orang-orang yang berada bersama Yesus sejak awal pelayanan-Nya. Mereka telah mengalami dan merasakan suka-duka hidup bersama, setidaknya dalam tiga tahun belakangan. Namun, ternyata mereka berdua akan melukai Yesus dengan pengkhianatan yang pahit. Petrus tidak lebih baik dari Yudas Iskariot. Demikian pula, para murid lain tidak lebih baik dari Yudas Iskariot dan Petrus. Mereka semua, baik langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam pengkhianatan terhadap Sang Guru yang mengasihi mereka. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan dari dikhianati oleh orang yang dikasihi. Dalam situasi semacam ini, Injil Yohanes kembali menggemakan perkataan Sang Guru: “kamu harus saling mengasihi.”

Konteks di atas, cukup kental dengan nuansa emosional. Perasaan kita mestinya terusik ketika mendengar “kisah tragis” ini dipaparkan kembali. Di sini, kita perlu mengoreksi pandangan-pandangan yang mengesankan bahwa perasaan dan emosi tidaklah penting dalam saling mengasihi. Saya rasa, yang terjadi justru sebaliknya: perasaan dan emosi itu penting untuk diperhatikan dalam saling mengasihi. Orang sering menuduh perasaan dan emosi itu irasional. Kata mereka, kita mesti rasional. Namun, dalam praktik kita menyaksikan banyak yang terjadi justru irasional. Lalu mereka membela diri dengan berbagai alasan dan penjelasan; suatu upaya merasionalisasi yang irasional. Betapa absurdnya! (lebih gamblang: masalah like and dislike, suka dan tidak suka, terbilang kronis dalam kehidupan bersama. Mulai dari yang diekspresikan dengan blak-blakan, sampai dengan yang diselubungi dengan hal-hal yang rasional! Yang terakhir ini rawan dengan ketidak-tulusan dan kemunafikan). Maka, daripada mengabaikan perasaan dan emosi, lebih baik kita belajar menerimanya. Pelajaran bagi kita adalah kalau kita hendak saling mengasihi, pentinglah menyadari, menerima dan menata sedemikian rupa perasaan dan emosi kita.

Akhirnya, perintah saling mengasihi juga terasa baru karena dalam Injil Yohanes yang ditekankan adalah saling mengasihi di antara para murid. Di sini ada kesan eksklusif. Di sisi lain, dalam Kisah Para Rasul, ada kesan inklusif: Petrus (dan kemudian juga jemaat mula-mula) bergerak keluar dari eksklusivisme tradisi Yahudi dengan menerima Kornelius yang orang bukan Yahudi. Bagi saya, dalam kadar tertentu sikap eksklusif bisa diterima, apalagi kalau itu memang merupakan bagian dari dinamika perkembangan identitas diri yang khas. Yang haram adalah manakala sikap eksklusif hanya membuat kita menutup diri terhadap yang lain. Kalau kita menutup diri terhadap yang lain, bagaimana kita hendak saling mengasihi?

Bila kita memaknai Injil Yohanes bersama-sama dengan Kisah Para Rasul, maka sikap inklusif -- saling mengasihi dalam semangat keterbukaan -- mesti diterapkan pertama-tama di dalam komunitas para murid Kristus. Harap diperhatikan bahwa Kisah Para Rasul 11:1-18 pertama-tama soal pertanggung-jawaban Petrus kepada jemaat di Yerusalem. Dalam konteks ini keterbukaan berkaitan dengan kesediaan jemaat yang mau mendengarkan penjelasan Petrus. Itulah sebabnya, saya tidak mau buru-buru mengaitkan makna teks ini dengan soal keterbukaan terhadap agama-agama lain. Wong, di dalam gereja saja kita masih sulit membuka diri terhadap saudara-saudari seiman…  Ya, bukankah dalam kenyataan kita menyaksikan bahwa dalam gereja, yang adalah komunitas para murid Kristus, selalu ada kecenderungan menutup diri? Perhatikanlah mulai dari kelompok-kelompok sampai dengan kubu-kubu yang ada di dalam gereja. Tidak jarang mereka kental dengan sikap “elit-isme” yang pongah, merasa diri yang paling hebat dan suka merendahkan yang lain. Dengan sikap demikian, jangankan saling mengasihi, mereka malah cenderung bentrok satu sama lain, dan tidak jarang menimbulkan perpecahan yang menyedihkan. Maka, tinggallah sebuah pertanyaan untuk kita renungkan: adakah kita sungguh rindu agar kita dapat saling mengasihi? Kalau ya, sebuah langkah awal yang dapat kita tempuh adalah mengobarkan semangat keterbukaan terhadap yang lain. Salah satu hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk itu adalah kesediaan untuk mendengarkan yang lain dengan rendah hati. Mari kita memulainya dengan saudara-saudari seiman.

Hari ini kita masih berada dalam masa Paskah, perayaan akan kebangkitan Kristus. Saling mengasihi dan Paskah berkaitan erat. Di satu sisi, Paskah adalah kemenangan kehidupan atas kebinasaan. Di sisi lain, saling mengasihi merupakan tindakan yang “menyuburkan” kehidupan. Syukur kepada Allah atas anugerah kehidupan dan kasih! (rrb)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar