Jumat, 12 Oktober 2012

SUKACITA MELAYANI?[1]

Ungkapan “sukacita melayani” sering kita dengarkan di gereja. Sepintas, orang-orang mengucapkan ungkapan ini dengan nada yang positif. Namun, kalau dilihat dengan lebih teliti, maka akan tampak bahwa ungkapan tersebut lebih sering merupakan “lip service” ketimbang keyakinan yang kebenarannya dihayati di dalam sikap hidup dan tindakan. Patutlah kita bertanya dengan tulus: benarkah ada yang disebut “sukacita melayani” itu? Seandainya memang benar ada, lantas mengapa rasa-rasanya sulit sekali menemukan orang-orang yang mau melayani di gereja? Mengapa sulit sekali menemukan orang-orang yang mau menjadi penatua atau pengurus komisi atau panitia kegiatan-kegiatan gerejawi? Atau perhatikanlah bagaimana reaksi orang-orang yang pernah mengambil bagian dalam pelayan gerejawi, entah sebagai penatua, pengurus komisi atau bahkan pendeta sekalipun. Berapa banyak di antara mereka yang menghela nafas panjang, tanda kelegaan, ketika masa jabatannya telah berakhir?

Orang di gereja suka mengatakan tentang “sukacita me-layani”, namun dalam praktik saya menyaksikan mereka lebih “suka di-layani”. Perhatikanlah bagaimana jemaat sering menuntut  penatua di dalam membuat dan melaksanakan progam-program gerejawi. Tuntutan tersebut lebih sering berkaitan dengan kepuasan dan kesenangan pribadi ketimbang peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Jemaat cenderung merasa berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik. Tidak hanya itu, tuntutan mereka juga kental dengan nafsu konsumtif.  Tidak heran, kalau pada akhirnya pelayanan keluar (diakonia) sangat minim. Mereka melupakan bahwa sebenarnya mereka semua juga turut dipanggil untuk melayani di tengah-tengah dunia sebagai tanda nyata cinta kasih Allah bagi segala makhluk. Selain itu, perhatikanlah pula pola tingkah para pelayan gerejawi. Kalau jemaat menuntut penatua untuk melayani, pada gilirannya penatua menuntut pendeta dan pengurus komisi untuk melayani, akhirnya pendeta dan pengurus komisi menuntut  karyawan gereja untuk melayani. Di dalam suasana tuntut-menuntut seperti ini, sama sekali tidak terasa sukacita. Yang ada hanyalah beban yang menyesakkan. Dengan mulut, orang suka mengatakan tentang “sukacita me-layani”, namun dalam praktik, pemahaman dan penghayatan yang operatif adalah “sukacita di-layani”. Memang, rasa-rasanya ungkapan “sukacita di-layani” lebih masuk akal ketimbang “sukacita me-layani”. Siapa sih yang tidak senang di-layani? Siapa pula yang mau me-layani?     

Jika demikian, sebenarnya banyak orang di gereja yang tidak memahami dengan baik makna ungkapan “sukacita melayani”. Kalau paham saja tidak, lalu bagaimana mereka hendak menghayati dan melakukannya? Itulah sebabnya, saya menduga bahwa mereka yang suka mengatakan ungkapan tersebut, sangat mungkin mereka itu orang yang “latah” alias ikut-ikutan.[2]  Namun, sekaligus kenyataan ini menuntut kita untuk menegaskan kembali makna ungkapan “sukacita melayani”. Jika tidak, jangan-jangan kita juga termasuk orang yang “latah”.

Saya meyakini bahwa ada kebenaran yang terkandung di dalam ungkapan “sukacita melayani”. Kebenaran tersebut tampaknya tidak lagi familiar bahkan cenderung ditolak oleh masyarakat yang telah dirasuki oleh budaya konsumtif yang akut. Di tengah-tengah masyarakat semacam ini orang cenderung merasa senang ketika di-layani dan mengeluh ketika me-layani. Pada titik ini, perspektif iman Kristen memberikan sebuah pandangan tandingan, yakni bahwa sukacita lebih dari sekedar kesenangan pribadi[3] dan bahwa sukacita tidak mustahil terjadi di tengah-tengah keluhan dan penderitaan hidup.[4] Perspektif ini sebenarnya bukan suatu hal yang asing bagi pengalaman keseharian kita. Orang yang melayani dengan sukacita memang ada. Perhatikanlah, orang yang mau repot-repot membelikan hadiah untuk kekasihnya. Atau perhatikanlah orang tua yang mau repot-repot merawat dan mengasuh anaknya. Mereka mau repot-repot untuk “melayani” demi orang-orang  yang mereka kasihi. Tidak hanya itu, mereka juga melakukannya dengan sukacita. Mungkin ada saat-saat di mana mereka mengeluh, tetapi itu tidak serta-merta berarti sukacita mereka telah lenyap. Sebaliknya, di tengah-tengah keluh-kesah yang mendera, sesekali mereka masih bisa tersenyum. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tidak lain karena cinta kasih yang sedang memenuhi hidup mereka. Orang yang hidupnya dipenuhi dengan cinta kasih secara alamiah berusaha memberikan yang terbaik kepada yang lain. Lebih jauh, ia juga bersukacita ketika dapat memberikan yang terbaik kepada yang lain.   

Jadi, “sukacita melayani” itu (hanya) mungkin ketika hidup kita dipenuhi dengan cinta kasih. Ini merupakan pemahaman yang mendasar di dalam pelayanan kristiani. Pemahaman ini mencegah kita untuk mereduksi makna pelayanan sekedar sebagai salah satu kegiatan gerejawi yang harus dilakukan.  Lebih lanjut, pemahaman ini juga menegaskan bahwa pelayanan lahir dari hidup yang dipenuhi dengan cinta kasih. Di sini, spiritualitas sang pelayan merupakan hal yang esensial. Seorang pelayan yang baik senantiasa membangun relasi dengan Tuhan, Sang Sumber Cinta Kasih yang sejati.  Hanya dengan demikian, hidupnya dipenuhi dengan cinta kasih yang akan memampukannya untuk melayani sesama dengan sukacita. Tertulis, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (I Yohanes 4:19)



[1] Ide tulisan ini saya kembangkan dari renungan yang saya sampaikan di acara perjamuan kasih sekaligus perpisahan saya dengan GKI Nusukan Pos Jemaat Mojosongo, Solo pada tanggal 27 September 2012.    
[2] Semua hal yang saya paparkan sejauh ini tentulah lebih merupakan hasil dari pengalaman pribadi yang subjektif dan generalisasi (yang berlebihan).
[3] Bnd. Kontras yang dipaparkan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia. Rasul Paulus mengatakan bahwa “pesta pora” merupakan salah satu perbuatan daging, sedang “sukacita” merupakan salah satu buah Roh (Galatia 5:21, 22).
[4] Bnd. I Tesalonika 1:6

6 komentar:

  1. Tulisan yang inspiratif buat saya. Hehehehe....

    Btw, Saya punya komentar tentang penggunaan terminologi yang dipakai oleh penulis (abis ga diberi nama/inisial). Menurut saya, istilah "majelis"yang dipakai di sini kurang tepat. Terminologi majelis merujuk pada badan, bukan penatua. Bandingkan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Anggotanya disebut anggota MPR. Begitu juga dengan Majelis GKI Nusukan, anggotanya adalah penatua dan pendeta.

    salam,
    ems

    BalasHapus
  2. haha, saya juga pernah kejedot ama terminologi itu.
    "sukacita melayani" tentu tidak bisa kita pisahkan dari kebutuhan manusia akan dilayani. melayani dan dilayani bisa berjalan berbarengan mewujudkan terwujud "saling melayani". yang kadang terjadi di gereja adalah "kebutuhan" dilayani lebih besar ketimbang melayani. bisa jadi ini diakibatkan oleh pemahaman dasar kehidupan bergereja yang sudah terpupuk sejak dulu.

    assalam,
    BBL

    BalasHapus
  3. thx untuk komen nya... iya nih, lupa menuliskan inisial..soal terminologi majelis. Betul yg ems katakan. Dalam tulisan di atas saya telah mencoba membedakan penggunaan terminologi penatua dan majelis. Misalnya, dalam paragraf pertama saya menggunakan terminologi penatua. Namun dalam paragraf kedua dengan sengaja saya menggunakan terminologi majelis. Maksud saya adalah hendak menunjuk kepada aspek kepemimpinan kolektif-nya. Bukankah penanggung-jawab program-program gerejawi adalah majelis?

    salam,
    rrb

    BalasHapus
  4. Betul RRB, tapi koq saya masih bingung yah dengan penggunaan terminologi yang dirimu pakai. Coba perhatikan paragraf ke-2, baris ke-12 dari bawah sampe akhir paragraf ke-2. Dapatkan Sdr. RRB menjelaskannya untuk saya dan pembaca lainnya?

    salam,
    ems

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang mestinya saya memberikan penjelasan pada catatan kaki. Harus saya akui bahwa dalam paragraf ke-2 saya mengalami situasi dilematis dalam menggunakan terminologi penatua atau majelis. Kita berbicara tentang "keputusan majelis" bukan "keputusan penatua". Meskipun demikian, secara implisit memang maksud saya dalam terminologi "majelis" yang dominan adalah "penatua". Tentu saja ini merupakan generalisasi... pada akhirnya saya merasa lebih "safe" mengganti terminologi "majelis" dengan terminologi "penatua" pada paragraf ke-2(sudah saya lakukan). Dalam hal ini saya tidak merasa keliru 100 persen (ngeyel.com..hehehe). Harus diakui bahwa dalam praktik sering terjadi kelirumologi. Kalau orang menyalahkan majelis, biasanya implisit yang dimaksud adalah kelompok penatua. Tentu menarik untuk meneliti berapa banyak kelirumologi ini terjadi... di waktu akan datang saya berharap dapat membuat sebuah tulisan yang membahas tentang kelirumologi, hubungan terminologi dan makna.

      sekian.

      rrb

      Hapus
  5. mungkin setelah tulisan "ngawurisme" yang diangkat oleh BBL, perlu juga menulis tentang "ngeyelisme". Hahaha, rrb lah jagonya kalau soal ngeyelisme. wkwkwkwk... peace bro...

    ems

    BalasHapus