Adrien Brody,
pemenang Academy Awards berperan sebagai seorang guru pengganti yang bernama
Henry Barthes, untuk menghindari keterikatan emosi atau kedekatan dengan kolega
maupun dengan murid-muridnya ia menghindari mengajar di satu sekolah terlalu
lama. Film ini memenangkan beberapa penghargaan di antaranya, Best Artistic
Contribution Award di Jepang, Audience Award for Best Foreign Language Film di
Brazil dan Best Picture di Belgium.
Secara melankolis film ini menggambarkan setiap
orang mempunyai masalah. Masing-masing murid, Kepala Sekolah, guru dan keluarga
mereka mempunyai permasalahan yang rumit. Ketika pihak sekolah mengadakan
“Malam Orangtua”, tidak ada satupun orangtua murid yang hadir. Dingin dan
sangat menyedihkan. Setiap karakter didepiksi dalam kondisi depresi, burn-out,
kekeringan, kehilangan, stress, lelah, letih, lesu, merasa tidak ada yang
peduli, tidak ada yang memperhatikan. Atau sebut saja jiwa-jiwa yang hilang dan
lelah di dunia yang rumit. “A lost and tired soul in a complex world”.
Film ini juga
menggambarkan bagaimana ingatan masa lalu meningkatkan intensitas amarah dan
menimbulkan ledakan emosi pada seseorang. Dalam narasinya, Barthes mengatakan, “We
all have problems. Someday we are better than others. Someday we have limited
space for others”. Setiap kita mempunyai masalah. Ada saatnya kita lebih
baik dari orang lain tetapi ada saatnya kita mempunyai ruang yang terbatas buat
sesama.
Ada seorang guru yang
setiap harinya berdiri dengan sedih berpegangan pada pagar besi lapangan
basket. Suatu ketika ketika Barthes mendekati, ia menanyakan kabar guru
tersebut. Guru tersebut merasa terkejut karena ia telah dilihat dan
diperhatikan. Meredith, murid Barthes berkata kepada Barthes, “Ketika engkau
melihat saya, saya merasakan engkau benar-benar melihat saya.” Kesibukan
dan kompleksitas membuat manusia menjadi buta, tidak melihat. Hari-hari
pertemuan dan interaksi terjadi tetapi “tidak melihat”. Barthes berkata, “I
am a nonperson. You shouldn’t be here, I am not here. You may see me but I am
hollow.” Mungkin kita nampak, tetapi kita tidak melihat. Mungkin kita
melihat tetapi kita tidak memperhatikan. Di zaman yang sangat mementingkan
komoditas, manusia menjadikan dirinya seperti barang dengan dengan daftar spesifikasi.
Sehingga manusia berhenti melihat sesama manusia melainkan manusia melihat
manusia sebagai barang atau komoditas. Dengan kata lain, “we see but not
see”, kita melihat tetapi tidak melihat. Tony Kaye, sutradara film
melukiskan hubungan manusia yang sudah semakin renggang (menjauh dari
sesama) tetapi tetap rindu untuk tetap terhubung. Erich Fromm di dalam
bukunya The Art of Being menulis “modern man is a mass man, he is highly
“socialized,” but he is very lonely.”[1]
Barthes mengajarkan
murid-muridnya tentang “ubiquitous assimilation” yakni manusia menerima apa
saja dari setiap tempat setiap saat. Salah satu pemikiran yang manusia pegang
adalah tetap mempercayai kebohongan walaupun menyadari ketidakbenarannya
misalnya, “I need to be pretty to be happy, I need to have surgery to be
pretty, I need to be thin, famous, fashionable and successful”. Serangan
iklan-iklan pemasaran seperti ini, disebut Barthes sebagai “the marketing
holocaust”. Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam hidup ini manusia terikat
akan banyak hal dan kemudian terpisah dengan dirinya sendiri – “we attach
ourselves to many things and eventually we are detached from ourselves.”
Film ini diawali dengan mengutip dari Albert Camus, “and never have I felt
so deeply at one and the same time so detach from myself and so present in the
world”. Plot utama film ini mengisahkan Barthes yang harus menghadapi
murid-murid bermasalah, guru-guru bermasalah, kepala sekolah bermasalah,
seorang yang baru dia kenal di bus yang juga bermasalah, serta masih dihantui
oleh trauma masa kecilnya yang menyangkut ibu dan kakeknya. Film ini memaparkan
“life is full of problems”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar