Sabtu, 20 Oktober 2012

Serving My Best: Mengupayakan Pelayanan yang Optimal

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tantangan di dalam kehidupan bergereja adalah semangat melayani yang semakin menurun. Keengganan anggota-anggota jemaat untuk melibatkan diri di dalam pelayanan gerejawi merupakan salah satu indikasi terjadinya hal ini. Tidak mengherankan kalau salah satu topik pembinaan gerejawi yang sering dibahas berkaitan dengan membangun semangat melayani. Asumsinya, kalau para peserta pembinaan dapat memiliki semangat melayani yang baik, maka tentulah mereka juga akan mampu mengupayakan pelayanan gerejawi yang optimal.

Dalam setahun belakangan ini, setidaknya telah dua kali saya diminta untuk memberikan materi pembinaan yang bertujuan untuk membangun semangat melayani di komisi remaja dan pemuda. Sebenarnya, saya juga bingung hendak menyiapkan materi yang seperti apa. Meskipun (saya rasa) sebelumnya saya pernah mengikuti pembinaan gerejawi dengan topik semacam itu, saya masih juga belum memiliki gambaran yang jelas tentang bagaimana membangun semangat melayani. Paling banter saya hanya bisa mengolah materi tersebut berdasarkan pengalaman pribadi. Padahal pengalaman pribadi saya masih sangat minim dan saya harus mengakui juga bahwa saya sendiri masih suka angin-anginan di dalam pelayanan. J

Dalam menyiapkan materi tersebut saya mulai dengan upaya untuk memahami konteks jemaat. Jalan pintas yang saya tempuh untuk mencapai hal ini adalah dengan menanyakan kepada para pengurus komisi apa yang merupakan pergumulan mereka. Namun, ternyata mereka pun sulit menjelaskan apa yang sedang mereka alami. Yang mereka tahu adalah bahwa saat ini semangat melayani di komisi pemuda/remaja sedang menurun. Dengan informasi yang sangat terbatas tersebut, saya pun cenderung berspekulasi. Yang jelas, saya tidak ingin memberikan materi yang “hanya” berupa ceramah, renungan, khotbah atau semacamnya. Selain itu, dalam benak saya yang penting adalah bagaimana agar dapat memberikan materi yang menarik. Di sini, patut disayangkan, masalah relevansi tidak lagi menjadi perhatian utama.

Dalam kesempatan pertama, materi yang saya berikan lebih merupakan penjelasan tentang beberapa bentuk pelayanan gerejawi yang disertai dengan sharing dan latihan-latihan (misalnya: bagaimana menjadi lektor yang baik, bagaimana menjadi pemandu liturgi, dst.). Dibalik materi tersebut ada asumsi bahwa yang membuat mereka enggan adalah kebingungan untuk memulai melibatkan diri di dalam pelayanan gerejawi. Itulah sebabnya, penting untuk memperkenalkan kepada mereka bentuk-bentuk pelayanan gerejawi yang di dalamnya mereka dapat melibatkan diri.[1] Sedang dalam kesempatan kedua, materi yang saya berikan lebih merupakan upaya memotivasi para peserta agar bersemangat di dalam pelayanan gerejawi. Adapun pokok-pokok yang saya sampaikan antara lain: sharing dari orang-orang yang dianggap paling aktif di dalam pelayanan gerejawi, kiat-kiat memotivasi diri sendiri, dan akhirnya refleksi singkat tentang pelayanan gerejawi sebagai panggilan untuk mengikut Kristus. Sayang, dalam kedua kesempatan tersebut saya tidak menyiapkan lembar evaluasi. Akibatnya, saya tidak mengetahui apakah materi-materi tersebut “menjawab” kebutuhan mereka atau tidak.

Pengalaman-pengalaman tersebut mendorong saya untuk menggali lagi pemahaman-pemahaman yang berkaitan dengan topik pelayanan gerejawi. Belum lama ini saya membaca buku yang berjudul Serving My Best karangan Bruce Bugbee (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2010)[2]. Dalam uraiannya, Bugbee menjelaskan tentang profil pelayanan. Profil pelayanan setiap pribadi berkaitan dengan tiga hal, yakni: karunia rohani, gaya kepribadian dan bidang keterbebanan (passion). Ketiganya perlu dikenali dengan baik kalau kita hendak mengupayakan pelayanan yang optimal. Selain itu, Bugbee juga memberikan tes praktis untuk mengetahui kira-kira karunia rohani dan gaya kepribadian macam apa yang kita miliki. (untuk tes online bisa diakses di http://glorianet.org/pptlib/smb/karuniaroh2.php dan http://glorianet.org/pptlib/smb/kepribadian.php). Dengan memahami kerangka uraian Bugbee ini, saya semakin menyadari bahwa selama ini pandangan saya cenderung terpaku hanya kepada satu aspek saja, yakni pada bidang keterbebanan (passion). Meskipun apa yang dipaparkan Bugbee ini menarik, namun saya curiga dengan tes praktis karunia-karunia Roh yang disusunnya. Sangat mungkin hal ini dikarenakan adanya perbedaan pemahaman teologis tentang karunia-karunia Roh. Kesan saya, pemahaman Bugbee tentang karunia-karunia Roh terbatas hanya kepada apa yang tertulis di dalam Alkitab. Hal ini tentu bisa diperdebatkan. Namun, hingga saat ini saya berpandangan bahwa Roh Kudus sebagai Roh yang kreatif mampu berkarya melampaui apa yang tertulis di dalam Alkitab.

Lebih lanjut, upaya yang dilakukan Bugbee ini dapat dibandingkan dengan paparan Rick Warren tentang konsep SHAPE di dalam bukunya, The Purpose Driven Life (Grand Rapids: Zondervan, 2002; Terjemahan Indonesia oleh Paulus Adiwijaya, Malang: Penerbit Gandum Mas, 2009, cetakan ke-28)[3]. SHAPE merupakan akronim dari Spiritual gifts (karunia-karunia Roh), Heart (hati), Abilities (kemampuan), Personality (kepribadian), Experience (pengalaman). Warren menguraikan pokok ini dalam tiga bab (bab 30-32). Tampak bahwa ada lima aspek yang diajukan oleh Warren. Tiga di antaranya juga disebutkan oleh Bugbee. Namun, masih ada dua hal yang ditambahkan Warren, yakni kemampuan (Abilities)[4] dan pengalaman (Experience). Hal lain yang membedakan pandangan Bugbee dan Warren adalah bahwa tampaknya Warren tidak terlalu optimis dengan penggunaan tes-tes praktis. Warren berpandangan, “Cara terbaik untuk menemukan karunia-karunia dan kemampuan-kemampuan Anda adalah melakukan percobaan dengan berbagai bidang pelayanan.” (hlm. 274-275).[5]

Tentu menarik untuk menjajaki lebih lanjut pandangan Bugbee dan Warren. Namun saya memilih untuk mencukupkannya sampai di sini. Saya ingin segera mengakhiri tulisan ini dengan memaparkan dua komentar penutup.

Pertama, menurut saya baik pandangan Bugbee maupun Warren cenderung bergerak di tataran individual-personal. Ini merupakan masukan yang berharga bagi pemahaman gereja-gereja Protestan pada umumnya. Saya bisa keliru, namun saya memiliki kesan yang kuat bahwa pandangan gereja-gereja Protestan tentang pelayanan gerejawi yang optimal cenderung bergerak di tataran komunal-organisasional. Akibatnya, perhatian kepada individu-individu kurang optimal bahkan bukan tidak mungkin mereka diperlakukan seakan-akan sebagai makhluk-makhluk anonim. Padahal individu-individu itulah yang merupakan subjek pelayanan gerejawi. Mereka adalah kawan sekerja Allah di dalam pelayanan kasih. Meskipun begitu, kita juga mesti mewaspadai agar pelayanan gerejawi jangan sampai menjadi sedemikian individualistik.        

Kedua, pemahaman dan pengenalan konteks penting untuk mengupayakan pelayanan yang optimal. Konteks mencakup pengalaman individual sampai dengan konteks budaya. Kalau kita menemukan adanya gejala semangat melayani yang semakin menurun, maka kita mesti menyadari bahwa penyebabnya bukan hanya soal kemalasan atau kalau merujuk kepada tulisan saya yang sebelumnya, “mentalitas suka di-layani ketimbang me-layani”. Di sini kita juga harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan krusial yang berkaitan dengan konteks. Maka, penelitian dan pemahaman yang baik atas konteks penting untuk dilakukan. Ironisnya, proses inilah yang sering diabaikan atau “dilompati”. (rrb)




[1] Saya memahami hal membangun semangat bukan hanya soal memulihkan motivasi yang lemah atau mengobarkan antusiasme di dalam diri para peserta. Ini bukan hanya soal memulihkan kondisi psikis-emosional yang sedang dilanda kebosanan/kejenuhan. Kita perlu menggali lebih lanjut apa yang sesungguhnya merupakan akar persoalan yang menyebabkan semangat pelayanan para peserta menurun. Jika tidak demikian, besar kemungkinan para peserta tampak begitu bersemangat dan termotivasi hanya selama masa pembinaan berlangsung. Ketika pembinaan telah selesai, semangat dan motivasi mereka pun “selesai”.
[2] Judul ini tampaknya merupakan parafrase dari judul aslinya: What You Do Best in the Body of Christ (Grand Rapids: Zondervan, 2008).
[3] Bnd. Erik Rees, S.H.A.P.E: Finding and Fulfilling Your Unique Purpose for Life (Grand Rapids: Zondervan, 2008). Rees juga melayani sebagai gembala di Gereja Saddleback, gereja yang sama dengan Rick Warren.
[4] Yang dimaksud kemampuan (Abilities) adalah bakat alamiah atau yang juga sering disebut “talenta”. Tampaknya Warren mengikuti pandangan yang membedakan antara bakat alamiah/talenta dengan karunia Roh. Semua orang dianugerahi bakat alamiah/talenta tetapi hanya orang yang percaya kepada Kristus yang dianugerahi karunia Roh.

[5] Lebih lanjut Warren juga mengatakan, “Banyak buku memahami proses penemuan itu [yakni karunia rohani dan kemampuan] secara terbalik. Mereka mengatakan, “Temukan karunia rohani Anda dan kemudian Anda akan tahu pelayanan apa yang seharusnya Anda miliki. Sebenarnya hal tersebut berlaku sebaliknya.” (hlm. 275)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar