Rabu, 17 Oktober 2012

"Ngawurisme"


“Ngawurisme”[1]
Tulisan ini bukanlah tulisan baru. Tulisan ini juga bukan ngecipris ngalor- ngidul tok.[2] Saya mencoba menghadirkan sebuah tulisan yang dapat merangsang teman-teman untuk  berfikir dalam rangka menghargai pikiran. Ngawurisme adalah tulisan yang sudah ada di blog saya yang kemudian dikembangkan sesuai kebutuhan kita, para kader.

Masih segar ingatanku tentang lagu Sujiwo Tedjo yang berjudul “Pada suatu ketika” dan “Zaman Edan”. Sebuah suguhan musik yang tidak biasa dengan lirik yang sangat menarik. Sujiwo tedjo, seorang dalang asal Jember, lulusan ITB dan pernah menjadi wartawan ini membuat lirik yang sarat dengan kehidupan manusia yang penuh kekacauan dan kemunafikan. Semua yang “berbau” dia membuat penulis semakin tertarik untuk belajar dari “gerak-geriknya” di kancah pergulatan dunia untuk menemukan sebuah kebenaran demi keadilan dan kesejahteraan penghuninya (walaupun belum sepenuhnya penulis dapatkan). Dalam lirik lagu “pada suatu ketika” ia ingin atau lebih tepatnya berharap dalam doanya agar segala kekacauan dan korban jiwa akibat ketidakadilan semakin berkurang, karena saat ini adalah “zaman edan” yang penuh dengan tangisan, pertenggkaran dan sikut-menyikut satu dengan yang lain demi kepentingan masing-masing. Kata demi kata disatukannya menjadi sebuah lirik lagu yang berasal dari sebuah permenungan atas realita yang tidak lagi terlihat indah ini. Dunia yang penuh dengan tipu mulihat dan semakin gersangnya makna persaudaraan dan toleransi. Dalam buku maupun pernyataannya dalam pertemuan-pertemuan membuat ia menjadi orang yang tidak biasa. Ia sepertinya merasa bebas dan perlu untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap dunia melalui kata-katanya yang seringkali pedas dan menggelitik pendengar dan pembacanya. Mungkin dunia yang penuh kebencian ini membutuhkan orang-orang yang keras menyuarakan ketidakadilan demi keadilan sebab sudah sangat sulit untuk menyadarkan sebagian orang dalam dunia ini dengan hanya tegoran dan kritikan. Menurut penulis ia tidak selalu salah. Di dalam waktu yang terus berubah ini banyak cara untuk menyadarkan orang yang sudah jauh jatuh ke dalam lobang angkara murka. Tentu yang dimaksud bukan menghalalkan segala cara. Dalam berbagai perubahan itu Sujiwo Tejo muncul dalam salah satu masa, yang ia sebut zaman edan, sebagai bagian dari eksistensinya. Ia hadir melihat berbagai macam perubahan dan berbagai perubahan itu pun turut membentuk cara berfikirnya untuk menanggapi perubahan itu. Sebab, perubahan itu tidak selalu baik bagi sebuah masa yang di dalamnya manusia tidak bisa menerima perubahan itu (zaman edan). Contohnya, perubahan moral yang bisa dikatakan semakin rusak akibat dari berbagai aspek. Perubahan moral itu menghadirkan manusia yang tega untuk mencekik saudara sebangsanya sendiri melalui korupsi, kolusi dan nepotisme. Jika dihubungkan dengan teori-teori budayaan maka perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini sesungguhnya bukanlah keadaan yang harus disesalkan atau bahkan dihancurkan. Tetapi perlu diwaspadai bahwa tidak semua perubahan itu baik dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tempus mutantur, et nos mutamur in illid.[3] Ini sebuah kalimat pertama yang terlihat di pendahuluan sebuah buku yang berjudul Teori-Teori Kebudayaan. Arti dari kalimat ini adalah waktu berubah, dan kita (ikut) berubah di dalamnya. Di dalam waktu yang terus berjalan itu, manusia sebagai salah satu pelaku proses melakukan berbagai macam aktifitas yang terus berubah. Dalam berbagai aktifitas itu, manusia terus berjalan mengekspresikan dirinya dalam bentuk aktualisasi diri sesuai dengan perjalanan waktu yang terus berjalan. Manusia itu akan selalu mencoba “menempatkan dirinya” dalam setiap perubahan. Baik dalam cara berfikir, mencipta, kebutuhan, menanggapi,  maupun cara berhubungan dengan orang lain. Kenyataannya, banyak orang “menempatkan diri” dalam setiap perubahan, yang membuatnya menghalalkan segala cara agar dapat menunjukkan eksistensinya dalam setiap perubahan. Contohnya, dunia yang semakin modern, dengan teknologi canggih, budaya konsumeris yang semakin marak, membuat banyak orang tergoda untuk dapat eksis di dunia yang serba canggih dan boros itu. Agar seseorang bisa eksis di dunia yang canggih itu maka cara yang dilakukan adalah meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, mengendalikan orang lain dengan berbagai aturan atau “kebijakan”, hingga mengambil uang atau materi orang lain (korupsi). Munculnya perubahan demi perubahan tidak serta membuat seluruh manusia setuju dengan perubahan itu. Salah satu yang mengkritik isi dari perubahan itu adalah Sujiwo Tejo. Ia pun hadir, mengkritik banyak hal yang menurutnya tidak menghadirkan keadilan bagi masyarakat. Sesudah ia memunculkan istilah dengan sebutan Jancuk, ia memunculkan istilah baru lagi dengan sebutan Ngawurisme. Dalam kedua istilah itu ia pun menjelaskan alasan dari segala ide yang muncul. Penulis mencoba mempraktekkan yang dikatakannya dalam Jancuk pada sebuah komunikasi bersama seorang teman yang berasal dari Jember. Dalam komunikasi yang sangat akrab, aku berkata kepadanya “ayo cari makan cuk” dan “njancuk keren banget karyamu”, ia tidak akan marah. Tetapi jika dalam suatu waktu yang komunikasi sedang kacau atau pun sedang ada masalah dalam pertemanan maka ketika aku berkata “njancuk, aku tidak suka dengan gayamu” maka ia menjawab “koe sing njancuk” sebagai pertanda membalikkan cacian. Dari sini penulis belajar tentang sebuah kata yang sarat makna dan pemakaiannya dalam berbagai konteks dan waktu. Walaupun dengan kesadaran penuh penulis belum sepenuhnya mengerti akan arti kata itu. Bisa jadi karena latarbelakang budaya dan kontekslah membuat kurang bisa memahaminya dengan lebih baik. Tetapi bukan itu yang menjadi intinya walaupun sangat mempengaruhi. Disini penulis melihat berbagai kebenaran yang bisa disetujui dan tidak disetujui orang lain. Kebenaran-kebenaran itu tidak bisa dilepaskan dari budaya yang menggunakannya karena budaya[4] juga turut ambil bagian dalam pola pikir seseorang.

Dalam bukunya yang berjudul “Ngawur karena benar”, penulis melihat sesuatu yang berbeda dari yang lain. Yang membuat penulis tertarik adalah karena ia tidak suka yang biasa. Menurutnya banyak hal yang dianggap biasa, dan pada kenyataannya menjadi sebuah kebiasaan yang teryata sebuah kepalsuan. Oleh Karena itulah dibutuhkan keberanian untuk memunculkan kengawuran yang kadang menyebalkan. Semua itu dilakukannya untuk membongkar segala kemunafikan dan kepalsuan yang mengatasnamakan kebenaran. Ia mengungkapkan bahwa “berani karena benar” sudah tidak spesial lagi dan menggantikannya dengan “ngawur karena benar”. Alasannya, karena jurus-jurus lain yang katanya sistematis, santun dan berbudi pekerti sudah tidak manjur lagi alias mentok. Penyebabnya karena “berani karena benar” itu hanya kedok untuk menutup kepalsuan dnegan tertata, sopan dan bertata karma. Ia menambahkan “ketika semua itu telah menjadi kebiasaan, maka dibutuhkan ngawurisme untuk menghacurkan kepalsuan itu.

Ngawurisme muncul bukan hanya sekedar meramaikan situasi yang sedang “memanas”. Istilah ini muncul sebagai bagian dari keprihatinan melihat situasi yang katanya sudah tertata dengan berbagai aturan ternyata penuh dengan kepalsuan. Ngawurisme memakai cara urakan untuk menyuarakan aspirasi maupun kritikannya. Menurut Sujiwo Tejo, urakan merupakan langkah yang melanggar aturan termasuk aturan berfikir demi mengikuti hati nurani.[5] Walaupun ia urakan, ide-idenya bukanlah hanya untuk sekedar melanggar sebuah aturan melainkan menurut penulis, ia mencoba keluar dari “zona aman” dengan caranya yang sedikit tidak diterima oleh orang-orang yang sudah biasa hidup dalam aturan ataupun “kekakuan dalam berfikir”. Menurut penulis, ini juga merupakan sebuah prinsip yaitu berani keluar dari “zona aman” yang sesungguhnya tidak nyaman. Berani keluar dari kebiasaan aturan yang telah di selimuti kepalsuan. Sujiwo Tejo mengambil contoh dalam kehidupan suami istri. Menurutnya, banyak orang dalam hubungan suami istri lebih senang dengan kata “bohong” daripada “gagal”. Penyebabnya, suami-istri yang gagal kerap dinilai tidak menjaga kehormatan keluarga besar.

“banyak pasangan ngotot dan ngoyo mempertahankan formalitas hubungan suami-istri. Bila perlu dengan berbohong secara apa pun. Semua demi tak disebut gagal berumah-tangga.”[6]

Bohong lebih kejam dari gagal. Mungkin kita pernah mendengar: “bukan kegagalanmu yang aku sesali, tetapi kebohonganmulah yang membuatku kecewa”. Disinilah Sujiwo tejo mencoba menabrak batas normal yang sudah biasa, menjadi kebiasaan, dengan penuh kepalsuan. Contoh lain dari ngawurisme adalah ketika adanya gerakan sejuta Facebooker untuk mendukung Bibit dan Chandra, gerakan nyaris semiliar koin buat Prita, dan meratanya demo nasalah kasus Bank Century. Perubahan moral yang tidak sesuai dengan suatu masa membangkitkan gairah manusia untuk mendobrak aturan yang ada untuk mewujudkan sebuah keadilan. Jelas, cara itu tidak ada dalam aturan Negara maupun yang disepakati komunitas. Ngawurisme muncul bukan dari kebenaran-kebenaran abstrak maupun kebenaran yang telah disepakati oleh segelintir peguasa. Ngawurisme hadir dari kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat sehingga memunculkan “pemberontakan” atas segala yang katanya melindungi ternyata penuh kepalsuan. Manusia tidak terlalu mengindahkan segala aturan dan tata cara lagi. Cara lain, yang disebutnya ngawurisme hadir sebagai bentuk kekuatan masyarakat untuk keluar dari kepalsuan. Kekuatan untuk membuang kepalsuan itu bukan berasal dari luar melainkan dari energi internal, masyarakat itu sendiri.

Banyak hal yang dapat direnungkan dari ngawurisme ini. Salah satunya adalah pentingnya berfikir kritis terhadap segala situasi yang ada, aturan maupun “kebijakan”. Semua itu dilakukan bukan dalam rangka “mengotak-ngatik” sebuah kebijakan tanpa alasan, bukan juga bentuk provokasi yang tidak mendasar. Tetapi berani mengungkapkan kebenaran adalah sebuah keharusan yang harus dilakukan setiap insan (baca: kader). Dengan keyakinan itulah kita harus tetap menjunjung integritas untuk mewujudkan sebuah perubahan dari aturan-aturan yang tidak “sehat” ke arah yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi. Apa hubungannya dengan gereja dan kader?

Gereja merupakan persekutuan umat beriman yang bersama-sama menjaga tatanan moral demi terwujudkan damai sejahtera. Tatanan moral itu di dasarkan pada Yesus yang mengajarkan cara bertingkah laku. Tetapi seringkali aturan atau kebiasaan moral itu hanya sebatas kebiasaan yang harus dilakukan gereja. Bukan karena panggilannya tetapi lebih kepada sebuah kesepakan agar terlihat identitas gereja. Apakah semua itu murni? Tentu sulit untuk menjawabnya. Jika melihat dari pengalaman penulis, banyak ajaran moral itu hanya sebatas ajaran yang tidak “mendarat”. Salah satu penyebabnya adalah pengajaran kebenaran-kebenaran yang abstrak yang tidak sungguh-sungguh menyentuh hati dan pikiran jemaat. Kadang kala seorang pendeta “kurang berani” merefleksikan firman dengan kenyataan kehidupan bergereja, yang kemudian mengutarakannya kepada jemaat. Mengapa? Banyak yang takut melanggar tata moral, dan takut akan konsekuensi dari perkataannya.

Sesungguhnya tidak sulit untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh Sujiwo Tejo. Seorang teolog seharusnya sudah dapat berfikir kritis atas setiap pergumulan dirinya dan jemaat. Jadi menurut penulis masalahnya bukan hanya berfikir kritis, melainkan adanya ketakutan akan konsekuensi dari pemikiran yang kritis itu. ketakutan para pendeta “melanggar” sebuah aturan bukan semata-mata karena takut keluar dari zona aman melainkan yang ditakuti adalah akibat-akibat dari keberanian berfikir kritis. Seorang kader seharusnya di bentuk menjadi hamba yang “bebas”. Dalam artian bahwa segala tingkah lakunya harus terus menuju tingkah laku yang ditunjukkan oleh Yesus sang pembebas. Dalam konteks ini, penulis juga melihat bahwa Yesus juga melakukan kengawuran dalam kesehariannya. Ia disebut ngawur oleh orang-orang disekitarnya. Mulai dari orang-orang Yahudi hingga murid-murid yang selalu bersamanya. Ia berani membongkar kepalsuan dari segala aturan yang dibuat/disepakati sebagian  masyarakat. Ketika orang-orang sepakat untuk tidak melayani di hari sabat, Yesus “menabrak” aturan itu. Ketika orang-orang mencibir pemungut cukai dan perempuan sundal, Ia datang dan melakukan perjamuan di rumah Zakheus.  Ketika kebenaran itu tidak sungguh-sungguh sebuah kebenaran, Yesus muncul dalam realita dan menggoncangkan kepalsuan itu. Apa konsekuensinya? Ia di caci, hingga dibunuh. Seperti ini jugalah yang seringkali bergejolak dalam hati seorang gembala di gereja. Konsekuensi yang sangat sangat berat bagi seorang manusia yang rapuh. Ketidakberanian membongkar kepalsuan itu mengakibatkan para gembala seperti kerbau yang hidungnya ditusuk. Mengikuti segala aturan yang kadakala hati nurati berontak. Menjadi seorang pendeta yang “manis di bibir” bukanlah hamba yang diinginkan Yesus. Menjadi pendeta yang “keras bersuara” tanpa dasar juga bukan hamba yang diinginkan Yesus. Menjadi pendeta yang penuh kepalsuan dalam aturan yang palsu bukanlah hamba yang diinginkan Yesus. Ia ingin agar pengikutNya bisa “bebas”. Bebas mengabarkan kabar baik dari Tuhan. Disinilah dibutuhkan integritas seorang hamba. Sekali lagi, itu bukan hal yang mudah karena banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan. Ngawurisme hanya salah satu cara berfikir ala Sujiwo tejo. Tetapi hendaknya para kader mengerti tujuan panggilannya agar tidak hanyut menjadi seorang yang penuh kepalsuan ditengah-tengah aturan dan kekuasaan. Ada ketakutan dalam diri penulis, pada suatu saat, Yesus berkata kepada para kader: “(Yoh. 6:67) Apakah kamu tidak mau pergi juga?”[7]

Salam dari Yogyakarta
BBL



[1]   Ini adalah istilah terbaru dari Sujiwo Tejo. Sebelumnya ia membuat istilah Njancuk. Sujiwo tejo, Ngawur Karena Benar, Depok: Umania, 2012.
[2] Berbicara sesuatu yang tidak ada artinya.
[3] Ed. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
[4] Penulis mengambil pengertian kebudayaan (culture) dari pengamatan Raymond Williams yang diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia dan sikap-perlaku pribadi lewat pembelajaran. Kemudian berkembang  menjadi sebuah pemahaman seseorang disebut berbudaya atau tidak berbudaya. Juga seperti yang dikatakan Kroeber sebagai defenisi normative: budaya adalah aturan  atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan konkret. Dalam Teori-Teori Kebudayaan.
[5] Menurut KBBI, urakan berarti berlaku atau bertindak seperti tidak ada aturan maupun bertingkah laku kurang sopan atau seenaknya. Kurang ajar berarti tidak sopan, tidak tahu sopan santun. Menurut Sujiwo Tejo, kurang ajar merupakan langkah seseorang yang melanggar aturan hanya demi melanggar.
[6] Sujiwo tejo,  Ngawur Karena Benar, Depok: Umania, 2012.

[7] Konteks: Yesus mengajarkan tentang Roti Hidup, tetapi orang Yahudi dan para murid tidak bisa menerima ajaran itu sehingga banyak orang yang undur dari tempat itu. Yesus tidak ingin memiliki murid yang “melempem” dan tidak percaya akan kekuatan Yesus, sehingga ia bertanya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Sebagai bentuk teguran sekaligus menantang kesetiaan para murid. 

9 komentar:

  1. Dear BBL,

    Tulisan yang sangat inspiratif, menyentuh konteks. Terutama pada 3 paragraf terakhir. Pertanyaannya adalah bagaimana melakukan "ngawurisme" yang benar dalam konteks 3 paragraf terakhir? Apa yang bisa dirimu lakukan sehingga "kengawuran" itu berbuahkan dampak positif? Jangan sampai "kengawuran" kita hanya membuat kita menjadi pahlawan yang gagal karena tergilas zaman edan.

    wassalam

    BalasHapus
  2. BBL,
    tulisanmu memang benar-benar inspiratif, saya pernah baca tulisannya sujiwo tejo dan juga mengoleksi lagu-lagunya. bagi saya dia memang orang yang nyentrik, kenyentrikkannya bukan hanya perkara tampilan luar namun juga sikap hidupnya.
    Dan memang sebaiknya setiap orang yang kamu katakan sebagai akder dan bahkan pendeta wajib untuk menjadi hamba yang bebas. Walaupun dalam banyak yang saya amati, yang terjadi adalah ketika sudah ada dalam skema organisasi dan kekuasaan yang kadangkala atau bahkan seringkali sarat pencitraan, orang cenderung memilih untuk ikut arus. Suatu ketika saya pernah mendiskusikan ini dengan seorang kakak tingkat saya yang sekarang sudah penya tambahan pdt di depannya, dia bilang bahwa tidak mudah untuk bisa bebas dalam skema organisasi yang sarat kepentingan, dia menambahkan apalagi di gereja yang banyak orang berduitnya, lebih susah lagi. Saya tidak tahu apakah memang selalu demikian atau itu hanya curcolnya dia saja.Lamat-lamat saya berpikir, apakah selalu organisasi dan orang-orang berduit di dalamnya menjadi momok yang membatasi kreatifitas dan membungkam integritas kita...
    Maka ketika saya membaca tulisan Joko Pekik, saya tersadar. Joko Pekik mengatakan bahwa dalam hidup ini kita mestilah menjadi "watu ireng" alias batu hitam yang tidak pernah terbawa arus sungai sekalipun arus sungai itu selalu berubah-ubah, dia tetaplah watu ireng yang teguh hati. DAn memang pilihan untuk menjadi watu ireng yang ntegritasnya tak tergoyahkan adalah sebuah pilihan yang bisa dibilang "nyentrik", dan "nggiwar" alias berpikir lateral, karena orang-orang demikian akan berpikir bukan hanya dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, dia akan membebaskan pikirannya menjelajah kawaan-kawasan kemungkinan lain yang belum terpikirkan selama ini.
    DAn saya mengakui dengan jujur saya merasa sangat beruntung pernah bertemu dengan orang sepertiitu dalam jejak pelayanan saya. Dia seorang pdt yang dalam karya pelayanan dan pemikirannya selalu nyeleneh tetapi bukan tanpa dasar. Dia menjadikan gerejanya gereja yang terbuka bagi setiap orang, maka dalam moment-moment tertentu gereja menjadi tempat untuk berdiskusi aneka macam topik, gereja juga berani membaptis seorang waria yang lulus katekisasi. Bagi saya langkah-langkah yang dia buat memang tergolong berani, dan tentu saja menuai kritik tajam di sana sini, namun yang salut dari orang tersebut adalah keberaniannya untuk menjadi "ngawur" yang benar dan memanusiakan manusia.

    itu saja sharing dari saya...


    hyachinthoides

    BalasHapus
  3. trimakasih teman2 atas kekritisannya dan sharingnya. yang sungguh-sungguh harus kita akui bahwa melakukan sesuatu yang "ngawur" bukanlah yang mudah. dengan dasar ini kita tahu kelemahan dan kekurangan serta konteks kita berpijak (apa dan siapa). tetapi bukan karena alasan itu kita tidak bisa "bebas" berfikir kritis dan melakukan kengawuran. melakukan "ngawue" yang benar juga demikian. tentu kita akan berhadapan dengan kebenaran yang mana yang akan kita pakai. menurut saya, kebenaran yang bisa kita pakai adalah kebenaran yang membawa keadilan, bermanfaat bagi perkembangan gereja, membwa pemahaman yang yang baik bagi jemaat (dengan asumsi ada yang salah dengan kekakuan dalam jemaat), dan tentu dengan pertanggungjawban sebagai teolog. memang jawban ini masih bisa dipertanyakan. contoh saja: mengenai cara berpakain calon pendeta. kader, mahasisiwa praktek. saya pernah mendengar bahwa mahasisiwa praktek ditegor karena memakai celana jeans dan memakai celana pendek saat keluar kamar. sebenarnya ini, jika memakai kebenaran saya, tentu bukan pemahaman yang benar atau bisa jadi karena adanya pembentukan pencitraan dari seorang calon pendeta. itu hanya contoh kecil. sharing di atas sudah membuat contoh dengan keberanian untuk membaptis seorang waria. tentu pendeta itu memiliki dasar yang kuat. ketika seseorang termajinalkan karena sesuatu kebenaran yang tidak mendasar, disana jugalah "ngawurisme harus muncul. itu dulu penjelasan dari saya. terimakasih.

    BalasHapus
  4. Yup, jangan sampe kader-kader ini mirip dengan orang-orang farisi yang pake pencintraan. Pencitraan juga dikritik oleh TYK. wkwkwkwk... Dia mengkritik orang-orang farisi yang berdoa di simpang jalan. Begitu juga dengan TYK yang mungkin akan mengkritik orang-orang yang hatinya busuk tapi berdoa, berkhotbah dan sok suci di dinding fb dan twitter (maklum sekarang di simpang jalan udah ga zaman, lebih zaman di fb). wkwkwkwkw...

    BalasHapus
  5. Pertanyaanku: apakah pencitraan selalu bermakna negatif? Apakah pencitraan identik dg kemunafikan? Apakah kedua terminologi tsb sinonim? Tentang org Farisi, kurasa yg dikritik Tuhan Yesus secara eksplisit adl soal kemunafikan (bnd. Matius 23:1-36). Menurutku pencitraan tidak selalu bermakna negatif. Berpakaian rapi agar menimbulkan kesan baik dalam pandangan orang lain/jemaat tidak ada salahnya dilakukan dan dg demikian tidak otomatis kena-mengena dg kemunafikan. Yg jadi persoalan adalah ketika soal "etiket" tsb dicampur-adukkan dg soal "etika" (yakni suatu hal yg lebih mendasar). Ketika pencitraan dianggap sedemikian penting, maka upaya pencitraan dapat mengarah kepada kemunafikan. Inilah yg mesti dikritisi dan diwaspadai. Bukan pencitraan yg mendasar. Yg mendasar adalah integritas. Pada gilirannya, menurutku, mengupayakan integritas yg baik pun tidak lepas dari upaya pencitraan.

    rrb

    BalasHapus
  6. Dear rrb,

    Saya menyoroti pencitraan orang farisi dalam hubungannya dengan alasan dasar mengapa mereka melakukan pencitraan. Tokh mereka munafik sehingga mereka melakukan pencitraan. Bukankah ada banyak capen/pendeta yang meng-update status facebook yang baik-baik agar dicitrakan sebagai orang baik? Padahal di dalam hatinya tersimpan kebusukan dan kejahatan. Bukankah ada pendeta/capen yang berpakaian rapi karena ingin dihormati jemaat?

    Bagi saya kalau memang dia mau update status yang rohaniah karena memang hatinya tulus dan bersih, ya kenapa tidak? Kalau dia memang mau berpakaian rapi karena memang dia menghayati identitasnya sebagai hamba Allah yang bersahaja, kenapa tidak? Bagi saya, tindakkan yang seperti ini bukan pencitraan karena keluar dari lubuk hati yang terdalam.

    Jadi mari kita mendiskusikan makna pencitraan itu apa? hehehehehe... apakah pemahaman kita pada pencitraan itu sama? (btw, perlu sama ga yah pemahamannya? wkwkwkwkw)

    ems.

    BalasHapus
  7. Ems yg baik,

    Apa iya semua orang Farisi itu munafik? Sejauh yg kuketahui Farisi tidak sama dg munafik. Itu adalah stigma yg dikenakan kepada mereka. Demikian juga dg capen/pdt yg meng-update status mereka dg yg baik2 atau yg rohaniah. Apa iya pencitraan tsb mengarah kepada kemunafikan? atau menggunakan pola pikirmu: pencitraan tsb akibat kemunafikan mereka??

    Kesanku, dirimu mengidentikkan "pencitraan" dg "kemunafikan". Tetapi silahkan cek di KBBI, kedua istilah tersebut bukanlah sinonim. (Lagi pula ada kemungkinan istilah "pencitraan" bukanlah istilah yg baku). Cek pula pandangan dalam bidang2 lain seperti Sosiologi, Psikologi, Komunikasi, dst.

    Aku cenderung tidak mengidentikkan "pencitraan" dg "kemunafikan". Misalnya, tendensi orang pada umumnya adalah menampilkan diri sebagai "orang yg baik". Tidaklah umum orang yg suka menampilkan kekurangan/kelemahannya. Ini sebenarnya termasuk upaya pencitraan. Dalam bidang marketing, pencitraan perlu untuk menarik konsumen. Promosi atau iklan merupakan bagian dari upaya pencitraan. Demikian juga paparanmu dalam paragraf kedua. Itu termasuk pencitraan, tetapi BUKAN kemunafikan.

    Kesanku, yg menjadi ukuran untuk "hal yg bukan pencitraan" adalah yg keluar dari lubuk hati (ungkapan "lubuk hati yang terdalam" adalah pleonasme). Namun, menurutku ini merupakan ukuran yg terlalu sempit. Misalnya, aku tidak senang memakai jas. Namun karena aku akan menghadiri acara formal, akhirnya dengan berat hati aku memakai jas. Ini bukan soal kemunafikan, tetapi soal pencitraan. Kalau aku berkeras tidak memakai jas, kemungkinan besar orang lain akan menganggapku orang yg tidak tahu etiket. Aku bisa saja tidak peduli apa kata orang, namun bukan berarti persoalannya selesai.

    Tegasnya, menurutku pencitraan tidak selalu dilakukan karena kemunafikan.

    rrb

    BalasHapus
  8. haha smakin seru aja ne perbincangan. memang seringkali pencitraan dihubingkan dengan yang yang negatif. nah, terlebih dahulu,sebelum menilai orang lain melakukan pencitraan yang negatif, alangkah baiknya jika itu mengarah ke fakta bukan opini yang dibangun melalui stigma negatif. mari kita mulai dengan pemahaman dasar menganai apa itu pencitraan. tetapi sebenarnya tidak terlalu perlu karena "apa adanya" tidak selalu baik. mengapa? karena kita sudah dilahirkan diantara orang-orang yang membangun norma sebgai pengikatnya. artinya pencitraan perlu dibangun sebagai bagian dari persekutuan dalam komunitas. jadi, menurutku, pencitraan itu sah-sah saja. semua itu dilakukan dengan dasar untuk kebaikan bersama, tidak kehilangan jati diri serta memiliki dasar yang baik bagi perkembangan dan pemahaman komunal.
    sekian dulu dari kota istimewa
    salam, BBL

    BalasHapus
  9. Dear BBL dan RRB yang sama-sama baik,

    Hahahaha.... Sudah-sudah jangan kepanasan diskusinya, bisa bahaya. Ntar kebakaran lage. hehehe....
    Berhubung terminologi pencitraan belum jelas, bagaimana kalau kita mengusulkan kepada para ahli bahasa untuk mengadakan rapat untuk menimbang apakah kata pencitraan perlu dibakukan dalam kamus. Hahahahahhaa ngawang-ngawang.com. Btw, kamus juga menunjukkan sebuah tirani mayoritas ga sich? wkwkkwkwkwkw.... dengan penentu bahasa adalah orang-orang tertentu. ngelantur.com

    Anyway, senang berdiskusi dengan kalian. Pada akhirnya walau kesimpulan kita beragam, ndak masalah toooo? Khan pluralitas coooy...

    salam,
    ems

    BalasHapus