Senin, 01 Oktober 2012

Corat-coret di penghujung masa praktik....



Hal yang paling mengesankan bagiku di setiap pengujung masa praktik di jemaat adalah ketika berjumpa dengan mereka yang secara ekonomi tergolong kurang mampu, namun begitu memperhatikanku. Hal ini bukan kualami sekali saja, tapi kualami berkali-kali. Dalam tulisan ini, aku akan menceritakan dua pengalamanku berkaitan dengan hal ini. Anggaplah ini hanya sekadar corat-coret di akhir masa praktik.
Beberapa bulan lalu, saat aku mengakhiri masa praktek di Surabaya, hadiah pertama yang kudapatkan adalah dari seorang nenek tua renta yang tidak punya rumah. Dia menelepon HP-ku dari telepon umum dan mengatakan bahwa ia menitipkan sebuah bingkisan untukku di pos satpam beberapa jam yang lalu. Aku turun dan mengambil hadiah darinya. Dia memberi sebuah taplak yang tampaknya sudah lama ia simpan. Aku tidak menilai barangnya, tapi aku sangat tersentuh dengan apa yang ia lakukan. Aku tahu tidak mudah baginya untuk pergi ke gereja dan menitipkan kado itu untukku. Dia harus berjalan sangat jauh dari rumah kosnya dengan kondisi kaki yang pincang.
Pagi ini, di penghujung masa praktikku di Temanggung, seorang laki-laki tua, datang ke tempat tinggalku. Dia rupanya sudah mencari saya sejak hari Minggu yang lalu, namun ia tidak dapat menjumpaiku. Dia sudah memperhatikanku sejak saya pertama datang ke sini. Dia datang membawa sebuah bungkusan. Dari bungkusnya, aku menebak bahwa yang ia ingin berikan adalah sebuah buku. Dia berkata, “Aku memberikan ini karena aku tahu gembala kecil ini senang membeli buku”. Aku terenyuh karena dia ternyata tahu bahwa aku sangat suka mengoleksi buku. Padahal intensitas pertemuanku dengannya tidak terlalu sering. Dalam keterbatasannya, dia menyisihkan uangnya untuk membelikan sebuah buku untukku.
Mungkin akan ada pengalaman-pengalaman lain seperti ini yang akan menyusul (pe-de banget deh gw!). Namun, bagiku pengalaman-pengalaman ini mengingatkanku akan dua hal. Pertama, perhatikanlah mereka yang benar-benar membutuhkan uluran tangan kita. Sejauh mana program-program gereja diarahkan pada mereka yang tak mampu. Cintailah mereka dengan segenap hati kita. Lakukanlah yang terbaik untuk mereka, seperti untuk Tuhan. Kedua, pancarkanlah ketulusan seperti mereka yang telah memancarkan ketulusan di dalam keterbatasannya. Dari mereka jugalah aku belajar tentang arti ketulusan dan kasih. Kiranya para pemimpin juga belajar untuk menjadi pemimpin yang tulus dan penuh kasih seperti mereka. Jangan menjadi pemimpin yang memiliki hati zombie dan bertangan besi. Hehehehehe....
emsiseyar

1 komentar:

  1. bagi2 dunk hadiahnya...wkwkwk
    tentang penggunaan istilah: aku, saya, atau gw... yg konsisten dunk :) -rrb

    BalasHapus