Rabu, 19 September 2012

BER-PA DENGAN 

PENDEKATAN “TANGGAPAN PEMBACA” 

(READER RESPONSE)


Berikut ini saya paparkan refleksi atas pengalaman memandu PA (Pemahaman Alkitab) di salah satu kelompok PA GKI Nusukan, Solo sekitar tiga bulan yang lalu. Menarik bahwa kelompok PA ini dibentuk berdasarkan kesamaan profesi para anggotanya (yang adalah para pedagang) bukan berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Upaya ini merupakan ide baru yang dirancang oleh majelis jemaat GKI Nusukan. Saya tidak tahu ke depannya apa yang akan terjadi, namun yang jelas hingga saat ini memang baru ada satu kelompok PA semacam itu. Selebihnya, kelompok-kelompok PA lain masih berdasarkan wilayah.

Saya mendapatkan pengalaman yang menarik ketika memandu di kelompok PA “baru” tersebut. Setelah menerima informasi bahwa biasanya PA di kelompok tersebut cenderung interaktif (bukan sekedar renungan satu arah), saya pun mencoba menerapkan pendekatan “tanggapan pembaca”. Saya tidak menyusun sebuah teks bahan PA yang sudah baku. Saya sekedar menyiapkan beberapa informasi dasar tentang teks yang dibahas. Perlu diketahui bahwa informasi dasar tersebut tidak langsung saya sampaikan ketika PA dimulai. Daripada memulai dari sudut pandang yang cenderung objektif, saya cenderung memulai dari sudut pandang yang cenderung subjektif: bukan pertama-tama dari saya, melainkan dari para peserta PA. Untuk itu pertama-tama kami membaca teks Alkitab secara bergiliran sebanyak dua kali. Kali yang pertama, masing-masing membaca sebanyak dua ayat. Kali yang kedua, masing-masing membaca sebanyak satu ayat dengan tempo pembacaan yang lebih lambat dari sebelumnya. Setelah itu, masing-masing peserta diberi kesempatan untuk memikirkan dan merenungkan dua pertanyaan sederhana, yakni: 1) Apa yang dibahas teks secara umum? 2) Apakah ada ayat atau kata-kata di dalam teks yang menarik perhatian? Mengapa demikian?

Teks yang dibahas adalah Markus 13:1-13. Sebagaimana keterangan yang dicantumkan LAI, secara umum teks tersebut berbicara tentang akhir zaman. Wacana tentang akhir zaman biasanya memancing keingin-tahuan orang untuk berspekulasi kapan itu akan terjadi. Kesan saya, di awal PA hal ini memang sempat terjadi. Saya sendiri sudah siap-siap membahas tentang isu kiamat di akhir tahun 2012 ini. Namun perkembangan selanjutnya sungguh di luar dugaan. Seiring dengan hasil sharing dari para peserta, pembahasan tidak lagi terpaku kepada spekulasi kapan akan kiamat. Lebih jauh dari itu, kami menemukan bahwa ternyata teks juga mengandung makna lain yang relevan dengan situasi jemaat pada masa kini. Ada dua makna penting yang kami kembangkan: tentang pentingnya kewaspadaan dan penghiburan oleh Roh Kudus ketika ‘hari itu’ tiba. Lebih lanjut, kedua makna tersebut dibahas penerapannya di dalam kasus-kasus konkret yang terjadi di sekitar kita. Sungguh menarik dan terasa sangat membumi.

Dari proses PA tersebut, perhatikanlah bahwa telah terjadi pergeseran dari soal KAPAN akhir zaman akan terjadi kepada soal BAGAIMANA mengantisipasi terjadinya akhir zaman. Di dalam teks Markus 13:1-13 hal ini cenderung menjadi aspek yang tersirat. Aspek tersurat yang ditangkap pembaca pada umumnya adalah bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menandai KAPAN akhir zaman itu akan terjadi. Padahal secara tersirat paparan peristiwa-peristiwa tersebut bersifat antisipatif. Bukankah sesuatu yang akan terjadi diberitahukan terlebih dahulu agar para pendengar dapat mengantisipasinya?

Saya pulang dari kegiatan PA tersebut sebagai orang yang turut menerima pencerahan dan inspirasi. Sebenarnya, dalam PA tersebut telah terjadi proses kegiatan menafsir dan memaknai teks Alkitab secara bersama-sama, baik melalui wawasan maupun pengalaman pribadi masing-masing peserta. Saya sebagai seorang yang belajar ilmu Teologi bertugas lebih sebagai fasilitator yang sekaligus membantu mengartikulasikan proses pemaknaan bersama yang dilakukan oleh para peserta.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa situasi di atas masih tergolong langka. Sebagian (besar) jemaat yang lain masih cenderung sebagai pendengar pasif, sedang sebagian lagi cenderung menjadi kritikus-kritikus yang agresif terhadap si pemandu PA. Namun, saya rasa kita punya PR (Pekerjaan Rumah) yang mesti diselesaikan, yakni mendampingi jemaat untuk melakukan refleksi atas imannya (= berteologi) secara mandiri. Masa setelah bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun mereka mendengarkan khotbah, renungan dan ceramah masih saja belum mampu berefleksi?...  Repotnya adalah ketika kita menyaksikan masih banyak pendeta yang enggan berefleksi… what an irony! (rrb)

2 komentar:

  1. bagaimana dengan persamaan profesi itu? apakah pembahasan PA selalu dibawa kepada konteks profesi atau tidak??

    BBL

    BalasHapus
  2. seingat saya, ketika itu pembahasan PA tidak selalu dibawa kepada konteks profesi (dagang). Agak aneh juga. Mungkin ada kecenderungan untuk memisahkan antara urusan pekerjaan dan urusan iman.. tentu menarik untuk meneliti lebih lanjut dinamika kelompok PA tsb. Sayang, selama berada di GKI Nusukan, tidak banyak kesempatan yang saya peroleh untuk memandu PA di kelompok PA tsb.

    BalasHapus