SWOT dan SOAR
Tulisan berikut terinpirasi dari artikel KOMPASKLASIKA, Sabtu, 6 Agustus 2011 yang berjudul “Mentalitas Elang”, oleh Eileen Rachman dan Sylvina Savitri.
Pokok tentang Pembangunan Jemaat (PJ) ternyata merupakan satu hal yang menarik. Dulu ketika masih kuliah, saya tidak terlalu tertarik dengan bidang ini. Namun ketika saya membaca kembali buku-buku tentang PJ ternyata bahasannya cukup menarik. Misalnya, menarik untuk membandingkan teori metode 5 faktor ala Jan Hendriks dan teori PJ ala Hooijdonk. Ada banyak teori PJ dan semua teori PJ itu dapat menjadi wacana dan bahan bagi kita dalam ber-PJ dengan baik.
PJ tidak lepas dari berorganisasi dan satu hal yang penting dalam berorganisasi adalah membentuk dan memimpin team work secara efektif. Untuk itu setiap anggota tim perlu memahami dengan baik siapa dirinya. Satu alat yang biasanya digunakan adalah analisis SWOT (Strenghth-Weakness-Opportunity-Threat). Dengan analisis ini diharapkan agar para anggota memahami dengan baik kekuatan dan kelemahannya serta peluang dan ancamannya. Semuanya itu bersifat potensial, baik potensi positif maupun negatif. Tentunya diharapkan agar potensi-potensi positif itu (kekuatan, peluang) dimaksimalkan, sedang potensi-potensi negatif (kelemahan, ancaman) diminimalkan.
Namun tampaknya analisis SWOT kini mulai menjadi “barang” klasik.[1] Sebuah konsep “baru” telah diciptakan dan belakangan ini semakin banyak orang yang menyorotinya. Konsep itu disebut SOAR (Strengths-Opportunity-Aspiration-Result). Berbeda dengan analisis SWOT yang memperhitungkan baik potensi-potensi positif maupun negatif, konsep SOAR lebih berfokus pada potensi-potensi positif.
Dari perspektif tertentu, dapat dikatakan bahwa analisis SWOT cenderung berorientasi pada problem solving. Jadi, pemetaan potensi-potensi positif dan negatif dalam diri diupayakan dalam rangka penyelesaian masalah secara efektif. Kritik yang diajukan terhadap orientasi demikian ini adalah fokus yang berlebihan terhadap masalah. Padahal masalah akan selalu ada dan muncul dari waktu ke waktu. Jika demikian, kita hanya akan sibuk mengurusi masalah-masalah yang ada dan tidak akan pernah dapat meraih cita-cita kita. Itulah sebabnya, dalam konsep SOAR fokus tersebut hendak digeser. Konsep SOAR cenderung berorientasi pada appreciative inquiry. Fokusnya adalah meraih cita-cita dan mewujudkan aspirasi/”mimpi” bersama serta hasil yang nyata. Untuk itu, segala potensi positif dalam diri dikerahkan dan dimaksimalkan. Jadi, dalam konsep SOAR kita menemukan ada semacam tahapan-tahapan: dimulai dengan pengenalan potensi-potensi positif yang dimiliki baik sebagai individu maupun tim, dilanjutkan dengan proses perumusan aspirasi/”mimpi” bersama potensial yang dapat diupayakan dari pengolahan potensi-potensi positif yang dimiliki dan terakhir, pencapaian/perwujudan hasil. Pertanyaannya adalah bagaimana potensi negatif dan masalah disikapi dalam konsep SOAR? Sejauh ini saya belum menemukan penjelasan tentang hal tersebut...
Menurut saya, terlalu beresiko kalau kita terlalu sibuk “mengejar mimpi”, lalu mengabaikan masalah riil yang ada di hadapan kita. Sebagai penganut paham keseimbangan, saya cenderung berpandangan begini: tempatkanlah “masalah” dan “mimpi” pada porsinya masing-masing secara seimbang. (rrb)
[1] Tentu saja hal ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang telah menggunakannya. Saya menduga, masih banyak gereja yang asing dengan analisis SWOT. Jangankan memakai analisis SWOT, pembentukan team work pun masih terbilang langka. Tampaknya banyak organisasi gereja yang dijalankan hanya sebatas pada tataran birokrasi ketimbang team work.
Saya hanya memberikan perspektif pembanding dari sebuah pengalaman observasi di salah satu gereja "besar" di Jakarta. Jemaat ini menyusun visi-misi dan renstranya dengan campuran metode kualitatif dan kuantitatif dengan melihat SwOT. Dalam metode FGD yg digunakan, umat ditanyakan tentang kelemahan jemaat tersebut. Apa yang kurang dari jemaat tersebut. Pada saat melakukan observasi, saya bertanya pada salah seorang pendeta di tempat itu, "Mengapa harus beranjak dari kelemahan?"
BalasHapusPendeta ini menjawab, "Manusia punya kecenderungan untuk melihat aspek negatif lebih banyak daripada yang positif, maka kita manfaatkan kecenderungan ini."
Semoga kisah ini dapat menjadi sebuah perspektif bandingan. Kalau tokh sesuatu yang negatif itu dapat digunakan untuk sesuatu yang positif, why not?
ems
menurut saya, SWOT maupun SOAR sama-sama memiliki tujuan yang sama: memajukan gereja. tetapi perlu disadari bahwa kedua medote itu hanyalah langkah awal. sebab ketika kita telah mengetahui kelemahan, kekuatan dan peluang, kita juga harus mengaduknya dengan ilmu-ilmu yang lain, yang tentunya tidak kehilangan konteks (atau teologi dari bawah). dalam artian bahwa sesuatu yang disebut positif ataupun peluang, belum tentu cocok dengan konteks. saya setuju dengna pendapt yang diatas, jika yang negatif itu bisa menjadi peluang dan cocok dikembangkan untuk konteks tertentu, mengapa tidak??
BalasHapusBBL
Kedua komen di atas menurut saya berkaitan. Pertama, mau dikatakan bahwa yg disebut "positif" dan "negatif" itu relatif adanya. Mungkin saja yg "negatif" itu dapat digunakan untuk sesuatu yg "positif". Kedua, bahwa ukuran yg "positif" dan "negatif" itu adl konteks. Yg disebut "positif" itu belum tentu cocok dg konteks. Dg demikian, klo tidak cocok dg konteks justru menjadi "negatif" (?).
BalasHapusMenurut saya, ini masih "cocok" dg kerangka berpikir SOAR. Patut dicatat bahwa belum tentu SOAR disusun dg kerangka berpikir dikotomis-dualistik (either or). Inti SOAR adl mengerahkan potensi yg ada untuk mencapai hasil yg diharapkan. Dalam hal ini, hal "negatif" pun dianggap "positif" ketika berpotensi untuk mencapai hasil yg diharapkan. Kecenderungan ini yg membedakan SOAR dg SWOT. Dalam SWOT, hal "negatif" cenderung dieliminisir.
salam,
rrb