Senin, 21 Januari 2013

LES MISERABLES



Les Miserables (2012) diangkat dari Novel Perancis 1862 karya Victor Hugo. Film ini mengundang banyak pujian sekaligus kritik. Ada yang mengkritik bahwa film ini menghadirkan pemeran yang berpura-pura menjadi penyanyi sehingga film ini pantas disebut sebagai “singing miserable”. Umumnya, orang-orang berpendapat bahwa nyanyian Russel Crowe mengecewakan mereka. Saya memilih untuk merenungkan lirik lagu daripada memperhatikan apakah mereka bernyanyi dengan baik atau tidak.

Film ini dipenuhi dengan tema-tema Kristen seperti kasih karunia, anugerah, pengampunan, keadilan dan kasih. Salah satu kalimat dari film tersebut sudah menyimpulkan semangat Kekristenan yakni “to love another person is to see the face of God”. Semangat mengasihi sesama dapat dibaca di Matius 25.31-46. Yakub pernah berkata kepada Esau, “melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah” (Kejadian 33.10).

Film musikal tersebut berfokus pada seorang yang bernama Jean Valjean (Hugh Jackman) yang dipenjara selama 19 tahun akibat mencuri sepotong roti pada masa kecilnya demi menolong adik perempuannya yang sakit. Demi memerankan Jean Valjean pada masa perbudakannya, Hugh Jackman harus menguruskan badan dan kemudian harus menambah berat badan untuk memerankan Jean Valjean sebagai walikota. Jean Valjean hidup dalam kepahitan selama di penjara. Lagu “look down” yang dinyanyikan sangat pesimis – sebagian dari liriknya menyanyikan,

”Look down, look down, don’t look them in the eyes, you’re here until you die…, sweet Jesus doesn’t care. They have all forgotten you. How long o, Lord before you let me die? You will always be a slave. You are standing on your grave.”
Sebuah lagu yang menyanyikan keputusasaan, hidup tanpa arti, sebab hidup ini bagaikan budak yang tidak mempunyai kebebasan. Tuhan tidak peduli, sudah dilupakan dan ditinggalkan. Tiada kebebasan sebab manusia sudah berdiri di dalam kuburannya sendiri. Lihatlah ke bawah, sudah tidak ada pengharapan lagi. Sekali pencuri, selamanya pencuri. Sekali berdosa, selamanya pendosa, tidak ada anugerah, tidak ada pengampunan, tidak ada penebusan, tidak ada pengampunan. Setelah melewati satu hari kita hanya menjadi lebih tua sehari. Inilah hidup sebagai seorang miskin, seorang pendosa. Tidak ada yang memperhatikan, tidak ada yang mengasihi, tidak ada yang peduli. Lewat sehari berarti mengurangi penderitaan sehari. Hasil jerih payah tidak cukup untuk membiayai hidup. Manusia tidak berharga apabila mereka miskin. Inilah teriakan orang yang menderita.

Fantine (Anne Hathway) menyanyikan “I dream a dream” bahwa hidupnya telah dirampas, bahwa hidup ini telah membunuh impiannya. Anaknya sakit, ia tidak diterima semua rekan kerjanya, ia dipecat dari pekerjaannya. Kini ia harus melacurkan diri demi membiayai hidupnya.  Dan di tengah penderitaan, ada saja orang-orang yang mencari kesempatan dalam kesempitan untuk merusak kehidupan orang lain dan meraup keuntungan dari orang lain. Santa Clause pun dirusak oleh mereka.

Javert (Russel Crowe) merupakan seorang penegak hukum yang tegas. Hidupnya mewakili hukum dan dirinya adalah hukum. Menurut Javert “jalanku merupakan jalan Tuhan”. Ia bekerja keras untuk menangkap Valjean dan menjatuhkan hukuman padanya. Ia juga ingin menangkap dan menghukum Fantine. Inilah dirinya sebagai penegak hukum. Bagi dirinya Javert hanya seorang narapidana yang bernomor 24601. Bagi dirinya manusia hanya berupa sebuah objek, sebuah label, sebuah angka. Ia membaca Alkitab dan melakukan kebenaran tetapi ia tidak melihat wajah Tuhan di dalam diri sesama sebab ia telah mengobjektivasi manusia. Manusia telah menjadi seperti barang bagi dirinya. Dia mencari yang jahat, yang berdosa, yang tidak adil, yang bersalah untuk diserang, dibenci, diperbudak dan bahkan dibunuh dan kemudian menyimpulkan bahwa ia sudah melaksanakan tugas sucinya bagi Tuhan (baca Yoh 16.2).

Anugerah dan kasih mengubah kebencian dan kepahitan. Pada saat ditolak dimana-mana seorang uskup menerima Valjean. Namun demikian, Valjean mencuri berbagai peralatan dari gereja kemudian melarikan diri. Pada saat ditangkap ia berbohong kepada polisi bahwa barang-barang yang ia bawa meruapakan hadiah dari uskup. Uskup pun menjawab bahwa apa yang dikatakannya memang benar. Valjean pun tersentuh dan berkomitmen mengubah hidupnya. Tetapi tidak demikian menurut Javert, apabila seseorang pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya, ia cenderung akan mengulangi kesalahannya dan tidak mungkin dapat memperbaiki diri. Ketika seseorang tertangkap dan hendak dihukum oleh Javert karena ia mirip dengan Valjean, Valjean terjebak dalam dilemma apakah menyelamatkan orang yang tidak bersalah ini atau menyelamatkan dirinya sendiri.

If I speak, I am condemned.
If I stay silent, I am damned!

Who am I?
Can I condemn this man to slavery
Pretend I do not feel his agony
This innocent who bears my face
Who goes to judgement in my place
Who am I?
Can I conceal myself for evermore?
Pretend I'm not the man I was before?
And must my name until I die
Be no more than an alibi?
Must I lie?
How can I ever face my fellow men?
How can I ever face myself again?
My soul belongs to God, I know
I made that bargain long ago
He gave me hope when hope was gone
He gave me strength to journey on

Who am I? Who am I?
I am Jean Valjean!

And so Javert, you see it's true
That man bears no more guilt than you!
Who am I?
24601!

Ketika memperoleh kesempatan untuk menghabisi Javert, Valjean memilih untuk melepaskan dia dan hanya berkata bahwa Javert tidak bersalah, ia hanya menjalani tugasnya. Inilah Anugerah dan Kasih yang menjadi tema utama dalam Les Miserables. ~ what we have, we share – to love another person is to see the face of God. Who are you? You are not “24601” but you are who you are. 

Batam, 21 Januari 2013
lyx

4 komentar:

  1. Gereja harusnya jadi komunitas yang menerima para pendosa, bukan komunitas gosipers. hehehehe... Itulah, makanya saya dari dulu ga setuju dengan siasat gereja. hehehehehe...

    salam,
    ems

    BalasHapus
  2. ems, komunitas gosipers "tercipta" bukan dalam rangka siasat gereja, kan? Komunitas gosipers "tercipta" karena para pendosa...well, paling tidak secara teoritis begitu, meski dalam praktik ekses siasat gereja adalah gosipers... Memang mestinya di dalam gereja, para pendosa disambut, tetapi cukup jelas pula bahwa dosa itu sendiri ditolak...dalam praktik, gereja seringkali terjebak di antara salah satu ekstrim: legalisme atau antinomianisme. Kedua ekstrim tsb jelas bukan sikap yg bijak.(rrb)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai RRB,

      sorry ini namanya jump in conversation (again). Untunglah dirimu menangkap maksudku. Betul bahwa gosipers adalah ekses dari siasat gereja.

      Sebagian pihak mendefinisikan bahwa siasat gereja adalah disiplin yang dilakukan untuk menjaga kemurnian iman dan untuk membimbing. Namun, bila kita setia pada definisi ini, sebaiknya kita meninjau ulang cara pelaksanaan siasat itu. Misalnya, ada gereja yang melakukan ekskomunikasi pada orang-orang yang dijatuhi siasat. Bahkan dalam tradisi Calvinis, ekskomunikasi pun dibenarkan sebagai langkah terakhir dari siasat gereja. Walaupun katanya, memungkinkan untuk diterima kembali dalam gereja.

      Seperti si pencuri dalam kisah Les Mis ini, dia merasakan derita karena di mana-mana dia sudah dicap sebagai pendosa. Begitu juga orang-orang yang terkena siasat, terluka karena sudah dicap "pendosa". Cap itu menempel dan susah dilepasnya kayak kertas nempel ama perangko.

      Padahal yang ditolak adalah "dosa" bukan "pendosa" khan?

      Saya pikir, metode Paulus ketika meminta Filemon menerima Onesimus bagus juga tuh. Ketika surat itu dibacakan di depan jemaat lainnya, Paulus meminta agar Onesimus diterima oleh Filemon. Ada sebuah pendidikan yang dilakukan Paulus pada komunitas itu untuk menerima Onesimus kembali.

      salam,
      ems

      :)

      Hapus
  3. Btw, saya pernah nich pelayanan ke penjara. Di penjara, para tahanan itu kebingungan ketika mereka harus masuk lagi ke dalam "the real world" karena hambatan "cap sosial" yang melekat pada mereka sebagai mantan tahanan. Bahkan ada yang malu datang ke gereja lagi, karena dia sudah mendengar dari keluarganya kalau jemaat lain pada ngomongin dia.

    Jadi, mari bersama-sama mendewasakan umat (dan diri sendiri) agar tidak menjadi para gosipers.....

    ems

    BalasHapus