Pada suatu hari di pagi yang cerah,
seseorang sedang berjalan-jalan di taman. Ia melangkahkan kakinya secara
perlahan dan setiap kali ia melangkah ia berbisik pelan, “berserah…,
berserah…, berserah…”. Di sisi lain, dari arah yang berlawanan ada
seorang yang sedang berlari-lari dan seperti orang kerasukan ia
berteriak, “terserah,terserah,terserah…”. Si alim berbisik pelan,
“BER-serah…”. Si skeptis berteriak keras, “TER-serah…”. Tampaknya ada
perbedaan yang cukup jelas di antara keduanya. Tetapi, bagaimana kalau
setelah kita timbang-timbang lagi, ternyata keduanya ‘SAMA’?
……………………………………………………………............
Pada tanggal 31 Mei 2011 saya tiba di GKI Purwareja-Klampok. Hari itu merupakan hari pertama saya mengikuti kegiatan jemaat dalam rangka Bantuan Pelayanan. Saya mengikuti PA di rumah salah satu anggota jemaat. PA dipimpin oleh seorang teman yang telah menjalankan Bantuan Pelayanan di jemaat ini sebelum saya datang. Dalam PA, pertanyaan yang didiskusikan adalah mana yang duluan dilakukan: berserah kepada Tuhan dulu baru menyusun strategi usaha atau menyusun strategi usaha dulu baru berserah kepada Tuhan. Singkatnya: berserah dulu baru berusaha atau berusaha dulu baru berserah? Hal yang kedua biasanya terjadi ketika seseorang berpikir bahwa dia telah berusaha semaksimal mungkin, selanjutnya ia menyerahkan bagaimana hasilnya nanti ke dalam tangan Tuhan. Saya rasa itu lebih condong TER-serah ketimbang BER-serah. TER-serah Tuhan saja hasilnya mau seperti apa, yang penting dari pihakku, aku sudah berusaha semaksimal mungkin.
Saya pikir-pikir lagi, tidak mungkinkah menciptakan opsi yang ketiga: berserah sambil berusaha dan berusaha sambil berserah? Dengan demikian, berserah kepada Tuhan bukan hanya dilakukan di awal atau di akhir usaha, melainkan juga di tengah-tengahnya, di dalam proses usaha tsb. Jadi keterlibatan Tuhan tidak hanya memberi restu di awal sebagai “starting point” sebuah usaha atau hanya di akhir sebuah usaha sebagai bagian “finishing”, penyempurna dan penilai dari sebuah usaha yang telah dilakukan. Tuhan juga turut berusaha bersama kita dan kita pun berusaha bersama Tuhan.
Ketika itu pandangan yang saya ajukan condong kepada opsi yang pertama dengan penekanan bahwa kehendak Tuhanlah yang mestinya menjadi prioritas kita sejak awal. Jadi kita bertanya, Tuhan apakah kehendak-Mu bagiku? Kita percaya dan sadar bahwa kehendak Tuhan-lah yang terbaik, dus, kita berusaha untuk menyusun strategi usaha yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita berserah kepada Tuhan karena kita ingin dan rindu melakukan kehendak-Nya. Dan sebagai catatan khusus saya menambahkan: Kehendak Tuhan itu bisa jadi sesuatu yang di luar dugaan kita, sebagaimana yang dialami oleh Yesus di taman Getsemani ketika Ia bergumul untuk taat kepada kehendak Bapa, yakni menempuh jalan salib. Maka kehendak Tuhan itu bukan semata kesuksesan atau keberhasilan. Kesuksesan atau keberhasilan juga bisa datang dari si Iblis sebagaimana yang tampak dalam ilustrasi si petani miskin yang selalu tabah namun akhirnya jatuh juga ketika digoda dengan kesuksesan. Dalam diskusi, ada seorang bapak yang belum-belum sudah tersenyum sendiri sebelum mengemukakan pendapatnya. Ia berkata: “Gini lho, saya kok jadi bertanya-tanya ini mau BER-serah atau TER-serah?”
Saya jadi semakin menyadari bahwa lebih sering orang berkata ‘BER-serah’ dalam situasi-situasi di mana ia tidak dapat berbuat banyak, situasi-situasi mendesak di mana ia merasa tidak berdaya, dan situasi-situasi sejenis lainnya yang biasa dikategorikan “situasi-situasi batas”. Menurut saya, orang yang BER-serah karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa dan merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang ada, sebenarnya setali tiga uang dengan orang yang bersikap TER-serah. BER-serah hanya karena kita tidak punya lagi “bargaining power” hanyalah merupakan sisi lain dari TER-serah. Nadanya saja yang berbeda. BER-serah bernada alim, TER-serah bernada skeptis, namun esensi keduanya SAMA.
Jika demikian, sungguhkah tidak ada perbedaan kualitatif antara BER-serah dan TER-serah? Sepertinya sulit untuk dijawab. Saya cenderung berpandangan bahwa BER-serah dan TER-serah bagaikan dua sisi dari satu koin yang sama. Sulit untuk dipisahkan. Di sini saya ingin mengusulkan perlunya memaknai ulang BER-serah. BER-serah mestinya tidak hanya dilakukan ketika “situasi-situasi batas” melanda. BER-serah mestinya dilakukan SETIAP SAAT dengan kesadaran bahwa kita menjalani hidup ini di dalam tata penyelenggaraan ilahi. BER-serah yang demikian ini membuat kita menjalani hidup setiap hari dengan sukacita dan percaya diri. Di satu sisi, kita dibebaskan dari ketegangan untuk “mengontrol” segala sesuatu yang akan terjadi, di sisi lain kita merasa lega karena kita menyadari Tuhan turut bekerja di dalam segala sesuatu. Persis pada titik inilah ‘ruang’ untuk sikap TER-serah itu tersedia. Kita mengatakan TER-serah bukan karena kita tidak punya “bargaining power”. Kita mengatakan TER-serah karena dengan sukarela kita ingin menyerahkan “bargaining power” kita kepada Tuhan. Kita berkata TER-serah karena kita ingin melepaskan diri dari obsesi untuk mengontrol segala sesuatu. Implikasi praktisnya adalah akan selalu tersedia ruang yang cukup untuk fleksibilitas, spontanitas, revisi dan perubahan rencana sewaktu-waktu bila itu diperlukan. Dengan demikian, rencana yang kita susun meski sudah fixed namun tidak absolut.
Let it flow… let go and let God… (rrb)
……………………………………………………………............
Pada tanggal 31 Mei 2011 saya tiba di GKI Purwareja-Klampok. Hari itu merupakan hari pertama saya mengikuti kegiatan jemaat dalam rangka Bantuan Pelayanan. Saya mengikuti PA di rumah salah satu anggota jemaat. PA dipimpin oleh seorang teman yang telah menjalankan Bantuan Pelayanan di jemaat ini sebelum saya datang. Dalam PA, pertanyaan yang didiskusikan adalah mana yang duluan dilakukan: berserah kepada Tuhan dulu baru menyusun strategi usaha atau menyusun strategi usaha dulu baru berserah kepada Tuhan. Singkatnya: berserah dulu baru berusaha atau berusaha dulu baru berserah? Hal yang kedua biasanya terjadi ketika seseorang berpikir bahwa dia telah berusaha semaksimal mungkin, selanjutnya ia menyerahkan bagaimana hasilnya nanti ke dalam tangan Tuhan. Saya rasa itu lebih condong TER-serah ketimbang BER-serah. TER-serah Tuhan saja hasilnya mau seperti apa, yang penting dari pihakku, aku sudah berusaha semaksimal mungkin.
Saya pikir-pikir lagi, tidak mungkinkah menciptakan opsi yang ketiga: berserah sambil berusaha dan berusaha sambil berserah? Dengan demikian, berserah kepada Tuhan bukan hanya dilakukan di awal atau di akhir usaha, melainkan juga di tengah-tengahnya, di dalam proses usaha tsb. Jadi keterlibatan Tuhan tidak hanya memberi restu di awal sebagai “starting point” sebuah usaha atau hanya di akhir sebuah usaha sebagai bagian “finishing”, penyempurna dan penilai dari sebuah usaha yang telah dilakukan. Tuhan juga turut berusaha bersama kita dan kita pun berusaha bersama Tuhan.
Ketika itu pandangan yang saya ajukan condong kepada opsi yang pertama dengan penekanan bahwa kehendak Tuhanlah yang mestinya menjadi prioritas kita sejak awal. Jadi kita bertanya, Tuhan apakah kehendak-Mu bagiku? Kita percaya dan sadar bahwa kehendak Tuhan-lah yang terbaik, dus, kita berusaha untuk menyusun strategi usaha yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita berserah kepada Tuhan karena kita ingin dan rindu melakukan kehendak-Nya. Dan sebagai catatan khusus saya menambahkan: Kehendak Tuhan itu bisa jadi sesuatu yang di luar dugaan kita, sebagaimana yang dialami oleh Yesus di taman Getsemani ketika Ia bergumul untuk taat kepada kehendak Bapa, yakni menempuh jalan salib. Maka kehendak Tuhan itu bukan semata kesuksesan atau keberhasilan. Kesuksesan atau keberhasilan juga bisa datang dari si Iblis sebagaimana yang tampak dalam ilustrasi si petani miskin yang selalu tabah namun akhirnya jatuh juga ketika digoda dengan kesuksesan. Dalam diskusi, ada seorang bapak yang belum-belum sudah tersenyum sendiri sebelum mengemukakan pendapatnya. Ia berkata: “Gini lho, saya kok jadi bertanya-tanya ini mau BER-serah atau TER-serah?”
Saya jadi semakin menyadari bahwa lebih sering orang berkata ‘BER-serah’ dalam situasi-situasi di mana ia tidak dapat berbuat banyak, situasi-situasi mendesak di mana ia merasa tidak berdaya, dan situasi-situasi sejenis lainnya yang biasa dikategorikan “situasi-situasi batas”. Menurut saya, orang yang BER-serah karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa dan merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang ada, sebenarnya setali tiga uang dengan orang yang bersikap TER-serah. BER-serah hanya karena kita tidak punya lagi “bargaining power” hanyalah merupakan sisi lain dari TER-serah. Nadanya saja yang berbeda. BER-serah bernada alim, TER-serah bernada skeptis, namun esensi keduanya SAMA.
Jika demikian, sungguhkah tidak ada perbedaan kualitatif antara BER-serah dan TER-serah? Sepertinya sulit untuk dijawab. Saya cenderung berpandangan bahwa BER-serah dan TER-serah bagaikan dua sisi dari satu koin yang sama. Sulit untuk dipisahkan. Di sini saya ingin mengusulkan perlunya memaknai ulang BER-serah. BER-serah mestinya tidak hanya dilakukan ketika “situasi-situasi batas” melanda. BER-serah mestinya dilakukan SETIAP SAAT dengan kesadaran bahwa kita menjalani hidup ini di dalam tata penyelenggaraan ilahi. BER-serah yang demikian ini membuat kita menjalani hidup setiap hari dengan sukacita dan percaya diri. Di satu sisi, kita dibebaskan dari ketegangan untuk “mengontrol” segala sesuatu yang akan terjadi, di sisi lain kita merasa lega karena kita menyadari Tuhan turut bekerja di dalam segala sesuatu. Persis pada titik inilah ‘ruang’ untuk sikap TER-serah itu tersedia. Kita mengatakan TER-serah bukan karena kita tidak punya “bargaining power”. Kita mengatakan TER-serah karena dengan sukarela kita ingin menyerahkan “bargaining power” kita kepada Tuhan. Kita berkata TER-serah karena kita ingin melepaskan diri dari obsesi untuk mengontrol segala sesuatu. Implikasi praktisnya adalah akan selalu tersedia ruang yang cukup untuk fleksibilitas, spontanitas, revisi dan perubahan rencana sewaktu-waktu bila itu diperlukan. Dengan demikian, rencana yang kita susun meski sudah fixed namun tidak absolut.
Let it flow… let go and let God… (rrb)
hmmmm.....
BalasHapussaya setuju jika kedua kata itu memang sulit untuk dipecahkan.Berserah tentu tidak salah, asal, menurutku, tidak hanya termotivasi oleh "kemepetan" saja. begitu juga Terserah, tentu tidak selalu salah. memang kata ini terkesan tidak punya tanggungjawab. tetapi, bukankah memang semua ada pada kehendak Tuhan? jadi, menurutku, kedua kata ini bisa benar jika ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. hehe terlepas dari pembahasanku dulu...BBL
Eits, kawan yg waktu itu mimpin PA langsung kasih komen... :) ... sebagai tambahan, tentu menarik ketika istilah "berserah" dibahas dalam kaitan dengan istilah "pasrah" dan istilah Jawa "nrimo". Aku sering mendengar orang yang membedakan ketiga istilah tsb secara tajam. Namun, seingatku dalam KBBI edisi ketiga "berserah" sinonim dengan "pasrah". Kesanku, hal yg biasa dipersoalkan adalah sikap pasif yang terkandung dalam istilah "pasrah" (demikian juga dalam istilah "nrimo"). Apakah memang benar demikian, mesti dicek lagi. Aku sendiri cenderung berpandangan kalau pun ada sikap pasif, bukan berarti itu otomatis menjadi suatu hal yang salah. Bagiku sikap aktif dan sikap pasif sama2 diperlukan dalam hidup beriman.(rrb)
Hapus