Pendahuluan
Dalam masa raya Paskah ini[1]
(?) saya
ingin membahas sebuah buku tentang
salib. Agak janggal rasanya. Namun Paskah adalah perayaan kebangkitan Kristus
yang tersalib. Bekas-bekas luka di tubuh-Nya akan selalu mengingatkan kita pada
salib. Karena itu membahas tentang salib tetap relevan.[2]
Salib merupakan simbol yang dikenal dengan
baik di kalangan orang Kristen. Tidak hanya itu, sering agama Kristen diidentikkan
dengan salib. Melihat salib, secara spontan orang akan terbayang tentang agama
Kristen. Sebaliknya, bicara tentang agama Kristen, orang akan langsung
mengarahkan pandangannya kepada simbol salib. Meski begitu, patut diingat pula
bahwa kalau kita menilik kepada sejarah,
simbol salib dengan segala variannya telah ada dan digunakan oleh
kelompok-kelompok masyarakat tertentu sebelum munculnya agama Kristen.[3]
Dalam perkembangannya, mesti diakui bahwa
salib bukan lagi monopoli agama Kristen. Kita menyaksikan bahwa sekarang tidak
sedikit orang yang menggunakan salib (entah sebagai kalung, anting-anting atau
tato) namun mereka tidak hendak mengidentikkan diri dengan agama Kristen.
Gejala ini jelas menunjukkan terjadinya pergeseran makna salib. Bahkan di
kalangan orang-orang Kristen, meskipun salib dikenal dengan baik, hal itu tidak
serta-merta diikuti dengan pemaknaan (dan penghayatan) yang baik pula. Tidak jarang
pemaknaan kita akan salib berhenti pada pengulangan rumusan tradisi, sebuah dogma dan tidak lebih
dari ritualisme. Maka selalu ada kerawanan untuk menjadikan salib sekadar
sebagai aksesoris. Jika demikian, salib akan menjadi simbol yang mati.
Pertanyaan yang mendasar adalah apa makna
salib (Kristus) bagi kita?
Buku yang berjudul “Salib: Simbol Teror,
Teror Simbol-Kajian Multidimensi”[4] dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut.[5]
Buku ini merupakan kumpulan tulisan (seluruhnya ada 14 tulisan) yang hendak
mengkaji (makna) salib dari berbagai perspektif: dari perspektif liturgis,
historis sampai dengan biblis; dari perspektif spiritualitas-mistik, etis sampai dengan teologi
politis; dari perspektif estetis, sastra sampai dengan sinematografis; dan
akhirnya dari perspektif antropologis, filsafat Barat, filsafat Timur sampai
dengan semiotis.[6]
Latar belakang para penulisnya pun beragam. Tidak hanya teolog dan filsuf,
tetapi juga budayawan (Jakob Sumardjo), novelis (Ayu Utami), dan sastrawan non
Kristen (Goenawan Mohamad).
Dalam kesempatan ini saya tidak akan mengulas keempat belas tulisan tersebut. Yang saya lakukan adalah memaparkan pemahaman saya dalam “bingkai” judul buku, “Salib: Simbol Teror, Teror Simbol”.
Salib:
Simbol Teror
Salib sebagai simbol teror mestinya sudah
cukup jelas bila kita memperhatikan rekaman sejarah penyaliban Yesus. Yesus
disalib dengan penderitaan yang amat sangat. Di salib itu pula ajal-Nya datang
menjemput. Berbeda dari kita saat ini, orang-orang yang hidup pada abad-abad
pertama merasakan betul salib sebagai simbol teror. Kekaisaran Romawi pada masa
itu menggunakan salib sebagai hukuman yang paling kejam untuk para penjahat.
Tidak mengherankan kalau para pakar menemukan bahwa “Ternyata, tanda metafora
Salib semula tidak dimaksudkan untuk membayangkan Kesengsaraan Kristus,
melainkan justru untuk menunjukkan Kemuliaan-Nya yang ilahi. Juga ketika Salib
itu secara khusus mengacu pada kematian Kristus, hendaknya dianggap sebagai
ungkapan daya ilahi yang merebak karena kematian-Nya.”[7] “Ada
juga bukti historis yang begitu jelas bahwa orang-orang Kristen memperlihatkan
ketidakinginan mereka untuk mengkontemplasikan kenistaan dan kebodohan
Penyelamat pada peristiwa salib, khususnya “ketelanjangan-Nya”.”[8]
Baru pada abad pertengahan berkembang tendensi untuk memaknai salib yang
terfokus pada keadaan psikologis Kristus yang menderita disalib.[9]
Salib yang adalah simbol teror itu kemudian
diambil-alih sebagai simbol iman, pertama-tama karena Kristus tergantung mati di situ. Dalam bahasa
estetis, salib menjadi simbol iman
karena “Salib menjadi tempat cinta yang disalib.”[10] Hal
ini tentu tidak dapat dilepaskan dari keyakinan akan Kristus yang bangkit
setelah peristiwa penyaliban terjadi. Selain itu, bukan tidak mungkin pula salib diadopsi
sebagai simbol agama Kristen berkenaan
dengan pengalaman Kaisar Konstantinus Agung yang mengklaim telah melihat cahaya berbentuk salib di
langit dan kemudian menitahkan kepada laskar perangnya untuk menggunakan tanda agama Kristen chi-rho pada perisai mereka. Lebih lanjut, sejak zaman itu
penyaliban sebagai hukuman mati dihapuskan dan simbol salib tampil di
mana-mana, di dalam kehidupan dan ruang publik.[11]
Kita dapat menduga bahwa mungkin inilah permulaan terkikisnya salib sebagai simbol teror.
Namun, salib sebagai simbol teror masih relevan
pada masa kini. Kita hidup di tengah-tengah situasi “ketersaliban”, di mana
banyak orang dilanda penderitaan, kemiskinan dan menjadi korban ketidakadilan.[12] Di sini
dituntut solidaritas yang mendalam kepada sesama [dan seluruh kehidupan] tetapi
juga yang tidak kalah pentingnya agar kita memberi perhatian yang
sungguh-sungguh bahwa salib sebagai simbol teror adalah “trauma dan tragedi yang tak boleh
terulang dan perlu [bahkan harus] dilawan, agar Tuhan dan kemanusiaan tak lagi
hancur teraniaya bersimbah darah.”[13] Maka salib
sebagai simbol teror merupakan suatu tantangan bagi kita: “bagaimana
menghilangkan “salib” macam itu sepanjang sejarah, menghilangkan segala bentuk
praktik struktural dan sistematik yang mendegradasi kemanusiaan dan mematikan
cinta.”[14]
Pemaknaan salib yang demikian ini memang kental dengan perspektif teologi
pembebasan.
Selanjutnya, bisa
ditambahkan relevansi salib sebagai simbol teror pada tataran kehidupan
pribadi. Hal ini diungkapkan dengan gamblang oleh Ign. Bambang Sugiharto
demikian,
“… salib
adalah teror yang setiap kali menghadapkan diri sendiri dengan kesungguhan
komitmen nilainya pribadi: konflik antara kesungguhan mencinta dan derita yang
mesti ditanggung karenanya. Ia adalah teror karena tiap kali menghadapkan
individu pada kedalaman hati nurani, pada dilema dasar antara kenikmatan dan
kesungguhan komitmen, antara kekuasaan dan pengabdian, antara kebusukan dan
keluhuran, dst. Salib adalah isyarat yang bisa merobek topeng-topeng sang ego,
membongkar kepalsuan dan benteng-benteng kenyamanannya, dan mendobrak
ketakutan-ketakutan yang diam-diam disembunyikannya. Salib adalah teror mental
yang senantiasa menelanjangi, justru agar manusia dilahirkan kembali semakin
ilahi. Salib adalah penghampaan diri guna memberi ruang bagi energi ilahi: kenosis yang bertransformasi menjadi plerosis, ketakberdayaan yang berubah
menjadi kemuliaan.”[15]
Salib:
Teror Simbol
Mungkin saya keliru,
namun dari keempat belas tulisan yang ada, tampaknya hanya tulisan Ign. Bambang
Sugiharto yang sempat menyoroti salib sebagai teror simbol. Saya suka membaca tulisan
Sugiharto, namun tidak mudah untuk memahaminya. Maka yang saya paparkan berikut
ini hanya sejauh pemahaman saya yang serba terbatas.
Salib (Kristus) disebut
sebagai teror simbol karena mengandung potensi dekonstruktif. Maksudnya, salib
telah membongkar anggapan-anggapan konvensional tentang Tuhan, dan dengan demikian
telah menempatkan Tuhan kembali kepada kemisteriusan-Nya yang sulit dimengerti.[16] Simbol-simbol
yang biasanya digunakan untuk menunjuk kepada yang ilahi, kini beresiko
kehilangan maknanya karena ternyata realitas yang ada sangat berbeda dari apa
yang dikira sebelumnya.
Sejajar dengan hal
tersebut kita pun semakin menyadari bahwa di hadapan realitas, yang kita tangkap
selalu merupakan sebuah imaji atau visi mental. Imaji kita akan realitas jelas
tidak sama dengan realitas, melainkan sebuah penafsiran yang, sekali lagi, bisa jadi sangat berbeda dari realitas
yang ada (demikian pula simbol-simbol yang diciptakan manusia). Di sini salib
merupakan peringatan agar kita senantiasa waspada terhadap segala bentuk imaji,
secara khusus manakala ia mulai mengerdilkan pemahaman tentang hubungan kita
dengan Tuhan. Salib merupakan teror simbol karena membuat kita selalu waspada
terhadap perangkap simbolisme itu sendiri.[17]
Penutup
Saya mengakhiri
tulisan ini dengan menyoroti fenomena penggunaan simbol dan ritual yang semakin
marak di kalangan gereja-gereja Protestan. Keterbukaan gereja-gereja Protestan terhadap
simbol dan ritual patut diapresiasi. Telah cukup lama gereja-gereja Protestan
menaruh kecurigaan terhadap simbol dan ritual. Kita menjumpai misalnya ada
gereja-gereja tertentu yang menolak penyalaan lilin di gereja sebagai bagian
dari simbol yang digunakan dalam beribadah. Namun hal ini bukannya tanpa dasar
sama sekali. Ada suatu masa ketika simbol-simbol digunakan dengan tidak bijak,
yakni ketika simbol-simbol diidentikkan dengan realitas, termasuk dengan
realitas yang ilahi. Jika demikian, simbol berpotensi menjadi berhala. Salib sebagai
teror simbol mestinya selalu membuat kita waspada terhadap perangkap simbolisme
semacam ini. Pada salib itu kita menjumpai kemisteriusan Allah yang selalu
melampaui segala simbol yang ada. Semogalah demikian. (rrb)
[1] Setidaknya, menurut
kalender liturgi kita sekarang masih dalam masa raya Paskah hingga pertengahan
bulan depan nanti. Bahwa banyak gereja Protestan mengesankan masa raya Paskah
telah berakhir, itu lain persoalan.
[2] Sebagaimana yang dicatat Antonius Subianto Bunyamin, “Dalam kristologi
holistik, hidup dan wafat Yesus tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan
Kristus.” Bunyamin mengacu pada pandangan Thorwald Lorenzen. Lihat Antonius
Subianto Bunyamin, “Logos, Ethos, dan
Pathos Ilahi Dalam Diri Insani”,
dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian
Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 158 (catatan kaki no.1)
[3] A. Eddy Kristiyanto, “Antara Skandal dan Stigmata”, dalam Ign. Bambang
Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung:
Sangkris, 2003), h. 31. Romo Eddy mengatakan, “Kekristenan telah mengambil alih
paham tentang ankh [salib dalam kebudayaan
Mesir kuno], mengingat sejumlah arti tersebut [antara lain sebagai tanda kehidupan].
[4] Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian
Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003). 176 halaman.
[5] Selain itu, ada dua buku menarik yang secara khusus membahas salib
dari perspektif teologis antara lain: Membedah
Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam, (Semarang: Borobudur
Indonesia Publishing, 2010) oleh Ioanes Rakhmat dan Berdamai dengan Salib, (Jakarta:
Grafindo dan UPI STT Jakarta, 2010) oleh Joas Adiprasetya. Buku yang kedua
merupakan tanggapan kritis atas buku yang pertama.
[6] Ecce Lignum Crucis:Dari
Tanda Hingga Pesta oleh C. Harimanto Suryanugraha (perspektif liturgis), Antara Skandal dan Stigmata oleh A. Eddy
Kristiyanto (perspektif historis), Kita
Harus Bangga oleh Glen Lewandowski (perspektif biblis), Salib di Kalvari: Pilar Iman Masa Kini oleh
J. Hartono Budi (perspektif teologi politis/teologi
pembebasan), Ke Dalam Tangan-Mu
Kuserahkan Jiwa-Ku oleh Yan Sunyata (perspektif spiritualitas-mistik), Jalan Sang Guru oleh William Chang
(perspektif etis), Salib: Titik Temu
Garis Amor Fati-Amor Dei oleh Fabianus S. Heatubun (perspektif estetis), Isa
dan Beberapa Metamorfosis oleh
Goenawan Mohamad (perspektif sastra), Tentang
Sensualitas Salib oleh Ayu Utami (perspektif sastra), Menjelajah Keheningan- Salib Yesus dalam Film oleh B. Haryo Tejo Bawono
(perspektif sinematografis), Salib dan
Religi Primordial Indonesia oleh Jakob Sumardjo (perspektif antropologis), Saat Disclosure di Ground Zero oleh F.X. Rudiyanto Subagio (perspektif filsafat
Timur), Logos, Ethos, dan Pathos Ilahi Dalam Diri Insani oleh Antonius
Subianto Bunyamin (perspektif filsafat Barat), Salib: Lubang Hitam Spiritualitas oleh Ign. Bambang Sugiharto
(perspektif semiotis).
[7] C. Harimanto Suryanugraha, “Ecce
Lignum Crucis:Dari Tanda Hingga Pesta”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C.
Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib:
Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003),
h. 13. Suryanugraha mengacu pada pandangan Jean Danielou. Sebelum
salib, orang-orang Kristen telah menggunakan simbol-simbol lain, misalnya: XP
(chi-rho), ICHTHUS atau gambar ikan.
[8] A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h.
33
[9] A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h.
36
[10] Fabianus S. Heatubun, “Salib:
Titik Temu Garis Amor Fati-Amor Dei”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C.
Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib:
Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003),
h. 96
[11] Bnd. A. Eddy Kristiyanto, op.cit.,
h. 33
[12] Bnd. J. Hartono Budi, “Salib di Kalvari: Pilar Iman Masa Kini”, dalam Ign. Bambang
Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung:
Sangkris, 2003), h. 59
[13] Ign. Bambang Sugiharto, “Salib: Lubang Hitam
Spiritualitas”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian
Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar