Kamis, 11 April 2013

SALIB: SIMBOL TEROR, TEROR SIMBOL


Pendahuluan

Dalam masa raya Paskah ini[1] (?) saya ingin membahas sebuah buku  tentang salib. Agak janggal rasanya. Namun Paskah adalah perayaan kebangkitan Kristus yang tersalib. Bekas-bekas luka di tubuh-Nya akan selalu mengingatkan kita pada salib. Karena itu membahas tentang salib tetap relevan.[2]
 
Salib merupakan simbol yang dikenal dengan baik di kalangan orang Kristen. Tidak hanya itu, sering agama Kristen diidentikkan dengan salib. Melihat salib, secara spontan orang akan terbayang tentang agama Kristen. Sebaliknya, bicara tentang agama Kristen, orang akan langsung mengarahkan pandangannya kepada simbol salib. Meski begitu, patut diingat pula bahwa  kalau kita menilik kepada sejarah, simbol salib dengan segala variannya telah ada dan digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu sebelum munculnya agama Kristen.[3]

Dalam perkembangannya, mesti diakui bahwa salib bukan lagi monopoli agama Kristen. Kita menyaksikan bahwa sekarang tidak sedikit orang yang menggunakan salib (entah sebagai kalung, anting-anting atau tato) namun mereka tidak hendak mengidentikkan diri dengan agama Kristen. Gejala ini jelas menunjukkan terjadinya pergeseran makna salib. Bahkan di kalangan orang-orang Kristen, meskipun salib dikenal dengan baik, hal itu tidak serta-merta diikuti dengan pemaknaan (dan penghayatan) yang baik pula. Tidak jarang pemaknaan kita akan salib berhenti pada pengulangan rumusan tradisi, sebuah dogma dan tidak lebih dari ritualisme. Maka selalu ada kerawanan untuk menjadikan salib sekadar sebagai aksesoris. Jika demikian, salib akan menjadi simbol yang mati.

Pertanyaan yang mendasar adalah apa makna salib (Kristus) bagi kita?

Buku yang berjudul Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi[4] dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut.[5] Buku ini merupakan kumpulan tulisan (seluruhnya ada 14 tulisan) yang hendak mengkaji (makna) salib dari berbagai perspektif: dari perspektif liturgis, historis sampai dengan biblis; dari perspektif spiritualitas-mistik, etis sampai dengan teologi politis; dari perspektif estetis, sastra sampai dengan sinematografis; dan akhirnya dari perspektif antropologis, filsafat Barat, filsafat Timur sampai dengan semiotis.[6] Latar belakang para penulisnya pun beragam. Tidak hanya teolog dan filsuf, tetapi juga budayawan (Jakob Sumardjo), novelis (Ayu Utami), dan sastrawan non Kristen (Goenawan Mohamad).

Dalam kesempatan ini saya tidak akan mengulas keempat belas tulisan tersebut. Yang saya lakukan adalah memaparkan pemahaman saya  dalam “bingkai” judul buku, Salib: Simbol Teror, Teror Simbol.

Salib: Simbol Teror

Salib sebagai simbol teror mestinya sudah cukup jelas bila kita memperhatikan rekaman sejarah penyaliban Yesus. Yesus disalib dengan penderitaan yang amat sangat. Di salib itu pula ajal-Nya datang menjemput. Berbeda dari kita saat ini, orang-orang yang hidup pada abad-abad pertama merasakan betul salib sebagai simbol teror. Kekaisaran Romawi pada masa itu menggunakan salib sebagai hukuman yang paling kejam untuk para penjahat. Tidak mengherankan kalau para pakar menemukan bahwa “Ternyata, tanda metafora Salib semula tidak dimaksudkan untuk membayangkan Kesengsaraan Kristus, melainkan justru untuk menunjukkan Kemuliaan-Nya yang ilahi. Juga ketika Salib itu secara khusus mengacu pada kematian Kristus, hendaknya dianggap sebagai ungkapan daya ilahi yang merebak karena kematian-Nya.”[7] “Ada juga bukti historis yang begitu jelas bahwa orang-orang Kristen memperlihatkan ketidakinginan mereka untuk mengkontemplasikan kenistaan dan kebodohan Penyelamat pada peristiwa salib, khususnya “ketelanjangan-Nya”.”[8] Baru pada abad pertengahan berkembang tendensi untuk memaknai salib yang terfokus pada keadaan psikologis Kristus yang menderita disalib.[9]

Salib yang adalah simbol teror itu kemudian diambil-alih sebagai simbol iman, pertama-tama karena Kristus tergantung mati di situ. Dalam bahasa estetis, salib menjadi simbol iman karena “Salib menjadi tempat cinta yang disalib.”[10] Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari keyakinan akan Kristus yang bangkit setelah peristiwa penyaliban terjadi. Selain itu, bukan tidak mungkin pula salib diadopsi sebagai simbol  agama Kristen berkenaan dengan pengalaman Kaisar Konstantinus Agung yang mengklaim telah melihat cahaya berbentuk salib di langit dan kemudian menitahkan kepada laskar perangnya untuk menggunakan tanda agama Kristen chi-rho pada perisai mereka. Lebih lanjut, sejak zaman itu penyaliban sebagai hukuman mati dihapuskan dan simbol salib tampil di mana-mana, di dalam kehidupan dan ruang publik.[11] Kita dapat menduga bahwa mungkin inilah permulaan terkikisnya salib sebagai simbol teror.

Namun, salib sebagai simbol teror masih relevan pada masa kini. Kita hidup di tengah-tengah situasi “ketersaliban”, di mana banyak orang dilanda penderitaan, kemiskinan dan menjadi korban ketidakadilan.[12] Di sini dituntut solidaritas yang mendalam kepada sesama [dan seluruh kehidupan] tetapi juga yang tidak kalah pentingnya agar kita memberi perhatian yang sungguh-sungguh bahwa salib sebagai simbol teror adalah “trauma dan tragedi yang tak boleh terulang dan perlu [bahkan harus] dilawan, agar Tuhan dan kemanusiaan tak lagi hancur teraniaya bersimbah darah.”[13] Maka salib sebagai simbol teror merupakan suatu tantangan bagi kita: “bagaimana menghilangkan “salib” macam itu sepanjang sejarah, menghilangkan segala bentuk praktik struktural dan sistematik yang mendegradasi kemanusiaan dan mematikan cinta.”[14] Pemaknaan salib yang demikian ini memang kental dengan perspektif teologi pembebasan.

Selanjutnya, bisa ditambahkan relevansi salib sebagai simbol teror pada tataran kehidupan pribadi. Hal ini diungkapkan dengan gamblang oleh Ign. Bambang Sugiharto demikian,

“… salib adalah teror yang setiap kali menghadapkan diri sendiri dengan kesungguhan komitmen nilainya pribadi: konflik antara kesungguhan mencinta dan derita yang mesti ditanggung karenanya. Ia adalah teror karena tiap kali menghadapkan individu pada kedalaman hati nurani, pada dilema dasar antara kenikmatan dan kesungguhan komitmen, antara kekuasaan dan pengabdian, antara kebusukan dan keluhuran, dst. Salib adalah isyarat yang bisa merobek topeng-topeng sang ego, membongkar kepalsuan dan benteng-benteng kenyamanannya, dan mendobrak ketakutan-ketakutan yang diam-diam disembunyikannya. Salib adalah teror mental yang senantiasa menelanjangi, justru agar manusia dilahirkan kembali semakin ilahi. Salib adalah penghampaan diri guna memberi ruang bagi energi ilahi: kenosis yang bertransformasi menjadi plerosis, ketakberdayaan yang berubah menjadi kemuliaan.”[15]        
   
Salib: Teror Simbol   

Mungkin saya keliru, namun dari keempat belas tulisan yang ada, tampaknya hanya tulisan Ign. Bambang Sugiharto yang sempat menyoroti salib sebagai teror simbol. Saya suka membaca tulisan Sugiharto, namun tidak mudah untuk memahaminya. Maka yang saya paparkan berikut ini hanya sejauh pemahaman saya yang serba terbatas.

Salib (Kristus) disebut sebagai teror simbol karena mengandung potensi dekonstruktif. Maksudnya, salib telah membongkar anggapan-anggapan konvensional tentang Tuhan, dan dengan demikian telah menempatkan Tuhan kembali kepada kemisteriusan-Nya yang sulit dimengerti.[16] Simbol-simbol yang biasanya digunakan untuk menunjuk kepada yang ilahi, kini beresiko kehilangan maknanya karena ternyata realitas yang ada sangat berbeda dari apa yang dikira sebelumnya.

Sejajar dengan hal tersebut kita pun semakin menyadari bahwa di hadapan realitas, yang kita tangkap selalu merupakan sebuah imaji atau visi mental. Imaji kita akan realitas jelas tidak sama dengan realitas, melainkan sebuah penafsiran yang,  sekali lagi, bisa jadi sangat berbeda dari realitas yang ada (demikian pula simbol-simbol yang diciptakan manusia). Di sini salib merupakan peringatan agar kita senantiasa waspada terhadap segala bentuk imaji, secara khusus manakala ia mulai mengerdilkan pemahaman tentang hubungan kita dengan Tuhan. Salib merupakan teror simbol karena membuat kita selalu waspada terhadap perangkap simbolisme itu sendiri.[17]

Penutup

Saya mengakhiri tulisan ini dengan menyoroti fenomena penggunaan simbol dan ritual yang semakin marak di kalangan gereja-gereja Protestan. Keterbukaan gereja-gereja Protestan terhadap simbol dan ritual patut diapresiasi. Telah cukup lama gereja-gereja Protestan menaruh kecurigaan terhadap simbol dan ritual. Kita menjumpai misalnya ada gereja-gereja tertentu yang menolak penyalaan lilin di gereja sebagai bagian dari simbol yang digunakan dalam beribadah. Namun hal ini bukannya tanpa dasar sama sekali. Ada suatu masa ketika simbol-simbol digunakan dengan tidak bijak, yakni ketika simbol-simbol diidentikkan dengan realitas, termasuk dengan realitas yang ilahi. Jika demikian, simbol berpotensi menjadi berhala. Salib sebagai teror simbol mestinya selalu membuat kita waspada terhadap perangkap simbolisme semacam ini. Pada salib itu kita menjumpai kemisteriusan Allah yang selalu melampaui segala simbol yang ada. Semogalah demikian. (rrb)
  


[1] Setidaknya, menurut kalender liturgi kita sekarang masih dalam masa raya Paskah hingga pertengahan bulan depan nanti. Bahwa banyak gereja Protestan mengesankan masa raya Paskah telah berakhir, itu lain persoalan.

[2] Sebagaimana yang dicatat Antonius Subianto Bunyamin, “Dalam kristologi holistik, hidup dan wafat Yesus tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan Kristus.” Bunyamin mengacu pada pandangan Thorwald Lorenzen. Lihat Antonius Subianto Bunyamin, “Logos, Ethos, dan Pathos Ilahi Dalam Diri Insani”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 158 (catatan kaki no.1)

[3] A. Eddy Kristiyanto, “Antara Skandal dan Stigmata”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 31. Romo Eddy mengatakan, “Kekristenan telah mengambil alih paham tentang ankh [salib dalam kebudayaan Mesir kuno], mengingat sejumlah arti tersebut [antara lain sebagai tanda kehidupan].

[4] Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003). 176 halaman.

[5] Selain itu, ada dua buku menarik yang secara khusus membahas salib dari perspektif teologis antara lain: Membedah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam, (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2010) oleh Ioanes Rakhmat dan Berdamai dengan Salib, (Jakarta: Grafindo dan UPI STT Jakarta, 2010) oleh Joas Adiprasetya. Buku yang kedua merupakan tanggapan kritis atas buku yang pertama.

[6] Ecce Lignum Crucis:Dari Tanda Hingga Pesta oleh C. Harimanto Suryanugraha (perspektif liturgis), Antara Skandal dan Stigmata oleh A. Eddy Kristiyanto (perspektif historis), Kita Harus Bangga oleh Glen Lewandowski (perspektif biblis), Salib di Kalvari: Pilar Iman Masa Kini oleh J. Hartono Budi (perspektif teologi politis/teologi pembebasan), Ke Dalam Tangan-Mu Kuserahkan Jiwa-Ku oleh Yan Sunyata (perspektif spiritualitas-mistik), Jalan Sang Guru oleh William Chang (perspektif etis), Salib: Titik Temu Garis Amor Fati-Amor Dei oleh Fabianus S. Heatubun (perspektif estetis), Isa dan Beberapa Metamorfosis oleh Goenawan Mohamad (perspektif sastra), Tentang Sensualitas Salib oleh Ayu Utami (perspektif sastra), Menjelajah Keheningan- Salib Yesus dalam Film oleh B. Haryo Tejo Bawono (perspektif sinematografis), Salib dan Religi Primordial Indonesia oleh Jakob Sumardjo (perspektif antropologis), Saat Disclosure di Ground Zero oleh F.X. Rudiyanto Subagio (perspektif filsafat Timur), Logos, Ethos, dan Pathos Ilahi Dalam Diri Insani oleh Antonius Subianto Bunyamin (perspektif filsafat Barat), Salib: Lubang Hitam Spiritualitas oleh Ign. Bambang Sugiharto (perspektif semiotis).



[7] C. Harimanto Suryanugraha, “Ecce Lignum Crucis:Dari Tanda Hingga Pesta”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 13. Suryanugraha mengacu pada pandangan Jean Danielou. Sebelum salib, orang-orang Kristen telah menggunakan simbol-simbol lain, misalnya: XP (chi-rho), ICHTHUS atau gambar ikan.

[8] A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h. 33

[9] A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h. 36

[10] Fabianus S. Heatubun, “Salib: Titik Temu Garis Amor Fati-Amor Dei”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 96

[11] Bnd. A. Eddy Kristiyanto, op.cit., h. 33

[12] Bnd. J. Hartono Budi, Salib di Kalvari: Pilar Iman Masa Kini”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 59

[13] Ign. Bambang Sugiharto, “Salib: Lubang Hitam Spiritualitas”, dalam Ign. Bambang Sugiharto dan C. Harimanto Suryanugraha (ed.), Salib: Simbol Teror, Teror Simbol-Kajian Multidimensi, (Bandung: Sangkris, 2003), h. 163

[14] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 163

[15] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 171-172

[16] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 164

[17] Ign. Bambang Sugiharto, op.cit., h. 171
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar