Jumat, 07 Desember 2012

Natal Sebagai Momen Keramahtamahan


Sekitar sepuluh hari yang lalu (2 Desember 2012) Pak Joas Adiprasetya memuat sebuah tulisan yang berjudul, “Natal Perdana: Ruang Keramahtamahan” di Facebook.[1] Menurut saya, tulisan tersebut menarik karena mencoba memberikan pemaknaan alternatif atas kisah Natal, sebuah pemaknaan yang bertolak dari perspektif keramahtamahan (hospitality). Paparan saya berikut ini merupakan apresiasi atas tulisan Pak Joas tersebut.

Pertama-tama, ada upaya Pak Joas untuk “merehabilitasi” kesan hostility (sikap bermusuhan) dari pemilik rumah penginapan dalam kisah kelahiran Yesus versi Injil Lukas (Lukas 2:1-7).[2]

Secara umum, saya memiliki kesan yang kuat bahwa setiap kali kisah kelahiran Yesus dibacakan, yang muncul dalam benak para pendengarnya tentang pemilik penginapan adalah tokoh antagonis yang tidak ramah. Saya juga ingat, dalam sebuah kesempatan latihan kontemplasi Ignasian tentang kisah kelahiran Yesus, dalam imajinasi saya muncul hal serupa: tokoh pemilik penginapan yang tidak ramah. Dalam kontemplasi Ignasian memang imajinasi berperan penting. Namun sekarang saya bertanya-tanya, kok bisa imajinasi saya “menciptakan” tokoh pemilik penginapan yang tidak ramah? Sebenarnya dalam imajinasi saya, tokoh pemilik penginapan tersebut bukan hanya tidak ramah, tetapi menolak bahkan mengusir Maria dan Yusuf. Lebih jauh, ternyata semua pemilik penginapan di Betlehem juga bersikap demikian. Maka terjadilah hal naas ini: Maria dan Yusuf selalu mengalami penolakan setiap kali mereka mendatangi sebuah tempat penginapan. Menarik bahwa dalam sebuah kesempatan lain, saya menyaksikan imajinasi tersebut ditampilkan dalam tablo Natal. Sekali lagi saya bertanya-tanya, mengapa imajinasi tersebut muncul? Bisa jadi karena prasangka bahwa orang Israel itu jahat atau pandangan bahwa dunia ini memang sejak semula menolak Tuhan.

Saya bersyukur karena ketika kuliah Teologi, saya diajar untuk membaca Alkitab dengan cermat dan kritis. Dengan demikian, selalu ada kesempatan untuk meninjau kembali pandangan-pandangan yang beredar, apakah memang begitu yang tertulis di dalam teksnya atau jangan-jangan hanya “tambahan” dari pembacanya. Nyatanya, sebagian besar imajinasi saya tersebut tidak tertulis di dalam Injil Lukas. Dalam Lukas 2:7 tertulis, “dan ia [yaitu Maria] melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Tidak ada dikatakan tentang penolakan dari pemilik penginapan. Paling banter, kita hanya dapat menduga-duga dari kenyataan bahwa bayi yang baru dilahirkan tersebut dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan. Bahwa palungan adalah tempat makanan hewan, memang dengan mudah membuat para pembaca zaman sekarang membayangkan bahwa Yesus dilahirkan di tempat yang tidak wajar dan tidak layak. Namun kalau hanya sampai di situ saja pertimbangannya, dengan mudah kita akan terjebak di dalam sikap yang “anakronistis”. 

Setidaknya, kita juga mesti mempertimbangkan konteks bangsa Israel pada masa itu. Sebagai bangsa jajahan Romawi, sebagian besar rakyat hidup di dalam kemiskinan yang parah. Ada banyak hal yang dianggap “wajar” oleh orang miskin, namun dalam pandangan orang yang tidak miskin dianggap hal yang “tidak wajar”. Sebagai pembanding, pada masa sekarang ini pun masih banyak rumah-rumah orang miskin yang sangat sederhana, namun dalam pandangan orang yang tidak miskin, rumah-rumah tersebut bukanlah rumah dan tidak layak huni. Saya mungkin melangkah terlalu jauh, tetapi saya menduga jangan-jangan, sebenarnya bayi yang dibungkus lampin dan dibaringkan di dalam palungan merupakan hal yang “lazim” di kalangan orang miskin pada masa itu, apalagi kalau memang sedang dalam keadaan darurat. Sebenarnya sih yang terjadi biasa-biasa saja dan bisa dimaklumi, namun kitanya saja yang cenderung mendramatisir dan beprasangka buruk. Lagi pula, perhatikanlah wajah-wajah Maria, Yusuf dan bayi Yesus di kartu-kartu Natal. Tidak tampak bahwa mereka sedang susah. Sebaliknya, wajah-wajah mereka tampak begitu damai. Dan tidak hanya wajah-wajah mereka saja, wajah-wajah domba dan sapi di tempat itu juga tampak damai. Well, mungkin ini hanya kebetulan saja dan artifisial…:)

Dalam tulisannya tersebut, Pak Joas tidak hanya berpedoman pada imajinasi belaka. Ia juga melakukan rekonstruksi atas kisah kelahiran Yesus yang dipaparkan teks Injil Lukas. Hasilnya, Yesus tidak dilahirkan di sebuah kandang yang hina, melainkan di ruangan bawah dari sebuah rumah. Menurut Pak Joas, istilah kataluma dalam Lukas 2:7 lebih tepat diterjemahkan “ruang tamu” atau “ruang atas” (terjemahan LAI: “penginapan”; istilah ini juga dipakai di dalam Lukas 22:12). Dengan mempertimbangkan bahwa pada masa itu lazimnya para perantau mengunjungi rumah sanak saudara mereka, maka disimpulkan bahwa kedatangan Maria dan Yusuf bukan untuk mencari penginapan umum, melainkan untuk menginap di rumah seorang sanak saudara. Namun ternyata rumah tersebut telah penuh sesak oleh sanak saudara yang lain. Dalam keadaan darurat semacam itu, demi privasi Maria dan Yusuf digunakanlah “ruang bawah”, yakni ruang di mana biasanya pemilik rumah menjaga ternak di waktu malam. Tentu ruang tersebut dibuat senyaman mungkin terlebih dahulu. Jadi, kelahiran Yesus di ruang tersebut bukan karena hostility pemilik penginapan, melainkan karena hospitality pemilik rumah. Menurut saya, rekonstruksi tersebut membuat imajinasi Pak Joas menjadi alternatif yang plausible bagi imajinasi lain yang cenderung negatif (misalnya imajinasi saya).

Sampai di sini muncul pertanyaan, di manakah sebenarnya Yesus dilahirkan? Di kandang (pandangan tradisional), di ruang bawah rumah seorang sanak saudara (pandangan Pak Joas) atau di tempat persinggahan umum (pandangan Romo Gianto)? Sulit untuk menentukannya. Untuk sementara ini bersabar sajalah, siapa tau di waktu yang akan datang semakin banyak temuan yang memberikan kejelasan. Satu hal yang jelas, entah di manapun Yesus dilahirkan, teks Injil Lukas tidak menyatakan adanya hostility pemilik penginapan.

Akhirnya, saya juga mengapresiasi upaya Pak Joas yang mencoba mengidentifikasi tema keramahtamahan di dalam Injil Lukas. Keramahtamahan tidak hanya muncul dalam kisah kelahiran Yesus (Lukas 2), tetapi juga di dalam kisah Zakheus (Lukas 19:1-10), panggilan Lewi (Lukas 5:27-32), pengampunan seorang perempuan berdosa (Lukas 7:36-50), perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15:11-32), pemberian makan lima ribu orang (Lukas 9:10-17), perjamuan malam yang terakhir (Lukas 22:7-38) dan tambahan dari saya, kisah perjalanan murid ke Emaus (Lukas 24:13-35). Hal ini tidak mesti bertentangan dengan pandangan umum di kalangan pakar Alkitab, yakni bahwa konteks Injil Lukas adalah orang yang miskin dan tersisih. Sudah sering kita mendengar tentang Allah yang berpihak kepada orang yang miskin dan tersisih. Lantas, kisah kelahiran Yesus di tempat yang “rendah” sering dijadikan simbol solidaritas Allah. Namun, simbol yang tidak menggerakkan kita kepada praksis pembebasan yang konkrit hanya akan membuat kita me-“romantisasi” dan men-“dramatisir” kemiskinan. Hal ini jelas tidak banyak manfaatnya. Di sisi lain, keramahtamahan merupakan salah satu wujud sikap solider kita kepada mereka yang miskin dan tersisih. Keramahtamahan berarti menyambut mereka yang miskin dan tersisih; “menciptakan ruang” yang cukup bagi mereka untuk hidup dan mengaktualisasikan diri.

Ngomong-ngomong, dalam beberapa waktu belakangan ini saya merasakan pengalaman keramahtamahan di Jakarta, Bandung, Tangerang, Cirebon, Jogja, dan Purworejo. Dalam keramahtamahan insani, di sana terpancar pula keramahtamahan ilahi. Syukur kepada Allah! (rrb)   

        


[2] Romo Agustinus Giato, seorang Profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificium Institutum Biblicum Roma, juga melakukan hal serupa. Romo Gianto mengatakan, “Bukan maksud Lukas mengatakan bahwa mereka tidak dimaui di mana-mana. Tempat-tempat biasa sudah penuh… . Mereka akhirnya menemukan tempat umum yang ada di setiap dusun pada waktu itu yang biasa dipakai tempat istirahat rombongan karavan bersama hewan angkutan mereka. Semacam stasiun zaman dulu… . Sekali lagi ini cara Lukas mengatakan kelahiran Yesus terjadi di tempat yang bisa terjangkau umum.” Lihat Agustinus Gianto, Dag-Dig-Dug…Byaar! Kumpulan Ulasan Injil, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 101. Apa yang dikatakan Romo Gianto ini berbeda dengan rekonstruksi Pak Joas, yakni bahwa tempat kelahiran tersebut terjadi di salah satu ruangan sebuah rumah. Romo Gianto mengikis tendensi hostilitas yang muncul dalam pembacaan teks. Pak Joas bergerak lebih jauh dengan mencoba mengidentifikasi adanya hospitalitas di dalam teks.         

12 komentar:

  1. part one

    Wah, saya jadi merasa agak tersindir nich, karena mengingat saya sempat menentang habis ide ini. hehehehhe

    Saat ini saya sudah dapat menerima hospitality dalam kisah kelahiran di Injil Lukas. Walaupun pada saat ini saya sudah dapat menerima plausibility itu, biarlah saya menceritakan pergumulan saya untuk membuka diri saya terhadap kemungkinan hospitality dalam narasi Lukas.

    Saya dengan mudah menerima konstruksi teologis Joas bahwa Yesus tidak lahir di kandang domba, melainkan di ruang bawah tanah. Namun, saya sangat sulit untuk menerima konsep hospitality di dalam kisah versi Lukas itu. Mengapa? Karena awalnya, dalam imajinasi saya (yang negatif, katakanlah begitu), saya tidak melihat adanya keramah-tamahan. Saya hanya melihat hostility. Namun, setelah saya merenung-renung, saya pun menyadari bahwa ada kemungkinan ruang bagi hospitality, setelah me-re-imajinasikan kembali pergumulan pemilik penginapan. Re-imajinasi ini mungkin sedikit berbeda dengan yang disampaikan oleh Joas. Joas dalam tulisannya menggambarkan pergumulan pemilik penginapan seperti ini:
    "Maka, bisa dibayangkan betapa bingungnya tuan dan nyonya rumah....... Bagaimana juga dengan ibu baru yang tentu membutuhkan ketenangan untuk memulihkan tenaga? Dan seribu satu pertanyaan penuh kekuatiran."
    (dikutip dari http://www.facebook.com/notes/joas-adiprasetya/natal-perdana-ruang-keramahtamahan/10151172666821964)

    BalasHapus
  2. part two

    Saya mengakui bahwa imaji Joas terhadap hospitality pemilik penginapan sangat positif. Namun, saya punya imaji lain dengan Joas. Boleh khan? Secara singkat, saya rangkumkan imaji saya dengan sebuah kalimat: pergumulan antara "hostility" dan "hospitality", yang "dimenangkan" oleh hospitality". Jadi, yang saya lihat adalah pertentangan batin di dalam diri pemilik penginapan yang kemungkinan besar adalah sanak saudara dari Yusuf. Di dalam batinnya mungkin muncul "hostility" yang bergesekan dengan "hospitality".

    Saya membangun imajinasi itu dengan argumentasi teologis seperti ini:
    (1) Ada pergumulan batin untuk menghadirkan hospitality dalam diri pemilik penginapan. "Hospitality" ini disebabkan karena dua hal. Pertama, hospitality sudah menjadi adat istiadat bagi bangsa Israel (bahkan hospitality memang menjadi praktik yang sangat penting di dalam dunia kuno!) (Mercer dictionary of the Bible, 1990, pp. 393). Dalam Kitab Ayub 31:32, Ayub juga menjunjung tinggi hospitality. "malah orang asing pun tidak pernah bermalam di luar, pintuku kubuka bagi musafir." Kedua, secara manusiawi MUNGKIN SAJA pemilik rumah IBA melihat perempuan hamil besar dan mau melahirkan.

    (2) Ada pergumulan "hostility" dalam diri pemilik penginapan. Setidaknya, menurut saya "hostility" ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena gosip hamil pra-nikah yang beredar di kalangan sanak keluarga Yusuf. Dalam Zondervan dictionary of biblical imagery, dikatakan bahwa pemilik penginapan (yang adalah sanak keluarga Yusuf) tidak mau menerima mereka karena gosip hamil pra-nikah yang sudah beredar di kalangan keluarga Yusuf. Kedua, karena pemilik penginapan ketakutan bahwa orang-orang lain yang menginap di rumahnya merasa terganggu karena Maria hampir melahirkan. Perlu diingat bahwa orang-orang Yahudi merasa bahwa perempuan yang melahirkan adalah najis, bandingkan Imamat 12:1-5.

    Jadi dalam imajinasi saya, terbentang suatu pergumulan batin di dalam diri pemilik penginapan, antara "memelihara tradisi hospitality" dengan "mempertahankan pagar taurat tentang kenajisan", antara "perasaan iba terhadap Maria" dengan "perasaan takut dihakimi oleh tamu yang lain karena tindakkannya".

    Well, pada akhirnya pergumulan batin itu dapat diselesaikan oleh pemilik rumah dengan kemenangan "hospitality". Rupanya Allah menginspirasi dan menggerakan hati si pemilik penginapan. Allah mengobarkan semangat "hospitality" dan mereduksi "hostility" si pemilik penginapan, sehingga ia dapat mencari jalan yang paling bijak, dengan menempatkan Maria dan yusuf di ruang bawah tanah.

    Yeah, itu sich dari aku. Imajinasi yang berbeda dengan Joas, tapi menghasilkan kesimpulan yang sama bahwa ada hospitality.

    salam,
    emsiseyar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sangat menarik dengan adanya pemaknaan alternatif dari pak Joas.

      Hapus
  3. sangat menarik dengan adanya pemaknaan alternatif dari pak Joas, walaupun sebenarnya bukan pemaknaan alternatif yang pertama. banyak ahli2 yang telah memberikan hasil penafsiran dan kekritisan mereka perihal palungan dan penginapan yusuf dan maria. dan teman2 di atas telah memperlihatkan adanya tafsiran lain itu. menurut saya, pemaknaan alternatif itu sah-sah saja, apalagi itu membawa pencerahan bagi kita dan jemaat. yang seringkali dikhotbahkan adalah Yusuf, Maria dan bayi Yesus yang menjadi sentral. hal ini membuat orang beropini kurang baik terhadap pemilik penginapan. pak Joas hadir dengan memberikan kacamata baru, melihat dari si pemilik penginapan. dan jika dihubung-hubungkan maka kita bisa melihat bahwa yang disebut hospitality itu bukan yang pertama dan terakhir hadir dalam kisah alkitab. hal itu ingin menguatkan pernyataan bahwa ternyata kehadiran seseorang terhadap orang lain sangatlah penting. apalagi dengan hadirnya Yesus, yang mau menerima dan diterima orang lain. jika demikian, sebenarnya yang lebih penting, kira2 apa yang harus kita beritakan kepada jemaat mengenai hospitality ini? tentu tujuannya agar natal tidak lagi seperti yang dulu2, yang merupakan kebiasaan gereja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. dilihat dari gaya tulisannya, komen di atas ini mestilah dari si BF, eh, maksudku si BL...

      apa yg harus diberitakan kepada jemaat mengenai hospitality? klo sisi praktisnya, kau sdh mengatakannya sendiri kawan. Hospitality adl menerima kehadiran org lain dalam rangka hidup bersama. Dalam lingkungan masyarakat di mana terjadi persaingan yg ketat, orang cenderung menganggap sesamanya sebagai orang asing dan musuh yg dicurigai dan harus disingkirkan. Hospitality mengikis kecenderungan ini. Hospitality berarti kesediaan untuk membuka diri terhadap sesama, sebuah kesediaan untuk menyediakan "ruang" yg cukup bagi mereka untuk menjadi tamu dan teman kita dlm menjalani kehidupan ini bersama-sama. Lebih lanjut, silakan pikir sendiri sikap dan tindakan apa saja yg mencerminkan hospitality.

      Hapus
    2. Ups...aku juga kelupaan nulis id (rrb)

      Hapus
  4. Siapakah sang empunya ruang, sehingga kita merasa berhak untuk "menyediakan ruang" yang cukup bagi mereka untuk menjadi tamu dan teman? Hmmm....bukankah kita juga hanya penumpang dalam "ruang" sehingga memang seharusnya kita berbagi ruang dengan yang lain?

    BalasHapus
    Balasan
    1. komen ini dari emsiseyar ya..

      aku sih gak masalah klo mau dipake ungkapan "berbagi ruang". Dalam konteks tertentu itu sah2 saja. Kita bisa berbicara tentang Sang Empunya ruang, tetapi itu hanyalah salah satu kemungkinan.

      Dibalik pertanyaan di atas, tampaknya ada perbedaan persepsi tentang konsep hospitality dan secara khusus tentang terminologi "ruang". Kembali ke analogi dasar dalam hospitality: ada tuan rumah, ada tamu, ada ruang. Klo diasumsikan bahwa kita semua hanya penumpang, lalu siapakah yg berperan sbg tuan rumah? Gesture "berbagi ruang" di antara sesama penumpang, berbeda dari gesture "menyediakan ruang" di antara tuan rumah dan tamunya. Kembali ke kisah Natal perdana. Cukup jelas bahwa si pemilik penginapan "menyediakan ruang" bagi Maria dan Yusuf. Kita pun bisa melakukan hal serupa. Klo ada orang yg membutuhkan tumpangan, kita menyediakan ruang baginya di rumah kita.

      "Ruang" bukan hanya soal fisik dan materi, tetapi juga soal relasi. "Ruang" bukan hanya soal eksternal tetapi juga internal. Sebagai contoh aku menggunakan analogi "hati": mari kita menyediakan ruang bagi mereka yang tersisih di hati kita.Secara sederhana analogi ini berarti undangan untuk mengingat dan berkomitmen untuk mengasihi mereka yg tersisih.(rrb)

      Hapus
    2. Satu lagi, hospitality bahkan disebut "an art of making space"-seni "mencipta" ruang... (rrb)

      Hapus
  5. Terima kasih RRB untuk responsnya. Saya suka dengan ide bahwa ruang tak hanya soal space. Jadi ingat, bahwa dalam kenosis itu sendiri, ruang bagi relasi pun tercipta.

    Anyway, ada waktunya untuk berhenti ngotot dan memberikan apresiasi untukmu. Saya senang berdiskusi denganmu yang punya pandangan-pandangan yang luas.
    Semoga tidak jadi terbang karena dipuji. :)

    ems

    BalasHapus
  6. terima kasih untuk ekstensi pemikiran yang sambung-menyambung. saya sangat beruntung membaca situs ini. [joas]

    BalasHapus
  7. teman-teman, komennya dikasi nama ya. ups, aku juga lupa buat namaku.
    hospitality atau "an art of making space (rrb)",menurut saya baru awal dari sebuah pembahasan untuk menghasilkan refleksi yang mendalam dan mendarat. tentu di dalamnya bukan hanya perihal tuan rumah, ada tamu dan ruang. ada kandungan gizi yang harus dikeluarkan dari racikan ketiga bahan itu. ada pertanyaan- pertanyaan yang sederhana yang harus dikeluarkan ke permukaan. mengapa si pemilik penginapan mau menerima tamu itu? apakah hanya karena kebiasaan itu sudah ada dalam kehidupan bangsa Israel dulu? pertama: sebagai pemilik penginapan, pastinya ia harus menerima tamu karena itu bagian dari bisnis. kedua: walaupun ia pemilik penginapan, tidak serta merta ia menerima semua orang yang datang ke penginapannya. apakah ia akan menerima orang "gila"? memang pertanyaan itu kesannya terlalu jauh karena sudah merupakan imajinasi saya sebagai pembaca. tetapi perlu untuk menyadari bahwa pemilik penginapan, dengan sadar, menerima tamunya. artinya, pemilik penginapan tidak asal menerima tamu. diperlukan kesadaran untuk bisa melakukan hospitality. kesadaran seperti apa? kesadaran melakukan hospitality itu serta kualitasnya. bukan hanya sekedar menerima orang lain yang datang kepada kita atau rumah kita. perlu adanya kehati-hatian dalam mempraktekkannya. mengapa? karena hospitality bukan hanya perihal menerima, melainkan perlu juga adanya mengajar dan saling menyadarkan.
    "kehabisan waktu untuk OL. besok-besok lagi diperjelas." jogja yang panas, BBL

    BalasHapus